MENAKAR RASIONALITAS DAN KONSISTENSI PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN
Sebagai rakyat berstatus buruh pabrik saya bersentuhan langsung dengan pekerja, mulai dari level bawah sampai atasan. Setiap munculnya aturan baru yang berhubungan dengan Ketenagakerjaan kami ikut merasakan. Begitu juga saat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) kami ikut merasakan dan yang kami rasakan saat ini adalah ketidakadilan.
Sebenarnya Saya tidak mau berkomentar soal ini karena terlalu banyaknya kekeliruan yang terjadi didepan mata, namun karena saya tergelitik tulisan Prof. Jimly Assidiqi (mantan Ketua MK dan Anggota DPD RI).
Menurut Prof. Jimly, kebijakan yang harus dikembangkan haruslah memastikan prinsip ‘equality (persamaan hak)’, ‘equity (berkeadilan)’ dan ‘reciprocity (timbal balik tidak saling merugikan)’ itu dapat berjalan secara terpadu dan seimbang untuk membangun struktur kehidupan sosial yang berkeadilan, yaitu struktur masyarakat yang berkeadilan sosial. Dengan adanya ketiga pilar ini, dengan sendirinya ketimpangan dalam struktur perikehidupan bermasyarakat dapat dicegah dan diatasi.
Nah saat ini yang muncul justru kondisi yang bertolak belakang dengan konsep keadilan sosial, yang ada justru runtuhnya ketahanan ekonomi dan potensi konflik sosial yang serius.
Hadirnya Permenaker nomor 2 tahun 2022 revisi dari Permenaker nomor 19 tahun 2015 merupakan satu bukti ketidakseimbangan tiga pilar diatas, hal ini membuat tata kelola dalam penyelenggaraan jaminan sosial terganggu, buruh teriak keras menolak produk hukum yang dikeluarkan pemerintah, kepercayaan rakyat pada pemerintah hilang.
Buruh sebagai objek utama atau pemilik saham BPJAMSOSTEK merasa didzolimi, banyaknya produk hukum yang dinilai irasional dan hal ini dipicu oleh inkonsistensi pemerintah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan itu sendiri hingga memunculkan spektrum reaksi yang lebih luas lagi.
lalu apa Irasional dan Inkonsistensi yang dimaksud?
Pertama, Lahirnya UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuktikan bahwa Pemerintah tidak serius mensejahterakan buruh, terbukti penolakan dimana mana dan putusan MK menyebut UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat karena cacat partisipasi publik sehingga membuka kekacauan dan polemik di ruang publik.
UU Cipta Kerja juga membatasi kenaikan upah jauh dibawah inflasi dan pertumbuhan ekonomi, akibatnya daya beli turun dan buruh semakin terperosok dalam jurang kemiskinan.
Pengambilan dana JHT dibatasi usia 56 tahun, Pemerintah harusnya membuat regulasi yang memastikan pekerja tetap mampu bekerja hingga usia 56 tahun dengan memperketat standar PHK bagi Pengusaha. Alih alih melindungi pekerja, justru UU Cipta kerja mempermudah PHK dan melanggengkan praktik Outsourcing.
Kedua, BPJS Ketenagakerjaan terlalu tunduk pada Pemerintah.
Setiap kebijakan yang disahkan Pemerintah selalu didukung tanpa syarat. Direksi BPJAMSOSTEK selalu mengikuti apa kata Kemenaker, itu berarti BPJAMSOSTEK tidak peduli dengan nasib buruh ditengah pandemi Covid-19. BPJAMSOSTEK seharusnya lebih mandiri dan tegas pada Pemerintah bahwa dana kelola adalah milik pekerja dan buruh, bukan milik pemerintah, mengapa? Karena Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan berasal dari iuran pekerja Indonesia dan Pekerja Migran.
Sedangkan gaji dan fasilitas yang dinikmati pegawai BPJAMSOSTEK berasal dari iuran buruh. Lagipula Pemerintah selalu berganti lima tahun sekali, ganti rezim artinya ganti aturan yang biasanya bernuansa politis dan kepentingan, kenapa harus tunduk??
Ketiga, Direksi BPJAMSOSTEK tidak konsisten.
BPJAMSOSTEK berpinsip “siap bekerja profesional dan taat regulasi” bermakna tidak akan mengambil langkah yang berpotensi merugikan Dana kelola, namun faktanya kita mencatat policy yang diambil cukup beresiko diantaranya ;
a. Disaat RKD dibawah 100% mengapa justru Direksi mengusulkan iuran JKK JKM didiskon hingga 99%?
b. Direksi tidak mengupayakan kenaikan iuran JP yang masih rendah (3%) agar disesuaikan lebih rasional supaya tujuan long term protection bagi buruh tercapai, faktanya review iuran JP harusnya bisa dilaksanakan ditahun 2018 tapi sampai saat ini belum terealisasi. Disisi lain JHT yang merupakan tabungan pekerja bisa diambil saat terjadi PHK untuk mencukupi kebutuhan hidup dan mempertahankan martabat kemanusiaan justru dibatasi minimal 56 tahun.
c. Direksi dalam beberapa kesempatan membagikan uang kepada Legislator komisi IX DPR RI senilai miliaran rupiah memakai dana pekerja, hal ini sering dikritik namun masih terus dilakukan. Permasalahan double payment JHT yang merugikan Dana BPJAMSOSTEK miliaran rupiah juga tidak ada pertanggungjawaban secara transparan ke publik malah cenderung ditutupi. Pengambilan kebijakan yang salah dan merugikan BPJS bisa masuk kategori pasal 34 (c) UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan ancaman diberhentikan.
Keempat, Publik menuntut transparansi.
Pengelolaan Dana Jaminan Sosial di BPJAMSOSTEK tidak transparan, diantaranya terlihat saat BPJAMSOSTEK meminta persetujuan DPR RI untuk penempatan investasi diluar negeri, BPJAMSOSTEK beralasan karena likuiditas pasar modal dalam negeri kurang untuk dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan yang begitu besar disatu sisi alasan terbitnya Permenaker nomor 2 tahun 2022 karena Rasio Kecukupan Dana dibawah 100%, sangat membingungkan.
Selanjutnya BPJAMSOSTEK berencana menempatkan modal penyertaan langsung jangka panjang dalam instrumen Sovereign Wealth Fund atau SWF, dana yang akan diinvestasikan 5% dari total asset mencapai 25 triliun. Dana sebesar itu butuh transparansi karena buruh tak ingin nasib dana buruh seperti kasus Jiwasraya dan ASABRI. Terakhir saya ingin bertanya bagaimana nasib Peserta JHT Nonaktif yang telah berusia 70 tahun tapi belum mencairkan dana JHT nya? Apakah Direksi BPJAMSOSTEK dan Kemenaker mengetahui dimana 7 juta Peserta yang belum mencairkan tersebut?
Semua ini harus gamblang dan terang benderang disampaikan kepada Publik, JANGAN ADA DUSTA DIANTARA KITA.
Dari uraian diatas bisa dilihat bahwa Rasio Kecukupan Dana sampai drop dibawah 100% bukan salah Pekerja/Buruh atau Peserta, bisa jadi karena salah kelola dalam manajemen di BPJAMSOSTEK itu sendiri.
Perlu diingat bahwa uang JHT bukan uang Pemerintah, bukan uang Menteri Tenaga Kerja, bukan uang Direksi BPJAMSOSTEK, melainkan uang buruh yang ditabung untuk memenuhi kebutuhan hidup pasca PHK.