Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Pekerja dan Perlindungan Negara

by -257 Views

|www.spkep-spsi.org |KEPTV news |

Tiada seorangpun boleh diperbudak, diperulur dan diperhamba (Pasal 10 UUD Sementara Tahun 1950), sejarah dunia mencatat bahwa hubungan perburuhan diwarnai dengan terjadinya praktik “eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya” (exploitation de’lhomme par l’homme) yang dialami oleh kaum pekerja yang disebabkan adanya ketidakseimbangan kedudukan sosial ekonomi antara pekerja dengan pengusaha.

Hubungan perburuhan antara pekerja dengan pengusaha awalnya merupakan bagian hukum perdata/hukum private, yang berlaku asas-asas hukum perjanjian secara umum di dalamnya, Salah satu asas hukum yang paling digadang-gadang dan paling diinginkan oleh pemilik modal dalam hukum perjanjian adalah adanya asas kebebasan membuat kontrak untuk membebaskan para pihak menentukan apa saja yang ingin mereka perjanjikan sekaligus menentukan apa saja yang tidak dikehendaki untuk dicantumkan dalam kontrak tanpa adanya intervensi dari manapun termasuk negara.

Akan tetapi dalam perkembangannya hubungan perburuhan ini bergeser menjadi hukum publik dimana ada peran Negara untuk hadir dan memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah.
Asas kebebasan membuat kontrak tidak berarti bebas tanpa batas, karena Negara harus intervensi untuk melindungi pihak yang lemah secara sosial dan ekonomi atau untuk melindungi ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Mariam Darus Badrulzaman, ditinjau dari segi perkembangan hukum perdata, campur tangan pemerintah ini merupakan pergeseran hukum perdata ke dalam proses pemasyarakatan (vermaatschappelijking) untuk kepentingan umum. Sesuai dengan UUD 1945 yang telah melepaskan diri dari konsepsi hukum yang liberal dan menganut konsepsi hukum yang pancasilais.

Dalam konkretnya, hukum perdata, khususnya hukum kontrak mencari bentuk baru dengan memenuhi tuntutan itu antara lain melalui campur tangan pemerintah. Materi-materi yang meyangkut kepentingan umum dengan demikian akan mendapat perlindungan. Bahkan akhir-akhir ini cenderung untuk memperbanyak peraturan-peraturan hukum pemaksa (dwingen recht) demi kepentingan umum dan melindungi yang lemah.

Pekerja dan Perlindungan Negara

Hugo Sinzheimer menyebutkan “dibawah sistem kapitalisme, kesetaraan kontrak antara majikan dan buruh adalah sebuah fiksi” sehingga olehkarenanya Negara melalui otoritas yang dimilikinya berkewajiban melindungi hak-hak buruh melalui pembentukkan peraturan perundang-undangan maupun penegakan hukum.

M. G. Rood berpendapat bahwa undang-undang mengenai perlindungan pekerja merupakan contoh hukum sosial yang ciri utamanya secara umum didasarkan pada teori ketidakseimbangan kompensasi. Teori tersebut bertitik tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dengan penerima kerja secara sosial ekonomi tidak sama kedudukannya. Pihak penerima kerja umumnya sangat tergantung pada pemberi kerja, baik dari aspek ekonomi, sosiologis maupun psikologis. Maka hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum antar keduanya bertujuan untuk memberikan memberikan kompensasi atas ketidakseimbangan yang terjadi dalam bentuk pembatasan-pembatasan.

Hukum perlu memberikan hak yang lebih banyak kepada pihak yang lemah (penerima kerja) daripada pihak yang kuat (pemberi kerja). Hukum bertindak tidak sama bagi para pihak oleh karena latar belakang tersebut. Teori ketidakseimbangan kompensasi yang dianut hukum dapat ditemukan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Jadi, untuk mengimbangi ketidakseimbangan kedudukan maka diperlukan tindakan dari pihak penguasa (pembentuk undang-undang) melalui pengaturan hak dan kewajiban masing-masing pihak agar terjadi suatu keseimbangan yang sesuai. Hal tersebut dipandang sebagai solusi yang tepat guna terpenuhinya prinsip keadilan sosial daripada membiarkan ketidakseimbangan tersebut berlangsung terus.

Perlindungan hukum dalam perburuhan, merupakan campur tangan negara atas kemungkinan perlakuan eksploitasi pengusaha sebagai pihak ekonomi kuat terhadap pekerja sebagai pihak ekonomi lemah. Perlindungan oleh negara umumnya termaktub dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat publik, sebagai pembatasan yang bersifat memaksa terhadap asas kebebasan berkontrak antara pengusaha dan buruh.

S. Mok mengemukakan bahwa pada umumnya orang tidak melihat lagi bahwa pemberi dan penerima kerja dalam hukum perburuhan bukan mitra yang sederajat. Kepentingan dari pekerja adalah jauh lebih besar. Merekalah, kaum lemah, yang harus dilindungi, sedangkan pengusaha (pemberi kerja), walaupun mereka menyetujui akan pemberian perlindungan bagi pekerja namun mereka sendiri sesungguhnya tidak membutuhkannya. Demikian beberapa pendapat mengenai perlunya sifat hukum publik terhadap peraturan perburuhan. Artinya, demi kepentingan umum maka negara ikut campur dengan memberi sanksi pidana kepada pihak yang wajib melaksanakan ketentuan peraturan perburuhan.

Tujuan perlindungan tenaga kerja adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Untuk ini pengusaha wajib melaksanakan ketentuan perlindungan tenaga kerja tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Omnibuslaw vs Perlindungan Negara terhadap Pekerja dalam UU No.13 Tahun 2003

Secara filosofis, lahirnya atau ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah untuk melindungi tenaga kerja yang berada pada posisi lemah. Sehingga dengan adanya Undang-Undang ini akan memberikan perlindungan akan hak dan kewajiban yang sama antara buruh dengan majikan. Dalam undang-Undang ini diatur bentuk perlindungan yang diberikan kepada pekerja/buruh yang meliputi perlindungan atas:

  1. Hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha;
  2. Keselamatan dan kesehatan kerja;
  3. Pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat;
  4. Upah;
  5. Kesejahteraan; dan
  6. Jaminan sosial tenaga kerja.

Tinjauan Filosofis dalam pembentukan UU No.13 tahun 2003 ini wajib diketahui oleh semua pihak, khususnya pembentuk UU yaitu Pemerintah dan DPR RI, yang hari ini sedang membahas dan mengebut pembahasan Omnibuslaw Cipta Kerja, bagaimana semangat reformasi yang berkembang dan tertuang dalam UU No.13 Tahun 2003 adalah semangat untuk memberikan perlindungan kepada pekerja.

Dalam risalah sidang pembahasan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di DPR RI, kita dapat membaca ulang semangat perlindungan bagi pekerja ini dari rancangan undang-undang ketenagakerjaan yang diajukan oleh pemerintah dibawah Presiden Gusdur waktu itu, dari sisi judul Undang-Undang yang diajukan misalnya Rancangan UU ini diberi judul “UU Perlindungan dan Pembinaan Ketenagakerjaan”, berikutnya secara subtantif pasal-per-pasal yang diajukan di dalamnya semangat perlindungan juga tergambar dari sangat banyaknya sanksi pidana yang dikenakan kepada pengusaha yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak pekerja. Tentu saja hal ini merupakan terjemahan dari peran Negara sebagai pelindung bagi rakyatnya, khususnya bagi pekerja yang posisinya secara sosial ekonomi lebih lemah dibanding Pengusaha.

Omnibuslaw RUU Cipta Kerja, yang terdiri dari berbagai kluster dibuat dengan maksud dan landasan pemikiran untuk memudahkan investasi dan pembukaan lapangan kerja di Indonesia, termasuk kluster ketenagakerjaan di dalamnya tentu tidak boleh mengenyampingkan fungsi dan peran pemerintah untuk melindungi pekerja Indonesia.

Pasal-pasal yang ada di dalam Omnibuslaw RUU Cipta Kerja tidak boleh menurunkan kualitas perlindungan yang sudah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Akan tetapi jika dicermati pasal per pasal Omnibuslaw RUU Cipta Kerja khususnya Kluster ketenagakerjaan, terlihat jelas cita rasa untuk mengembalikan hubungan perburuhan sebagai hukum privat yang membebaskan para pihak untuk bebas membuat kontrak, misalnya dengan dihapuskannya pengaturan mengenai pelaksanaan pekerjaan kontrak (PKWT) dalam Omnibuslaw yang berpotensi mengembalikan kondisi terjadinya eksploitasi manusia terhadap manusia, sebuah “perbudakan” model baru sangat mungkin terjadi, dimana hal ini jelas-jelas ditentang oleh Konsitusi RI karena merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, selain itu dalam Omnibuslaw RUU Cipta Kerja terdapat beberapa pasal yang jelas-jelas menggradasi ketentuan dalam UU No.13 tahun 2003.

Situasi ini tentu tidak bisa dibenarkan karena Negara justru seharusnya hadir dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya, khususnya kaum buruh yang posisi sosial ekonominya lebih lemah, bukan menarik diri, amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai hakikat pembentukkan Negara untuk melindungi rakyatnya mewajibkan Negara untuk melakukan perlindungan ini.

Akhirnya, mengingat potensi yang membahayakan nasib pekerja yang akan berlanjut ke anak cucu kita semua kelak, tiada lain selain Pembahasan Omnibuslaw RUU Cipta Kerja yang sedang dilakukan di DPR RI saat ini harus segera dihentikan. Atau jika tidak kita akan kehilangan harkat dan martabat kita sebagai sebuah Bangsa.

Bekasi, 27 September 2020