CATATAN PUTUSAN MK UJI FORMIL (JUGA UJI MATERIL) PENGUJIAN UU CIPTA KERJA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

by -198 Views

OLEH ARI LAZUARDI (DIREKTUR LBHN PP FSP KEP SPSI/KUASA HUKUM GEKANAS)

Syahdan, terjadi situasi imajiner seperti ini”

“Udah terlanjur dibuat dan banyak aturan turunannya, y mau bagaimana lagi?..”

“Atau yang lebih dramatis bisa dianalogikan begini gak kira-kira?

“Bentuklah UU Tentang Surga lalu berikan pertimbangan yang baik-baik dan canggih dalam bagian menimbangnya maupun tujuan dibentuknya UU agar bisa masuk surga, niscaya akan selalu ku dukung karena cita-citanya sungguh mulia membuat kita masuk surga dan  dari naskah uu nya  aja sudah sangat bagus itu jadi ga perlu dibuktikan kemanfaatannya lah oleh para pemohon”

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman

Begitulah kira-kira bacaan penulis dalam menganalogikan dan memandang putusan Uji formil (yang ternyata juga sekaligus memutus uji materiil) UU Cipta Kerja hari ini tanggal 25 November 2021 oleh Mahkamah Konstitusi.

Terlepas 4 dari 5 Hakim Konstitusi memiliki pendapat berbeda, Putusan MK telah berlaku, berkekuatan hukum dan mengikat tidak hanya para pemohon, tapi berlaku juga kepada semua (erga omnes). Mengenai Pertimbangan putusan MK (Ratio Desidentinya) kurang lebih kesimpulan isinya seperti ini, dimana telah terbukti dalam Pembuatan Omnibus Law UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja:

  1. Tidak sesuai dengan format baku dan ketentuan yang ada dalam UU No 12 tahun 2011 sebagaiamana diubah terakhir dalam UU 15 tahun 2019 tentang PPP  sebagai aturan delegatif dari UUD 1945
  2. Terdapat  perubahan naskah pasca sidang paripurna dengan yang diundangkan termasuk salah kutip
  3. Tidak terpenuhinya asas kejelasan tujuan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan (tidak maksimal ruang partisipasi yang diberikan serta sulitnya mengakses naskah RUU dan Naskah Akademis)

NAMUN demikian, walaupun terbukti adanya pelanggaran prosedural pembentukan UU Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam pertimbangannya:

  1. Terdapat pula tujuan besar yang ingin dicapai dengan berlakunya UU 11/2020 serta telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksana dan bahkan telah banyak diimplementasikan di tataran praktik.
  2. Dengan demikian, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, maka berkenaan dengan hal ini, menurut Mahkamah terhadap UU 11/2020 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.

Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, amar putusan MK nya sebagai berikut.

  1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
  2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
  3.  Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
  4. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
  5.  Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali;
  7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja
  8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
  9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Putusan perkara tersebut diberikan khusus kepada perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diuji oleh beberapa pemohon diantarnya oleh Migrant Care dan kemudian terhadap 5 (lima) perkara uji formil lainnya yakni perkara dengan register Nomor 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020, 4, 6/PUU-XIX/2021 kemudian MK mengatakan:

  1. Oleh karena kepada perkara 91/PUU-XVIII/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan diucapkan, sehingga objek permohonan yang diajukan para Pemohon uji formil lainya tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Dengan demikian, permohonan para Pemohon a quo menjadi kehilangan objek. 
  2. Meskipun pokok permohonan para Pemohon tidak seluruhnya dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, namun oleh karena terhadap permohonan pengujian formil tidak dipersyaratkan harus terpenuhinya seluruh syarat secara kumulatif maka dengan demikian menurut Mahkamah tidak relevan lagi mempertimbangkan syarat-syarat selain dan selebihnya yang didalilkan para Pemohon a quo lebih lanjut.

Selain uji Formil yang diputus, MK sekaligus juga memutus permohonan uji materiil UU Cipta Kerja walaupun  tahapan persidangan uji materiil belum masuk kepada pembuktian ahli maupun saksi para pihak (jadi cuman didasarkan berkas  para pihak). Pertimbangan MK dalam uji materiil (dalam beberapa perkara yang diterima legal standingnya) ini yakni:

  1. Bahwa MK telah memberikan putusan mengenai uji formil UU CIpta Kerja tanggal 25 november 2021 dalam perkara 91/PUU-XVIII/2020 ,
  2. Terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan.
  3. Sehingga terhadap permohonan pengujian materiil tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undangundang yang dimohonkan pengujiannya.
  4. Terlebih lagi, dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiil a quo harus dinyatakan kehilangan objek.

Sehingga salah satu amar putusan dalam uj materiil ini menyatatakan:  “Permohonan para Pemohon kehilangan objek”

Dari pertimbangan dan putusan tersebut, penulis berpandangan putusan Mahkamah Konstitusi dalam 2 aspek, terkait pertimbangan putusan dan implementasi (implikasi) putusan:

Pertama, terkait pertimbangan putusan uji formil MK ini yang barangkali pertama dalam sejarah MK uji formil menyatakan inkonstitusionalitas bersyarat,  catatan krusial yang kiranya dapat dilihat mudah dengan penalaran wajar yakni apakah dibenarkan secara konsep uji formil juga dipertimbangkan kemanfaatan (Potensi) dari undang-undang ini.

UU Cipta Kerja lahir sejak 5 november 2020 ditengah situasi pandemik covid-19, 3 bulan kemudian dibentuk juga puluhan aturan turunannya. Sebagai catatan Pengujian formil uu ini sudah diajukan sejak akhir tahun 2020 dan tepatnya sebelum aturan turunan PP diterbitkan. MK kemudian dengan pertimbangan khusus sengaja mensplit (memisahkan) uji materi dan formil sehingga mendahulukan uji formil.

Lalu apakah wajar alasan sudah terlanjur ada dengan mempertimbangkan tujuan besar yang ingin dicapai dengan berlakunya UU Cipta kerja serta telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksana dan bahkan telah banyak diimplementasikan di tataran praktik menjadi pertimbangan yang boleh ditampilkan MK sebagai dasar pemutus?

Serupa namu dengan skala (amar) lebih besar

Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja ini dengan kesan mempermaklum pelanggaran prosedur bukanlah hal baru dalam prakte putusan MK, jika dilihat dari putusan MK No. 27/PUU-VII/2009, sebagaimana pertimbangan halaman 93 dan 94 putusan tersebut dinyatakan:

apabila Undang-Undang a quo yang cacat prosedural tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena:

a. Dalam Undang-Undang a quo justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari Undang-Undang yang diubah;

b. sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam sistem kelembagaan yang diatur dalam Undang-Undang a quo dan yang berkaitan dengan berbagai Undang-Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, dan lembaga lain seperti hubungan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung yang sekarang telah berjalan berdasarkan UU 3/2009;

Atas pertimbangan tersebut dan demi asas manfaat untuk tercapainya tujuan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tersebut tidak perlu dinyatakan sebagai Undang-Undang yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; artinya Undang-Undang a quo tetap mempunyai kekuatan hukum berlaku;  

persidang Berkaitan dengan “permaklumkan” tersebut, Pemohon 661 GEKANAS telah secara jelas meyampaikan dalam berkas Permohonan Uji Formil yang dituangkan secara tertulis dimana pada intinya jika ditemukan pelanggaran prosedural maka “permakluman” seperti itu pemohon minta untuk tidak dilakukan kembali.

Putusan Uji formil UU Cipta Kerja tidak sama persis karena terdapat perbedaan penekanan secara limitatif perbaikan proses pembentukan selama maksimal 2 tahun, namun tetap saja garis besarnya sama, sudah terlanjut dan menjadi terkesan “mempermaklumkan”

Penulis meyakini alasan MK tersebut telah masuk kepada petimbangan kemanfaatan yang sama sekali tidak dalam kerangka pembuktian uji formil.

Hal tersebut secara sadar sesungguhnya diamini oleh Para Hakim MK dengan membatasi seluruh Pemohon Uji Formil dalam menghadirkan ahli masing-masing hanya satu orang saja bahkan terdapat anjuran dari hakim MK kalo bisa digabung saja ahlinya jadi tidak banyak karena relatif akan sama keahliannya membutktikan keabsahan prosedural pembentukan undang-undang.

Namun uniknya, selain ahli hukum perundang-undangan, terdapat ahli yang dihadirkan Presiden dan DPR, dengan kapasitas menerangkan mengenai kemanfaatan UU Cipta kerja, bahkan kehadirannya mereka pun tidak dimasukan sebagai pertimbangan hakim yang patut dikesampingkan dalam putusan ini oleh Mahkamah seperti halnya kesaksian 2 orang anggota DPR yang menjadi saksi dari DPR sendiri.

Dari sini kalo pun harus dibuktikan mengenai kebermanfaatan UU Cipta Kerja, prinsip pembuktian harusnya diberikan secara fair kepada para pihak (bukan sebatas kuantitas) dengan meletakannya pada prinsip audi alteram partij.

Selanjutnya mengenai keberlakuan putusan uji formil dengan perkara nomor urut awal diputus dan jadi pertimbangan putusan formil bahkan materiil/

Apakah cukup berkeadilan mengingat seluruh pemohon diperiksa secara bersamaam? lalu bagaimana jika ternyata permohonan pemohon yang nomor urutnya lebih kecil tidak sekomprehensif permohon lainnya? tentu dengan alasan mahkamah pemohon lain kehilangan objek menjadi patut ditelaah lebih lanjut

terhadap putusan uji materiil:

Menjadi hal yang dipertanyakan mengapa uji materiil juga diputus padahal belum ada pembuktian dan hanya menyandarkan pada putusan uji formil, uniknya lagi terdapat hakim MK yg justru menggunakan hak Disenting Opinionnya (DO) nya untuk mengatakan beberapa pasal dalam uu cipta kerja khususnya bagian ketenagakejran bertentangan secara substantif terhadap UUD, meskipun hakim tersebut juga mengamini (DO) bahwa uu cipta kerja seharusnya tidak bertentangan dengan UUD melalui uji formil.

Lebih dari itu, apakah dengan dinyatakan pemohon uji materiil uu cipta kerja telah kehilangan objek berkonsekuense pada seluruh warga Negara juga harus menahan ini untuk terima nasib keberlakuan UU Cipta Kerja  selama 2 taha=un dengan tidak boleh mengajukan uji konsittusionlitas ke Mahkamah Konstitusi?

Jika ini terjadi maka apakah

Harus menunggu Berapa banyak “korban” PHK dengan alasan baru dalam PP turunan Cipta kerja beserta kompensasinya?

Harus menunggu pekerja kian banyak berstatus pekerja alih daya dengan tanpa kepastian tanggung jawab perusahaan pengguna?

Harus menunggu status pekerja dengan sistem kerja Kontrak kian lama?

Kian banyak potensi diharmonisasi hubungan industrial karena kehendak memasukan norma UU Cipta Kerja kedalam PKB?

Semoga tidak terjadi.

Kedua, terkait implementasi termasuk impliksi putusan.

Amar putusan MK yang memberikan syarat keberlakuan setidaknya berdampak pada bagaimana pembuat uu menyikapi putusan tersebut agar sesuai dengan kaedah dan syarat yang diberikan mahkamah khususnya mengenai pembentukan uu melalui mekanisme omnibus law serta pemenuhan asas-asas pembentukan uu sebagaimana dipersyaratkan dalam UU PPP.

Atas hal tersebut, maka waktu maksimal 2 tahun yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi dapat dengan merevisi UU PPP terlebih dahulu dengan mengakomodir konsep Omnibus sebagaimana yang digariskan oleh Mahkamah Konstitusi serta memperbaiki pelanggaran beberapa asas pembenutkan peraturan perundang-undangan yang tidak dilakukan secara baik berupa asas kejelasan dan rumusan serta pelibatan partisipasi masyarakat yang tidak maksimal karena keterbukaan naskah RUU yang sulit diakses.

Atas hal ini muncul pertanyaan lanjutan, apakah dengan perbaikan partisipasi dan keterbukaan maka tidak harus dan berkonsekuensi dengan perubahan naskah UU? Atau sekedar formalitas saja dijalani keterbukaan dan partisipasi publik tersebut? padahal menurut penulis pangkal dari tidak terbuka dan partisipasi publik itulah bermula lahirnya UU Cipta kerja yang secara muatan banyak ditolak oleh Masyarakat termasuk terjadinya perubahan naskah dari hasil sidang paripurna.

Secara implikatif juga khusus amar putusan angka 7 putusan MK maka berpotensi menimbulkan tafsir liar dari berbagai pemangku kepentingan. Meskipun secara sederhana amar putusan angka 7 ini seharusnya dimaknai dengan 2 (dua) kondisi yang berbeda.

  1. Menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas,
  2. Tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja

Kiranya khusus terhadap pemaknaan tindakan/kebijakan strategis lah yang akan menjadi liar tafsir sehingga tidak jelas mana yang strategis. Namun kiranya pemaknaan harus berkorelasi dengan keberlakuan UU Cipta Kerja itu sendiri, artinya Peraturan Pemerintah (PP) dan produk turunanya juga sepanjang mempengaruhi kebijakan strategis yang berkepentingan terhadap banyak orang patut kiranya dikesampingkan dulu.

Contoh mengenai penetapan kebijakan upah minimum kiranya masuk kategori kebijakan strategis karena memicu perhatian publik yang besar belakangan ini, terlebih didalam penjelasan pp 36 tahun 2021 sendiri aspek pengupahan masuk dalam kategori kebijakan strategis.

Maka cukup alasan kiranya pemeirintah dengan segala kebijakan (strategis)  yang hendak dilakukan tidak mengacu PP 36/2021,  melainkan cukup ke UU cipta kerja yang dinyatakan MK masih berlaku terbatas atau setidaknya Pengupahan sebelumnya yakni PP No. 78/2015 tentang Pengupahan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Terlebih PP 78 tahun 2015 juga masih di produksi oleh Presiden yang sama.

Apakah menunda kebijakan strategis tersebut juga secara serta merta menghalangi kehendak investasi? Tentu tidak dibaca demikian apalagi dibenturkan dengan kebijakan penetapan upah minimum yang sejatinya hanya diberlakukan untuk pekerja lajang, masa kerja baru dan tidak mampu negosiasi (pemberian Negara).