Catatan Kritis Putusan MK Terhadap UU Cipta Kerja

by -136 Views

Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan atas pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang diajukan oleh beberapa pihak, Pada Kamis (25/11).

Setidaknya tidak kurang dari 11 permohonan pengujian telah dibacakan putusannya oleh MK.

Dari kesebelas perkara tersebut, perkara yang pertama kali diputus oleh MK adalah Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Di dalam putusannya, MK mengabulkan pengujian formil terhadap UU Cipta Kerja. Pada amar putusannya, MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan. MK menambahkan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan.

MK kemudian memerintahkan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.

Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional permanen. MK menegaskan bahwa apabila dalam tenggang waktu dua tahun Presiden dan DPR RI tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Selain itu, MK juga secara tegas menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Putusan MK sebagaimana tersebut di atas tidak diambil secara bulat. Ada pendapat berbeda (dissenting opinion) yang diajukan oleh empat dari sembilan orang Hakim Konstitusi. Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat yang berbeda dari lima Hakim Konstitusi lainnya.

Keempat hakim konstitusi tersebut pada intinya berpendapat bahwa UU Cipta Kerja konstitusional dan menolak pengujian formil yang diajukan oleh pemohon. Namun demikian, terlepas dari adanya perdebatan dan perbedaan pendapat sebagaimana tersebut, penulis memiliki beberapa catatan kritis terhadap putusan MK tersebut.

Catatan kiritis putusan MK

Pertama, terdapat inkonsistensi dalam putusan MK. Di satu sisi MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan dengan tenggang waktu paling lama dua tahun sejak putusan.

Namun, di sisi lain MK menyatakan menangguhkan penerbitan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan hukum lainnya, di antaranya kebutuhan pembentukan peraturan turunan UU Cipta. Dengan tidak diperkenankannya penerbitan peraturan pelaksana, maka ketentuan-ketentuan dalam UU Cipta Kerja tersebut menjadi tidak berfungsi, meskipun di sisi lain MK menyatakan undang-undang tersebut masih berlaku. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana dengan peraturan pelaksana yang telah ada sebelum putusan ini dibacakan? Apakah tetap berlaku atau ikut ditangguhkan?

Di dalam pertimbangannya, MK hanya menyatakan memberi kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk mengkaji kembali substansi yang menjadi keberatan dari masyarakat. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan perubahan terhadap ketentuan peraturan pelaksana yang telah berlaku sebelumnya.

Kedua, terdapat ambiguitas dalam amar putusan yang menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana menentukan suatu kebijakan bersifat strategis dan berdampak luas untuk kemudian kebijakan tersebut ditangguhkan? Apakah seluruh kebijakan yang didasarkan/berkaitan dengan UU Cipta Kerja harus ditangguhkan?

Secara hukum, selain dalam bentuk pengaturan (regeling), tindakan hukum pemerintah dapat berbentuk keputusan (beschikking) yang merupakan produk tata usaha negara atau tindakan dalam ranah hukum keperdataan. Putusan MK yang memerintahkan penangguhan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas sudah barang tentu bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal itu kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan Negeri. Selain itu, perintah tersebut baru dapat dilakukan dalam hal terdapat suatu gugatan yang diajukan terhadap pemerintah yang kemudian oleh pengadilan dikabulkan untuk dilakukan penundaan sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Ketiga, inkonsistensi putusan MK menghalangi penggunaan hak konstitusional warga negara yang bermaksud mengajukan uji materiil terhadap materi muatan UU Cipta Kerja. Sebagaimana diuraikan di atas, MK memutus sebelas perkara sehubungan dengan permohonan uji materi UU Cipta Kerja. Menarik untuk diperhatikan bahwa sehubungan dengan sepuluh perkara lainnya, MK menyatakan bahwa permohonan telah kehilangan objek pengujian dikarenakan dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Oleh karenanya, MK menyatakan bahwa uji formil maupun uji materiil dalam permohonan selain daripada permohonan nomor: 91/PUU-XVIII/2020 dinyatakan tidak dapat diterima. Amar putusan MK tersebut sudah barang tentu menimbulkan permasalahan hukum tersediri karena MK melakukan inkonsistensi dalam putusannya. Di satu sisi MK menyatakan bahwa seluruh UU Cipta Kerja masih berlaku hingga Presiden dan DPR RI melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dengan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.

Hal tersebut berarti bahwa dalam jangka waktu tersebut seluruh materi muatan UU Cipta Kerja masih mengikat dan berlaku bagi seluruh masyarakat. Namun di sisi lain, MK tidak konsisten karena dalam kesepuluh putusan lainnya MK menyatakan seluruh uji formil maupun uji materiil yang diajukan terhadap UU Cipta Kerja tidak dapat diterima dengan dasar permohon telah kehilangan objek sengketa atau dapat diartikan bahwa UU Cipta Kerja sudah tidak berlaku. Putusan MK tersebut dengan kata lain menghalangi penggunaan hak konstitusi warga negara untuk melakukan pengujian terhadap materi muatan UU Cipta Kerja, setidak-tidaknya hingga Presiden dan DPR melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja atau paling lama dua tahun sejak putusan MK dibacakan.

Perlu diperhatikan, apabila membaca salah satu pendapat berbeda yang diajukan oleh Hakim Konsitusi Anwar Usman dan Arief Hidayat, diketahui bahwa terdapat materi muatan dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi untuk dibatalkan secara materiil. Materi tersebut terkait ketenagakerjaan sehubungan dengan upah, pesangon, outsourcing, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana permohonan uji materi dalam perkara nomor 103/PUU-XVIII/2020. Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat peluang bagi penggunaan hak warga negara untuk menguji konstitusionalitas UU Cipta Kerja yang terkait dengan ketentuan tersebut di atas. Keempat, tidak ada kejelasan perbaikan seperti apa yang harus dilakukan oleh Presiden dan DPR RI pasca-Putusan MK, apakah dilakukan pembuatan ulang UU Cipta Kerja ataukah dilakukan dalam bentuk revisi UU Cipta Kerja?

Pertanyaan selanjutnya, dalam hal pemerintah dan DPR RI tidak melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja hingga jangka waktu dua tahun sejak putusan, apakah amar Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat otomatis berlaku pada saat jangka waktu yang ditentukan atau perlu diajukan pengujian kembali? Apabila diperlukan pengujian kembali, hal ini akan menimbulkan permasalahan hukum dikarenakan pengajuan uji formil terhadap suatu UU dibatasi dengan jangka waktu pengajuan, yakni harus diajukan dalam waktu 45 hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010. Terlepas dari perdebatan dan kritik terhadap putusan MK tersebut, adanya putusan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembentuk undang-undang dalam melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja maupun pembentukan undang-undang lainnya.

Pembentukan undang-undang harus memperhatikan aspek formil maupun materiil. Apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap salah satu atau kedua aspek tersebut, maka konsekuensi logisnya adalah sebagian atau seluruh ketentuan dalam undang-undang dapat dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut dapat berdampak pada tidak tercapainya atau tertundanya tujuan keberadaan “hukum” dengan dibentuknya undang-undang, yakni memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. (Sumber : https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2021/11/26/060000480/catatan-kritis-putusan-mahkamah-konstitusi-terkait-uu-cipta)