CEMWU, Jakarta — Senin, 2 Oktober 2023 sedianya menjadi hari yang ditunggu-tunggu banyak kalangan pekerja karena pada hari ini Mahkamah Konstitusi mengagendakan pembacaan putusan terhadap Uji Formil UU No 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu no 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU Cipta Kerja), namun sayangnya putusan MK ternyata menolak secara keseluruhan uji formil yang diajukan oleh puluhan serikat pekerja/serikat Buruh, federasi ataupun Konfederasi serta ratusan pekerja aktif.
Sebagaimana diketahui, secara formil UU 6 tahun 2023 diajukan setidaknya oleh 5 perkara yang didominasi dengan latar belakang pekerja ataupun serikat pekerja/Serikat Buruh yakni perkara 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023, 50/PUU-XXI/2023, dan 56/PUU-XXI/2023.
Dengan pertimbangan yang tidak dijelaskan oleh MK entah mengapa Mahkamah Konstitusi memutus terlebih dahulu perkara dengan registerasi Nomor 56/PUU-XXI/2023.
Putusan MK No 56/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa keseluruhan dalil para pemohon dianggap tidak beralasan hukum oleh Mahkamah Konstitusi walaupun diwarnai 4 (empat) dari 9 (Sembilan) hakim MK menyatakan Disenting Opinion (DO). 4 hakim MK yang Disenting opinion yakni Saldi Isra, Wahidudin Adams, Enny Nurbaeti, dan Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya yang disiarkan oleh KEPTV, beberapa alasan permohonan yang diajukan permohonan yakni mengenai makna persidangan selanjutnya dalam pembahasan Perppu oleh DPR maupun mengenai ikhwal kegentingan memaksa dan meaning full participation telah diuraikan oleh MK dan MK nyatakan tidak ada pelanggran konstitusi didalamnya.
Mengenai PERPPU MK menegaskan diawal bahwa pengaturan perppu termuat dalam norma pasal 22 UUD 1945 yang merpuakannn bagian dari bab VII UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan amandemen. perppu dalam rangka hal ikhwal kegentingan memaksa sehingga perppu dapat mengatasi secara cepat dengan segera ketatanegaraan dalam koridor hukum dan konstitusi.
Bentuk karakter dan kerangka hukum uu persetujuan perppu dan uu biasa menurut Mahkamah berbeda.
Perbedaan prinsip, perppu karena hal ikhwal kegentingan memaksa approval setelah perppu berlaku. Maka tahapan dalam pembentukan mulai dari perencanaan tidak dapat diberlakukan terhadap perppu. Termasuk tidak relevan melibatkan partisipasi bermakna (meaning full participation). Perppu juga dianggap tidak perlu nasakah akademik.
Karakter sebuah perppu berisfat temporary. Pasal 22 ayat 2 UUD dan pasal 52 norma penekanan berbeda mengenai Makna persidangan berikut. Mengacu pada Putusan mk nomor 43/2020. Maka jangka waktu pembahasan harus selesai dalam satu masa sidang berjalan. Dalam tataran implementasi proses pembentukan uu dari perppu mmemiliki beberapa perbedaan karena karakter perppu yang menjadi substansi uu a quo memiliki perbedaan yang terbitnya pengaturan yang luar biasa (extra ordinary rules).
UU No 6/2023 yang memiliki cakupan substansi pengaturan lebih luas sebagai isi hukum dengan tujuan mengatasi konflik peraturan dan lain-lain. Terlebih pasal 52 presiden memiliki waktu saat persetujuan perppu atau saat masa persidangan dpr setelah perppu ditetapkan. Sehingga dalam batas penalaran yang wajar MK dapat menerima rangkaian terhadap proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR.
Perihal dalil yang menyatakan UU 6/2023 telah melanggar putusan MK 91/2020 menurut MK tidak beralasan menurut hukum karena Norma konstitusi memberikan pilihan hukum apakah menggunakan revisi melalui perppu atau UU. Pembentuk UU telah Merevisi UU 12/2011 dengan 13/2022, selanjutnya pada tanggal 30 desember 2022 memperbaiki kesalahan penulisan yang tidak substansial dalam perppu no 2 tahun 2022. Dengan mencermati sequence waktu tersebut menurut mk telah sesuai dengan amanat putusan mk sebelum putusan 91/2020.
Sehingga MK kemudian menyatakan tidak tedapat pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, dan jaminan kepastian hukum karena proses pembahasan peppu yang menjadi uu justru mendapatkan pelaksanaan kedulatan rakyat dan memberikan kepastian hukum. Pertimbangan perkara No 56/PUU-XXI/2023 kemudian dianggap mutatis mutandis berlaku juga untuk perkara uji formil lainnya.
Kuasa hukum GEKANAS Ar Lazuardi menyatakan prihatin dengan putusan MK tersebut lagi-lagi MK memberikan pertimbangan yang bernuansa materiil yang seharusnya tidak masuk dalam ranah uji formil, ujarnya. Walau tentunya kita sebagai warga Negara yang taat hukum harus menghormati setiap putusan pengadilan dan perkara ini telah berkekuaran hukum tetap serta tidak ada Upaya hukum lanjutan melalui MK, tegasnya.
Pertama mengenai Makna Persidangan berikut, harusnya jika MK “ragu” apakah menggunakan UUD atau Pasal 52 UU P3, karena dianggap terjadi perbedaan makna, maka cukuplah menggunakan Pasal 22 UUD 1945. Selanjutnya jika ukuran persetujuan pada sidang berikutmya dapat ditafsirkan dengan 3 model sebagaimana putusan MK yang intinya persetujuan DPR itu dianggap harus selesai pada sidang yang sama saat diserahkan naskah perppu oleh Presiden, maka harusnya MK konsisten menyatakan hal tersebut dengan tidak memberikan syarat dan kondisi berbeda terhadap suatu UU seperti halnya UU 6/2023 yang dianggap oleh MK cakupannya luas dan bertujuan baik. Ini kan jadi serba bias dan kondisional bahkan bernuansa pertimbangan materiil yang bukan ranah uji formil ini. Bagaimana ukuran uu ini baik atau tidak seharusnya tidak dijadikan pertimbangan Mk dalma uji formil ini, tegas Ar lazuardi
Kedua, lanjutnya. Jika MK nyatakan UU 6/2023 telah sesuai procedural pembentukannya dan uu penetapan perppu tidak memerlukan partisipasi bermakna (meaningful participation) bukankah bertolak belakang dengan putusan MK No 91 tahun 2020 tentang pengujian formil UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sesungguhnya pelanggaran MK yang ditemukan adalah tidak adanya keterbukaan dan partisipasi bermakna sehingga Pembentuk UU harus memperbaikinya. Padahal isi UU 6/2023 yang sebelumnya merupaka perpou no 2 tahun 2022 secara substansi relative sama dengan UU no 11 tahun 2020. Ini jadi ironi, lanjutnya.
Ketiga, kami perlu tegaskan bahwa pelanggaran pembentuk uu melalui putusan 91/2020 adalah adanya perubahan naskah yang bersifat substansil, itu bisa di cek, bukan tidak substansial sebagaimana dalil pembentukan perppu 2 tahun 2020 ataupun uu 6/2023.
Selanjutnya setelah MK menolak uji formil, MK akan memeriksa perkara uji materiil UU No 6 tahun 2023 untuk diagendakan dalam sidan berikutnya.