Soal Aturan Upah hingga Outsourcing di Perppu Cipta Kerja

by -201 Views

KEPTV News, Jakarta — Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dikritisi oleh pekerja/buruh hingga pengusaha. Beberapa hal yang paling disoroti ialah menyangkut perubahan formula upah minimum hingga sistem outsourcing.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan, substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perppu Cipta Kerja pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya yakni UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perppu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis,” kata Ida, dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (04/01/2023).

Adapun substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perppu ini yang pertama yaitu ketentuan alih daya atau outsourcing. Dalam UU Cipta Kerja, tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perppu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi.

Adapun substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perppu ini yang pertama yaitu ketentuan alih daya atau outsourcing. Dalam UU Cipta Kerja, tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perppu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi.

“Dengan adanya pengaturan ini maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah,” ujarnya.

Kedua, penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum (UM). UM dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Formula penghitungan UM dengan tambahan indeks tertentu tersebut akan diatur lebih lanjut dalam PP.

Lebih lanjut, Perppu ini juga menegaskan, gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP). Gubernur juga dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi daripada UMP.

“Kata ‘dapat’ yang dimaksud dalam Perppu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK apabila nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP,” ucapnya.

Kemudian yang ketiga, penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 tahun atau lebih. Keempat, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Selanjutnya yang kelima, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Ida menjelaskan, perubahan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan Pemerintah di beberapa daerah antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan dan Jakarta. Bersamaan dengan itu, telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.

“Berdasarkan hal-hal tersebut Pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, perlindungan pekerja/buruh dan juga keberlangsungan usaha,” pungkasnya.

Sebagai tambahan informasi, buruh dan pengusaha mengkritisi sejumlah perubahan aturan menyangkut formula upah minimum hingga sistem outsourcing yang terkandung dalam Perppu Cipta Kerja.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani sempat menyampaikan, perhitungan UM yang menggabungkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu, akan memberatkan dunia usaha.

Kemudian menyoal outsourcing, pihaknya merasa pemberlakuan pembatasan ini merupakan langkah yang tidak tepat. Apalagi, menurut Hariyadi, Indonesia membutuhkan lapangan kerja yang sangat besar, sehingga pembatasan ini justru malah akan mempersempit kesempatan. Apalagi, outsourcing merupakan medium bagi para tenaga terampil yang belum memiliki pengalaman, menuju ke jenjang karir yang lebih baik.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea juga sempat menyampaikan beberapa aturan yang ditolak buruh. Sama seperti pengusaha, buruh menolak formula kenaikan upah yang tercantum dalam pasal 88D Perppu Cipta Kerja. Menurutnya, seharusnya dijelaskan soal indeks tertentu itu seperti siapa pihak yang menetapkan indikator tersebut maupun dasar kajiannya.

Berkaca pada masa pandemi, menurutnya tak semua perusahaan juga mengalami penurunan kinerja. Maka dia mengusulkan lebih baik ada hitungan yang rigid soal penentuan upah minimum, memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan lain sebagainya.

Penolakan juga diberikan pada pasal 64 sampai 66 soal pekerja alih daya atau outsourcing. Di dalamnya, tidak dijelaskan pekerjaan apa saja yang boleh dilakukan oleh outsourcing. Menurutnya, pemerintah lebih baik mengembalikan aturan pekerja alih daya ke UU Ketenagakerjaan yang membatasi lima jenis pekerjaan yakni sopir, petugas kebersihan, sekuriti, katering, dan jasa migas pertambangan.

Sumber : https://finance.detik.com/properti/d-6498729/kata-menaker-soal-aturan-upah-outsourcing-di-perppu-ciptaker-yang-banjir-kritik