MATRIKULASI PERBEDAAN UU CIPTA KERJA dan PERPPU CIPTA KERJA oleh M. Fandrian Hadistianto, SH, MH (LBHN PP FSP KEP SPSI)
UU CIPTA KERJA NO. 11 TAHUN 2022 | PERPPU CIPTA KERJA NO. 2 TAHUN 2022 |
Pasal 81 Ketenagakerjaan | Pasal 81 Ketenagakerjaan |
Pasal 64 dihapus | Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64 (1) Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. (2) Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
——————– | Judul Paragraf 1 pada BAB X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Paragraf 1 Penyandang Disabilitas Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 (1) Pengusaha yang mempekerjalan Tenaga Kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasan. (2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
——————— | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 Setiap Pekerja/ Buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayal (2) huruf b, ayat (3), ayat (5), Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat Upah penuh. |
Pasal 88C (1) Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi. (2) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan (4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan (5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi (6) Kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara. penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. | Pasal 88C (1) Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi. (2) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota. (3) Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi. (4) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan. (5) Kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. (6) Dalam hal kabupaten / kota belum memiliki Upah minimum dan akan menetapkan Upah minimum, penetapan Upah minimum harus memenuhi syarat tertentu. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara. penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Pasal 88D (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Upah minimum. (2) Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi, atau inflasi Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan Upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah. | Pasal 88D (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Upah minimum. (2) Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan Upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
—————————————– | Pasal 88F Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). |
Pasal 92 (1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas. (2) Struktur dan skala Upah digunakan sebagai pedoman Pengusaha dalam menetapkan Upah (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala Upah diatur dalam Peraturan Pemerintah. | Pasal 92 (1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas. (2) Struktur dan skala Upah digunakan sebagai pedoman Pengusaha dalam menetapkan Upah bagi Pekerja/Buruh yang memiliki masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala Upah diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
PASAL 82 JAMINAN SOSIAL NASIONAL | PASAL 82 JAMINAN SOSIAL NASIONAL |
————–sama————————– | ————–sama————————– |
PASAL 83 BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL | PASAL 83 BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL |
————–sama————————– | ————–sama————————– |
BAGIAN KETENTUAN PERALIHAN PERPPU CIPTA KERJA
BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 184 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku: a. semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini; dan b. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Pasal 185 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O20 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAGIAN PENJELASAN PERPPU CIPTA KERJA
KHUSUS URAIAN MENGENAI TINDAKLANJUT PUTUSAN MK 91 DAN PEMENUHAN UNSUR KEGENTINGAN YANG MEMAKSA Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja yang telah menggunakan metode omnibus (omnibus law). Namun Undang-Undang tersebut telah dilakukan pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2O2O telah menetapkan amar putusan, antara lain: 1. Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan; 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan; dan 3. melakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2O2O tersebut, telah dilakukan: a. Menetapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah mengatur dan memuat metode omnibus dalam penyusunan undang-undang dan telah memperjelas partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2O22 tersebut, maka penggunaan metode omnibus telah memenuhi cara dan metode yang pasti, baku, dan standar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. b. Meningkatkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) yang mencakup 3 (tiga) komponen yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be l,.eardl, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (righl to be consideredl, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (righl to be explainedl. Untuk itu Pemerintah Pusat telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O20 tentang Cipta kerja (Satgas UU Cipta Kerja) yang memiliki fungsi untuk melaksanakan proses sosialisasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. Satgas UU Cipta Kerja bersama kementerian/ lembaga, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan telah melaksanakan proses sosialisasi di berbagai wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. c. Selanjutnya, juga telah dilakukan perbaikan kesalahan teknis penulisan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O arftara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial.
Selain sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIIII/2020 tersebut, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja juga melakukan perbaikan rumusan ketentuan umum Undang-Undang sektor yang diundangkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan perbaikan rumusan ketentuan umum (batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim, dan hal-hal yang bersifat umum) tersebut, maka ketentuan yang ada dalam Undang-Undang sektor yang tidak diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja harus dibaca dan dimaknai sama dengan yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
Sebagai tindak lanjut berikutnya, perlu menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja untuk melakukan perbaikan dan penggantian atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini meliputi:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. ketenagakerjaan;
c. kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M;
d. kemudahan berusaha;
e. dukungan riset dan inovasi;
f. pengadaan tanah;
g. kawasan ekonomi;
h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan j. pengenaan sanksi.
Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor l3S |PUU-VI[ l2OO9,kondisi tersebut di atas telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: a. karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; b. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan c. kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam kegentingan yang memaksa, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.