Pers Release
Aksi Unjuk Rasa Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Mahkamah Konstitusi Meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan Penjelasan atas Putusan UU Cipta Kerja agar tidak multi tafsir dan Meminta Pemerintah untuk segera menerbitkan PERPPU Penundaan Pemberlakuan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Semua Aturan Turunannya,Rabu, 8 desember 2021
Dalam sidang Uji Formil UU No.11 Tahun 2020 yang dilakukan pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan dengan tegas bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau inskonstitusional secara bersyarat.
Menurut Zen Mutowali, SH, CLA, Bidang Advokasi DPC KSPSI Bekasi, dalam pertimbangan hukum putusan MK terdapat setidaknya 3 hal mendasar (dalam hal ini satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya) yang menyebabkan Pembentukkan UU 11 Tahun 2020 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan harus dinyatakan cacat formil, yaitu:
Tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; Terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan Bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan yang terkait dengan partisipasi masyarakat. Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Tetap dipaksakannya berbagai ketentuan dalam UU 11/2020 dan aturan turunannya oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seperti penetapan upah minimum tahun 2022 di berbagai daerah paska putusan Inskonstitusional UU Cipta Kerja oleh MK tentu sangat membuat marah pekerja Indonesia karena menjadi cerminan ketidakpatuhan pemerintah dalam melaksanakan putusan MK, hal ini juga mengakibatkan terjadi kekacauan hukum dan memicu munculnya kegaduhan di dunia industri yang sangat merugikan pekerja dan juga industri secara umum, begitu penjelasan Zen Mutowali.
Pemerintah seolah-olah ingin memaksakan kekuasaannya dengan cara melanggar hukum dan ugal-ugalan, terhadap hal ini bahkan MK sendiri sudah sangat jelas menyebutkan pada salah satu amar putusannya agar pembentuk undang-undang menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Munculnya beragam penafsiran dan polemik terhadap putusan MK ini tentu tidak terlepas dari putusan MK sendiri yang di satu sisi menyatakan UU 11 Tahun 2020 inkonstitusional dengan tambahan persyaratan tertentu, akan tetapi dalam amar putusan lainnya menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan.
Fajar Winarno, Selaku Sekretaris DPC SPSI Bekasi menyampaikan bahwa secara materil UU Cipta Kerja dan aturan turunannya khususnya di klaster ketenagakerjaan telah diimplementasikan oleh sebagian perusahaan dalam praktik ketenagakerjaan, dimana dampaknya sangat merugikan kaum pekerja karena menghilangkan kepastian hubungan kerja dan hilangnya jaminan hidup layak bagi pekerja Indonesia. Secara umum menurutnya dalam praktik UU Cipta Kerja ini tidak sejalan dengan tujuan pembentukkannya untuk menyerap lapangan kerja karena yang terjadi justru semakin banyak pemutusan hubungan kerja dengan cara PHK yang semakin mudah, UU Cipta Kerja justru telah mendorong maraknya PHK bagi pekerja dengan pesangon yang sangat rendah. Bahkan di sebagian perusahaan perusahaan melakukan PHK kepada para pekerja tetap, kemudian direkrut lagi sebagai pekerja alih daya atau bahkan peserta magang.
UU Cipta Kerja ini sangat menyengsarakan pekerja Indonesia dan mengancam masa depannya sehingga harus dicabut atau dibatalkan. Di sisi lainnya Fajar Winarno menyoroti kebijakan dalam PP 36 tentang pengupahan yang menyebabkan tidak adanya kenaikan upah minimum di berbagai daerah sebagai kebijakan yang menghilangkan hak pekerja Indonesia untuk hidup layak, bagaimana pekerja dapat hidup sejahtera apabila upahnya tidak naik sementara harga-harga terus merangkak naik,.daya beli upah semakin menurun dan tergerus. Dan yang paling mendasar pemerintah seharusnya tidak melupakan bahwa kita masih menghadapi pandemi dan ancaman varian virus yang baru, kita semua dituntut untuk menjalankan prokes, tetapi bagaimana bisa berhasil kalau upah yang digunakan oleh pekerja untuk memenuhi prokes seperti membeli masker, suplemen, hand sanitizer, desinfektan ternyata tidak ada kenaikan, uangnya darimana untuk memenuhi itu semua.
Berdasarkan hal tersebut, pada tanggal 8 Desember 2021 Keluarga Besar SPSI Bekasi sejumlah 1000 orang bergabung dalam aksi bersama KSPSI dan KSPI dan Serikat lainnya di tingkat Nasional melakukan aksi unjuk rasa damai di Mahkamah Konstitusi untuk meminta penjelasan kepada MK terhadap putusan UU Cipta Kerja agar tidak terjadi multi tafsir dan merugikan pekerja.Selain itu masa aksi juga meminta Pemerintah untuk segera menerbitkan PERPU Penundaan Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang CIPTA KERJA yang telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan pekerja dan masyarakat Indonesia.