Persidangan Uji Formil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja di Mahkamah konstitusi
Ahli DR Zainal: Pembentukan UU 6/2023 merupakan penghinaan terhadap putusan MK dan Konstitusi
Ahli Bivitri : Dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi.
Sidang lanjutan uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, digelar di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (26/7/2023). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan 2 orang ahli dan seorang saksi dari pemohon perkara 40/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 121 Pemohon terdiri dari 10 Federasi/Serikat Pekerja dan selebihnya merupakan pekerja aktif yang tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS)
Ahli yang dihadirkan yakni Dr Zainal Arifin Mochtar dan Bivitri Susanti serta saksi Timboel Siregar. Dalam persidangan, Ahli Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar memaparkan keterangannya dalam 5 hal pertama UU Cipta Kerja tidak memenuhi prinsip-prinsip Good Regulatory Practice kedua Ketidaktaatan Konstitusional (constitutional disobedience) Pembentuk UU dalam UU Cipta Kerja, ketiga UU Cipta Kerja bertentangan dengan Morality and Constitutional Values UUD 1945, keempat Konstitusionalitas Perpu; dan kelima Bahaya Kegentingan dan Kemendesakan.
Ahli mulanya mengatakan, perbedaan substantif antara dokumen UU Ciptaker dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 sangat tipis.
“Kalau kita komparasikan antara dokumen UU Cipta Kerja dengan Perppu yang keluar dan kemudian itu diundangkan menjadi UU Cipta Kerja, itu sebenarnya perbedaannya tipis sekali, sangat tipis, nyaris tidak banyak perbedaan substantif,” kata ahli Zainal, saat menyampaikan keterangannya di persidangan, Rabu ini.
Ia kemudian menjelaskan, dalam proses penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi UU, terdapat pergeseran dari pembentukan UU secara hukum tata negara biasa menjadi luar biasa. Sehingga, menurutnya, pergeseran menjadi tata negara luar biasa tersebut, meniadakan syarat pembentukan UU yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yakni meaningful participation.
“Maka pertanyaan paling menariknya adalah, bagaimana ketaatan konstitusional ketika kita bicara soal UU yang harusnya melibatkan publik secara baik, tapi kemudian kewajiban UU dalam rezim hukum tata negara biasa ini digeser menjadi rezim hukum tata negara luar biasa, sehingga seakan-akan kewajiban partisipasi publik itu ditinggalkan. Seakan-akan membenarkan kewajiban partisipasi publik ditinggalkan,” jelasnya.
“Kalau kita tarik ke dalam ini, ada satu urgensi besar dari pergeseran model Perppu, model yang seharusnya UU menjadi Perppu itu adalah dengan meniadakan yang namanya meaningful participation,” sambungnya.
Padahal, Zainal mengatakan, meaningful participation atau partisipasi bermakna masyarakat merupakan sesuatu yang esensial dalam pembentukan UU. Sebab, lanjut Zainal, hal ini juga menyangkut Pasal 1 UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan di tangan rakyat.
“Ini bukan soal legislasi. Esensinya adalah soal pasal 1 UUD 1945, kedaulatan di tangan rakyat. Maka ketika mau buat Undang-Undang, rakyat harus tahu dan harus dibicarakan. Yang oleh MK secara luar biasa diterjemahkan sebagai meaningful participation dalam konteks right to be heard (hak untuk didengar pendapatnya), right to be consider (hak untuk dipertimbangkan pendapatnya), dan right to be explain (hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan),” kata Zainal.
“Nah sayangnya kewajiban yang harusnya ada di rezim ini itu tiba-tiba digeser menjadi seakan-akan kedaruratan atau hukum tata negara luar biasa. Sehingga seakan-akan bisa menegasikan (meaningful participation).”
Ahli bahkan menegaskan Pembentukan UU 6/2023 merupakan penghinaan terhadap putusan MK dan Konstitusi.
Selanjutnya Ahli Bivitri susanti menjelaskan lebih dalam pada aspek ketaatan Konstitusional Pembentuk Undang-Undang atas perintah Putusan MK. Dalam makalahnya yang berjudul Ada Iktikad Buruk Melanggar Konstitusi Merusak Negara Hukum dalam Undang-Undang Cipta Kerja, ahli Bivitri mengutip salah satu putusan mahkamah Konstitusi yang dalam pertimbanganya mengeluarkan istilah pembangkangan konstitusi dikutp dalam putusannya dikatakan dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitus, lanjutnya.
Selanjutnya diuraikan ahli Bivitri Adanya iktikad buruk atau intensi (bad intention) atau politik hukum pemerintah bisa dilihat dari tindakan hukum untuk tetap menerapkan UU 11/2020 setelah 25 November 2023. Di ujung, ini seperti mendapat “pengukuhan” dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022. Bahkan tak berhenti di situ, pembangkangan itu terus berlanjut dengan dibahas, disahkan, dan diundangkannya Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023, meskipun sudah ada pelanggaran yang nyata dari Pasal 22 ayat (3) UUD 1945.
Ahli juga menyampaikan Peran Mahkamah Konstitusi untuk mengoreksi pembangkangan konstitusi ini sangat diperlukan untuk menjaga negara hukum Indonesia., tegasnya.
Selanjutnya saksi timbul siregar sebagai sekretaris jenderal Federasi Organisasi Serikat Pekerja (OPSI) menyatakan pasca putusan Mk No 91 tahun 2020 sama sekali tidak terdapat kosongan hukum yang terlihat dai pengalamann saksi melihat penetapan upah minimum setepah putusan MK tersebut tetap mempedomani UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya, termasuk dalam hal juga perselisihan hubungan industrial hingga ke pengadilan tetap mempedomani UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan pelaksanaannya seperti PP No 35 tahun 2021.
Sebagai informasi, sidang uji formil UU Ciptaker ini diikuti oleh para pemohon lainnya, yakni pemohon perkara 41, 46, 50/PUU-XXI/2023. Agenda sidang berikutnya adalah mendegarkan keterangan ahli dan saksi dari perkara nomor 46 dan 50/PUU-XXI/2023 hari rabu, tgl 2 Agustus 2023.