121 Pemohon Perkuat Dalil Uji UU Cipta Kerja

by -191 Views

CEMWU, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua terhadap uji formiil dan materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang dilaksanakan pada Senin (22/5/2023) oleh Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih. Adapun agenda sidang yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan.

Permohonan diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 pekerja. Para Pemohon melalui Zen Mutowali selaku kuasa hukum menyampaikan hal-hal yang diperbaiki pada permohonan Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023. Di antaranya, pemisahan uji formiil dan materiil serta memisahkan alasan dan legal standing masing-masing bagian. Selain itu, para Pemohon juga telah melakukan penguatan dalil serta pasal-pasal yang dimintakan untuk diujikan sebagaimana nasihat hakim dalam persidangan sebelumnya.

“Dalam materil menyatakan Pasal 81 Angka 12, Pasal 56 Angka 12, Pasal 58 Angka 15, Pasal 61 Angka 18, Pasal 64 Angka 19, … Pasal 164 Angka 65 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap Guntoro, kuasa hukum para Pemohon, saat membacakan Petitum terbaru atas permohonan  yang mendalilkan UU Cipta Kerja cacat secara formil dan materiil sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Sebagai tambahan informasi, MK pada Selasa (9/5/2023) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian formil dan materil Pasal 80 dan 81 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Permohonan perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk.

Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil dan pasal-pasal a quo pun bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Para Pemohon juga mempertanyakan tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Menurut para Pemohon, hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja.

Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

“Dengan didegradasi perlindungan hukum terhadap pekerja dari sebelumnya telah lebih baik diatur, berdampak pada banyaknya pemutusan hubungan kerja yang akan berujung pada meningkatnya pengangguran,” sebut Mustiyah selaku kuasa hukum para Pemohon.

Mustiyah menjelaskan, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tenggang waktu dua tahun yang diberikan merupakan waktu yang seharusnya dimanfaatkan oleh pembentuk undang-undang untuk sigap, taat, dan cekatan melaksanakan perintah putusan MK.

“Sudah sepatutnyalah Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas penetapan undang-undang a quo sebagai bentuk pembangkangan yang mencederai keagungan Mahkamah Konstitusi. Jika model begini dibiarkan, para Pemohon khawatir potensi lemahnya fungsi check and balances dan membuat ketidakpercayaan publik terhadap MK karena putusannya tidak berdaya di hadapan lembaga negara lain,” sebut Mustiyah.

Sumber : https://www.mkri.id/