KEPTV News, Jakarta — Sekretaris Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (PP SPKEP) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sulistiyono, S.H., mengungkap, nasib para pekerja tambang selama ini sangat minim. Tidak sebanding dengan pencapaian pendapatan negara yang signifikan dari program hilirisasi industri nikel.
“Nasib para pekerja tambang nikel tidak berbanding lurus dengan prospek nikel itu sendiri. Para pekerja secara kesejahteraan masih sangat minim, ditambah lagi adanya outsourcing, alih daya yang sudah masuk ke semua unit usaha, serta praktik magang kerja yang sudah melenceng dari tujuan pemagangan itu sendiri,” kata Sulistyo melalui pesan WhatsApp kepada nikel.co.id, Kamis (19/1/2023).
Kondisi tersebut, imbuhnya, belum termasuk potensi berbahaya dalam pekerjaan yang dialami oleh para pekerja sangat tinggi. Hal ini tidak berbanding lurus dengan upah yang diterima dan jauh dari kata sejahtera.
“Risiko pekerjaan yang sangat tinggi tidak sebanding dengan upah dan kesejahteraan yang didapat oleh pekerja,” ungkapnya.
Selain itu, tambah dia, di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih jauh dari harapan.
K3 belum berfungsi dengan baik dan layak sehingga sangat rawan terjadi kecelakaan.
Di sisi lain, Sulistiyono mengetahui pendapatan negara dari hilirisasi industri nikel terjadi peningkatan. Seharusnya memberikan dampak yang baik bagi perusahaan tambang maupun para pekerja tambang. Namun yang terjadi di lapangan tidak serta merta keuntungan perusahaan akan berdampak langsung kepada peningkatan kesejahteraan.
“Masih tetap harus diminta atau dengan kata lain diperjuangkan oleh pekerja atau melalui serikat pekerja. Diperparah lagi dengan sistem hubungan kerja yang flexible,” jelasnya.
Sulistiyono mengungkap, upah pokok rata-rata para pekerja tambang mengikuti upah minimum yang berlaku. Pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun kalaupun lebih besar, selisihnya pun sangat kecil. Perbedaan pendapatan bulanan yang diterima pekerja biasanya dari lemburan kerja.
“Otomatis, dengan adanya sistem jam kerja atau roster kerja, waktu kerja mereka lebih panjang dan mewajibkan bekerja lebih dari jam kerja normal. Misal, 12 jam sehari, sehingga take home pay seolah-olah besar. Padahal yang besar bukan upahnya, melainkan lemburannya,” terang dia.
Ia mengungkapkan, umumnya pendidikan para pekerja tambang rata-rata setingkat SMA atau sederajat untuk level operator lapangan.
“Untuk sekelas operator rata-rata SLTA/SMK, kecuali jabatan-jabatan tertentu yang membutuhkan keahlian dan pendidikan lebih tinggi. Itupun persentasenya kecil,” ungkapnya.
Sulistiyono menuturkan, kebutuhan pihak perusahaan tambang selama ini untuk menerima calon pekerjanya masih pada level tingkat SMK. Karena kebanyakan yang dibutuhkan adalah bagian operator.
“Karena kebutuhan tenaga kerja untuk level operator atau pelaksana, maka yang dibutuhkan pendidikan setingkat SLTA atau SMK. Kecuali untuk jabatan-jabatan tertentu yang membutuhkan pendidikan yang lebih tinggi,” tuturnya.
Sementara spesifikasi jenjang pendidikan yang diprioritaskan untuk menyerap kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan tambang tidak ada sampai saat ini.
“Sepengetahuan saya tidak ada untuk setingkat operator ya SLTA atau SMK,” sambung dia.
Menurut Sulistiyono, dalam melaksanakan produksi pertambangan, perusahaan tambang tidak pernah memberikan pelatihan dan pendidikan untuk para pekerja agar meningkatkan kapasitas para pekerja untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
“Tidak ada, karena memang tidak ada pelatihan khusus bagi para calon pekerja terutama dari pemerintah,” tegasnya.
Sebaliknya, kata dia, yang ada sekarang ini sistem pemagangan yang pada praktiknya mereka sama seperti orang yang berkerja biasa. Yang membedakan, mereka tidak diupah, hanya diberikan uang saku.
“Sistem kerja seperti ini lebih parah atau bisa dikatakan perbudakan di jaman modern,” tukasnya.