RINGKASAN DAN CATATAN DISSENTING OPINION 4 HAKIM KONSTITUSI

by -158 Views

RINGKASAN DAN CATATAN PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) 4 (EMPAT) HAKIM KONSTITUSI Oleh Ari Lazuardi

Putusan MK Uji Formil UU CIpta Kerja tanggal 25 November 2021 Register Perkara 91/PUU-XVIII/2020 yang berkaitan juga dengan perkara 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020, 4, 6/PUU-XIX/2021 karena selain objek juga pembuktiannya dilakukan secara bersamaan, selain menyatakan Kontitusional bersayara keberlakuan UU Cipta Kerja, juga menyisakan catatan tersendiri mengenai adanya 4 Hakim Konstitusi yang berpendapat berbeda.

Apapun isi pendapat 4 (empat) dari 5 (lima) hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda tersebut tentu tidak mengubah substansi putusan UU Cipta Kerja yang telah berlaku dan mengikat secara hukum.

Namun demikian sebagai catatan yang kiranya dapat menjadi pemahaman bagi masyarakat umum, bahwa terdapat pemikiran berbeda yang bisa jadi akan mengubah putusan MK mengenai uji formil UU Cipta Kerja seandainya terdapat seorang hakim lagi yang sepemikiran sebelum rapat musyawarah hakim ditetapkan dan menjadi putusan.

Adapun pandangan 4 (empat) Hakim konstitusi yang berbeda tersebut dapat disarikan sebagai berikut:

I. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman

Terdapat pendapat berbeda untuk menjawab 3 hal utama yang dipermasalahkan pemohon berupa:

  1. Format susunan peraturan dari UU Cipta Kerja yang menggunakan teknik Omnibus Law.
  2. Pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
  3. Adanya perubahan terhadap materi muatan pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.

2 hakim konstitusi tersebut menerangkan bahwa terdapat permasalahan yang bersifat mendasar dan penting untuk segera dijawab, yaitu apakah untuk menerapkan metode omnibus law pada pembentukan undang-undang diperlukan perubahan terlebih dahulu terhadap undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan atau kah metode ini dapat digunakan tanpa terlebih dahulu mengubah ketentuan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun pendapat kedua hakim tersebut pada intinya menyatakan:

  1. Pendekatan hukum yang bersifat positif legalistik dan linier sangat sulit dan selalu tertinggal untuk menjawab persoalan hukum yang berkembang didalam masyarakat yang sedang berubah karena hukum adalah sebuah institusi yang penuh dengan dinamika. Oleh karena itu, hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan masyarakat dan hukum itu juga harus mampu untuk mengatur perkembangan kebutuhan masyarakatnya sehingga hukum harus bersifat dinamis dan progresif.
  2. Legislasi saat ini memiliki banyak permasalahan di antaranya adalah banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan (over-regulated), banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih (overlapping), dan disharmoni antar peraturan dan rumitnya teknis pembuatan peraturan perundang-undangan metode Omnibus Law dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan legislasi tersebut.
  3. Bahwa dalam konteks hukum progresif, metode pembentukan undang-undang melalui metode omnibus law tidak mempermasalahkan nilai baik atau pun buruk. Karena ia adalah suatu metode yang bebas nilai.
  4. Oleh karena itu metode pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law dapat diadopsi dan cocok diterapkan dalam konsepsi negara hukum Pancasila sepanjang omnibus law itu dibuat sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip yang termuat dalam UUD 1945.
  5. Lagipula Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto Undang-Undang 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) tidak secara eksplisit menentukan keharusan menggunakan metode apa dalam pembentukan suatu undang-undang sehingga praktik pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law dapat dilakukan.
  6. Terlebih dalam praktiknya metode omnibus law telah digunakan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia
  7. Sebab, apabila pembentuk undang-undang tidak menggunakan pembentukan UU Ciptaker dengan menggunakan metode omnibus law maka terdapat kurang lebih 78 undang-undang yang harus dibuat dalam waktu bersamaan dan pastinya membutuhkan waktu yang relatif lama, sedangkan kebutuhan akan adanya suatu regulasi yang komprehensif ini sangat mendesak.
  8. Pembentuk undang-undang mengharapkan dengan diterapkannya metode Omnibus Law dalam UU Ciptaker dapat mengatasi konflik (disharmonisasi) peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien; pengurusan perizinan lebih terpadu, efektif, dan efisien; meningkatkan hubungan koordinasi antar instansi terkait; menyeragamkan kebijakan pemerintah di pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit; menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan; dan addresat undang-undang dimaksud, serta dapat melakukan sinkronisasi dan harmonisasi atas 78 undang-undang dengan 1.209 pasal terdampak menjadi substansi tunggal yang dimuat dalam UU Ciptaker.
  9. Argumentasi, urgensi, dan latar belakang pembentukan UU Ciptaker melalui metode omnibus law ini pula termuat secara jelas pada bagian konderans  serta bagian Penjelasan juga urgensi, latar belakang, landasan filosofis dan landasan sosiologis UU Cipta Kerja
  10. Dari bagian Konsiderans dan Penjelasan UU Ciptaker sebagaimana diuraikan di atas, ada beberapa poin yang ingin kami highlight terkait urgensi pembentukan UU Ciptaker, yaitu:
  1. Jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja masih cukup tinggi;
  2. Adanya ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global dan dinamika geopolitik berbagai belahan dunia serta terjadinya perubahan teknologi, industri 4.0, ekonomi digital; Pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir dengan realisasi investasi lebih kurang sebesar Rp721,3 triliun pada Tahun 2018 dan Rp792 triliun pada Tahun 2019; Adanya tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi yang rendah, tingkat pengangguran, angkatan kerja baru, dan jumlah pekerja informal, jumlah UMK-M yang besar namun dengan produktivitas rendah.
  3. Saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi, dimana saat ini terdapat 4.451 peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 peraturan Pemerintah Daerah. Regulasi dan institusi menjadi hambatan paling utama disamping hambatan terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi tidak mendukung penciptaan dan pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi.
  4. Diperlukan penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi.
  5. Diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia.
  6. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu Undang-Undang seperti yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu yang lama.
  7. Mengingat pada tujuan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ”…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”, maka keberadaan UU Ciptaker merupakan suatu keniscayaan.
  8. Membaca dan mencermati apa yang menjadi pertimbangan dalam konsiderans UU Ciptaker dan Penjelasan UU a quo dalam tahapan dibentuknya UU Ciptaker sudah sangat baik dan cermat dilihat dari aspek filosofis, sosiologis maupun pertimbangan yuridis untuk mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi, dan tujuan nasional yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

11. format pembentukan UU Ciptaker tentunya telah mengikuti format pembentukan suatu undang-undang sebagaimana ketentuan UU 12/2011 jo. UU 15/2019, meskipun ada hal yang tidak lazim dilakukan karena adanya pengabaian terhadap beberapa materi di dalam pedoman pembentukan undang-undang yang menjadi lampiran UU 12/2011 jo. 15/2019, misalnya terkait dengan mekanisme pencabutan dan perubahan undang-undang. Namun pedoman yang menjadi lampiran UU 12/2011 jo. 15/2019 hanya bersifat memandu dan tidak perlu dipahami secara kaku dan rigid. Sebab, pedoman pembentukan undang-undang yang dimuat pada Lampiran II disusun berdasarkan pada praktik dan kebiasaan yang dilakukan selama ini dan kemudian dituangkan dalam suatu aturan tertulis.

12. Meskipun penggunaan pembentukan undang-undang melalui metode omnibus law boleh dilakukan tanpa memasukannya terlebih dahulu ke dalam ketentuan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun dalam pembangunan hukum nasional, terutama dalam hal pembentukan undang-undang di masa berikutnya dan demi memenuhi asas kepastian hukum, maka diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesegera mungkin guna mengakomodir metode omnibus law dalam pembentukan undang-undang ke depan.

13. Demikian, meskipun UU Ciptaker memiliki banyak kelemahan dari sisi legal drafting, namun UU ini sangat dibutuhkan saat ini sehingga menurut kami, seharusnya permohonan pengujian formil UU Ciptaker harus dinyatakan ditolak.

14. Dengan ditolaknya permohonan pengujian formil maka pemeriksaan terhadap konstitusionalitas pengujian materil pada permohonan lain dapat terus dilanjutkan. Menurut kami, ada beberapa materi muatan dalam UU Ciptaker yang perlu dikabulkan, terutama ihwal hukum ketenagakerjaan. Sebab, hal ini berkaitan erat dengan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fullfil) hak konstitusional buruh, yakni terkait dengan upah, pesangon, outsourcing, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Oleh karena itu, pendapat hukum yang berbeda terkait dengan pengujian materiil, akan disampaikan pada putusan Perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020 yang menguji baik secara formil maupun materil UU a quo.

II. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) dari Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh

Adapun pendapat 2 (dua) hakim MK tersebut yakni:

  1. Istilah omnibus law atau omnibus bill atau omnibus legislation sejatinya merujuk pada metode, teknik, atau cara penyusunan atau perumusan peraturan perundang-undangan yang berkembang di negara-negara yang menganut sistem common law.
  2. Karakteristik utama dari penggunaan metode omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah multisektor (cluster/klaster) dan menyangkut banyak pasal atau peraturan dengan tema yang sama atau setidak-tidaknya masih memiliki korelasi yang erat yang dihimpun dalam sebuah peraturan.
  3. Terdapat beberapa kelebihan dari metode omnibus antara lain, menyederhanakan banyaknya peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih (over-regulated), mempercepat proses legislasi yang biasanya memakan waktu yang sangat panjang, serta mendorong harmonisasi dan sinkronisasi seluruh peraturan perundang-undangan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
  4. Sementara itu, peluang diadopsinya metode omnibus bilamana hendak diterapkan pada negara-negara yang basisnya bukan common law tetap terbuka melalui transplantasi hukum (legal transplant).
  5. Dalam konteks Indonesia, menurut Ahli Pemerintah, Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., implementasi pembentukan omnibus law bukan merupakan suatu hal yang baru, dan sudah beberapa kali dilakukan, bahkan pada masa Pemerintah Hindia Belanda.
  6. Ketentuan Undang-Undang PPP tidak secara eksplisit menyebutkan metode tertentu yang harus digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan konsep hukum pidana yang menekankan lex scripta, lex certa, dan lex stricta, sesuatu yang tidak secara tegas diatur dalam undang-undang (yang sifatnya prosedural-administratif) tidak serta merta dapat diartikan sebagai larangan atau tabu untuk dilakukan.
  7. Sepanjang sejarah berdirinya Mahkamah, belum terdapat adanya penilaian yuridis terkait metode apa yang baku dan bersesuaian dengan UUD 1945. Artinya, metode lain dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk metode omnibus, dimungkinkan pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional manakala dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi beberapa materi muatan sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan dalam mengatasi kebuntuan berhukum.
  8. Kehadiran Undang-Undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, in casu UU PPP, dimaksudkan untuk mengatur tata cara pembentukan undang-undang yang baik, bukan sebagai tolok ukur atau batu uji atau dasar pengujian yang serta merta menyebabkan suatu undang-undang tersebut batal atau inkonstitusional.
  9. Berkenaan dengan asas kejelasan tujuan, maka hal tersebut terlihat dari Penjelasan Umum yang menguraikan latar belakang, maksud, dan tujuan penyusunan undang-undang.
  10. Berkenaan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, maka sulit menyangkal bahwa UU Cipta Kerja mengabaikan hal ini karena bagian konsideran yang memuat dasar filosofis dan sosiologis serta bagian Penjelasan Umum UU Cipta Kerja telah mempertimbangkan kebutuhan dan manfaat kehadiran
  11. Berkenaan dengan asas kejelasan rumusan, hal tersebut haruslah didalami lebih lanjut pasal demi pasal yang apabila menurut para Pemohon tidak jelas atau memiliki penafsiran yang berbeda atau bertentangan isinya antara pasal yang satu dengan pasal lainnya, maka sebaiknya dilakukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi.
  12. Berkenaan dengan asas keterbukaan, yang dalam hal ini berkaitan erat dengan partisipasi masyarakat/publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja, telah terdapat bukti-bukti yang menegasikan dalil para Pemohon. Berdasarkan Pasal 88 UU PPP, penyebarluasan penyusunan Prolegnas, penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang, dan pengundangan undang-undang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 96 UU PPP, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
  13. Proses pembentukan UU Cipta Kerja telah dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik sesuai dengan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 96 UU PPP. Sementara itu, ketentuan Pasal 96 UU PPP tidak menentukan batas minimal atau maksimal jumlah partisipasi masyarakat in casu kelompok pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat memberikan masukan.
  14. Pembentuk undang-undang telah berupaya melakukan terobosan hukum di tengah persoalan akut di bidang legislasi seperti membengkaknya jumlah regulasi yang kurang mendukung kemudahan berusaha dan ketiadaan lembaga tunggal yang mengelola data peraturan perundang-undangan yang resmi.
  15. Bahkan, Pemerintah telah menetapkan lebih dari 50 (lima puluh) aturan pelaksana UU Cipta Kerja dan membentuk Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja. Seandainya Mahkamah mempertimbangkan hal ini secara proporsional, maka kepentingan publik yang dijamin dan dilindungi oleh keberadaan UU a quo lebih besar daripada anggapan pelanggaran prosedur pembentukan undang-undang sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.
  16. Perubahan UU PPP perlu memasukkan metode omnibus dalam penyusunan undang-undang untuk mengakomodasi penyusunan undang-undang lainnya yang akan menggunakan metode omnibus di masa mendatang.
  17. Seharusnya Mahkamah menyatakan Undang-Undang a quo adalah konstitusional karena UU PPP sama sekali tidak mengatur metode omnibus, walaupun dalam praktik pembentukan undang-undang sudah digunakan dan di sisi yang lain Mahkamah seharusnya tidak menutup mata adanya obesitas regulasi di mana di antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang-tindih sehingga menciptakan ego sektoral yang berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.

Catatan terhadap Pendapat Berbeda (Disenting Opinion/DO)

Terdapat 3 alasan pokok permohonan Para Pemohon yang perlu dijawab jika terdapat hakim DO dan menyatakan Uji Formil Omnibus Law UU Cipta Kerja seharusnya ditolak, yakni:

  1. Format susunan peraturan dari UU Cipta Kerja yang menggunakan teknik Omnibus Law.
  2. Pertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
  3. Adanya perubahan terhadap materi muatan pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.

Namun terhadap 3 (tiga) alasan permohonan pokok tersebut, 4 (empat) Hakim Mahkamah Konstitusi tidak membantah apa saja alasan konstitusional yang dapat dibenarkan manakala terjadi perubahan Naskah RUU Cipta Kerja pasca sidang Paripurna DPR RI tanggal 5 Oktober yang kemudian diundangkan pada 2 November 2020 menjadi UU No 11 tahun 2020.

Perubahan naskah tersebut sayangnya hanya telah dijelaskan secara “antara lain” dalam Pertimbangan Mahkamah Konstitusi, bukan perubahan naskah secaa keseluruhan. Bahkan kalau memperbandingkan di bagian ketenagakerjaan saja cukup banyak perubahan naskah yang terjadi dan tidak dijabarkan dalam pertimbangan mahkamah.

Atas temuan perubahan naskah ini, apakah tidak diberikannya pendapat oleh 4 (empat) hakim Konstitusi berarti membenarkan bolehnya terjadi perubahan naskah setelah sidang paripurna DPR RI atau sebaliknya perubahan naskah tidak diperbolehkan namun 4 (empat) hakim Konstitusi tersebut tidak punya alasan konstitusional untuk membantahnya?

Mengenai keterbukaan dan partisipasi, bukti yang disajikan dalam pendapat berbeda tersebut tidak mengkonfrontir bukti yang diajukan para pemohon termasuk sekedar membuka temuan dari para pemohon lainya dimana secara gamlang bahkan sekedar untuk mengkases suatu nasah RUU saja sangat sulit terlebih sat pembentukan uu tersebut dilakukan ditengah batasan dalam situasi pandemi Covid 19.

Bahkan dalam persidangan, baru terungka ramainya respon pembentuk uu setelah terjadi berbagai penolakan dari kalangan masyarakat dan itupun di respon dengan seadanya tanpa memberikan respon lebih terhadap masukand an kritik masyarakt untuk mendapatkan partisipasi lebih. Dengan mendasari pendapat 2 hakim konstitusi yang menyatakan tidak ada batasan jumlah minimal dan maksimal, apakah berarti 2 (dua) hakim konstitui tersebut membenarkan jika partisipasi itu cukup dilakukan seadanya sehingga kemudian layak diundangkan dan telah memenuhi aspek sosialogis pembentukanya? Kalo iya tentu jangan  disalahkan jika terjadi gelombang penolakan dari berbagai pemangku kepentingan yang berujung karena ternyata banyak cacat prosedur (imbas minimum pengawasan dan partisipasi) yang bermuara di Mahkamah Konstitusi?

Hal lain penulis kiranya perlu sampaikan, bagaimana mungkin argumentasi “kebermanfaatan” masuk dalam pertimbangan uji formil pendapat hakim konsitusi yang berbeda tersebut, terlebih kalaupun dibenarkan belum ada pembuktian yang cukup dalam persidangan mengenai sejauh mana latar belakang, urgensi pembentukan uu cipta kerja tersebut sesuai dengan kebutuhan bangsa dan rakyat Indonesia. Apakah cukup hanya dengan membaca naskah bagian menimbang dan penjelasan suatu UU berarti harus kita amini demikian, lalu apa gunanya uji konstitusional melalui lembaga Tinggi Mahkamah Konstitusi terhadap produk pembuat UU?