Pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memaknai putusan MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun dimaknai pula oleh Pak Airlangga bahwa UU Cipta Kerja dapat dilaksanakan dalam kurun waktu 2 tahun. Tapi apa kata ahli hukum?
“Pendapat itu jelas tidak sesuai dengan putusan MK, baik Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (klaster uji formil) dan Nomor 6/PUU-XIX/2021 (klaster uji materiil),” kata ahli hukum Feri Amsari, Jumat (26/11/2021).
Jika disimak dua klaster pengujian itu, kata Feri, dapat dipahami dengan terang bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Frasa MK yang memerintahkan melakukan perbaikan selama 2 tahun diperbaiki (dan juga dijelaskan dalam putusan uji materiil) sudah sangat terang benderang bahwa pemerintah tidak boleh melakukan tindakan/kebijakan sampai diperbaiki UU a quo.
“Jadi 2 tahun itu bukan untuk diterapkan, tetapi 2 tahun itu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja,” kata pengajar Universitas Andalas (Unand), Padang, itu.
Menurut Feri, memperbaiki prosedur UU Cipta Kerja bermakna memperbaiki tata cara pembentukan agar sesuai ketentuan UU No 12 Tahun 2011 juncto UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). Termasuk dalam rangka menampung partisipasi publik.
“Jangan sampai yang dilakukan itu memperbaiki UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan karena itu adalah aturan hukum yang harusnya menjadi pedoman bagi pembentukan UU Cipta Kerja yang lebih baik. Kalau itu terjadi, UU Cipta Kerja dipaksa dilaksanakan, sementara UU yang lain menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja. Selain itu, jika dilakukan perbaikan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP), maka pembentuk UU menjalankan perintah hakim yang dissenting opinion, padahal dissenting opinion bukanlah amar putusan yang harus dilaksanakan,” papar Feri.
Bagi Feri, putusan di atas adalah uji formil penting yang dikabulkan MK. Artinya pembentuk UU, yaitu pemerintah dan DPR, dikoreksi tata cara pembentukannya. MK memerintahkan sesuaikan dengan ketentuan formil dalam UU PPP.
“Artinya pembentuk UU harus memulai dari tahapan awal pembentukan, terutama soal partisipasi publik yang lemah dan ketidaksesuaian dengan format pembentukan UU yang baik. Dengan demikian, proses pembentukan UU Cipta Kerja harus dimulai dari tahap awal dan harus sesuai dengan konsep 1 klaster isu saja (menggabungkan UU sejenis). Jika masih model UU Cipta Kerja saat ini, yang menggabungkan banyak jenis UU, maka akan bertentangan dengan UU PPP (juga bertentangan dengan putusan MK),” beber Feri.
Putusan harus dijalankan oleh pemerintah dan DPR dengan benar. Bukan ditafsirkan dapat dilaksanakan 2 tahun, sekali lagi, diperbaiki dalam 2 tahun.
“Jika dipaksakan pelaksanaan seluruh tindakan/kebijakan, maka akan batal demi hukum, bahkan dapat berkonsekuensi pidana korupsi jika merugikan keuangan negara, cacat administratif, dan dapat digugat perdata,” pungkas Feri.
MK dalam putusannya pada Kamis (25/11) kemarin memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki UU itu. Berikut amar/perintah MA:
Menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.
Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11/2020 harus dinyatakan berlaku kembali.
MK menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 masih tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. MK juga memerintahkan melarang menerbitkan peraturan pelaksana baru dan kebijakan yang strategis yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. (Sumber : Detik.com)