Perkembangan Sidang pengujian Formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi
Saksi-saksi Pemerintah: Naskah akademis tidak pernah diperlihatkan dalam FGD yang diselenggarakan terkait omnibus ruu cipta lapangan kerja
Jakarta, CEMWU NEWS – Kamis, 23 September 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan perkara pengujian formil UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh 6 (enam) Pemohon dengan Nomor Perkara 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020, 4, 6/PUU-XIX/2021.
Agenda persidangan kali ini menghadirkan 3 (tiga) orang saksi dari Pemerintah yang ditujukan kepada 3 Pemohon yakni Pemohn Perkara 91 dan 107/PUU-XVIII/2020, serta perkara 6/PUU-XIX/2021. Dengan demikian Tim Kuasa Perkara 4/PUU-XIX/2021 yang pemohonnya terdiri dari 661 orang tergabung dari GERAKAN KESEJAHTERAAN NASIONAL (GEKANAS) hanya menyaksikan persidangan dan tidak dapat merespon ataupun memberikan pedalaman pertanyaan keterangan saksi yang ada.
3 orang saksi yang didengarkan yakni Bapak Nasrudin, Ibu Rodhiyah, dan Bapak Djoko Pudjirahardjo. Ketiganya mengaku terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Saksi Nasrudin yang juga merupakan widyawara di kementerian hukum dan HAM menyatakan terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sejak dari perencanaan, penyusunan hingga pengundangan yang kesemuanya menurut saksi mengacu pada proses pembentukan UU sebagaimana diatur dalam UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
Sedangkan saksi Ibu Rodhiyah merupakan pihak yang mengaku mengikuti FGD yang dilaksanakan pada tanggal 22 Januari 2020 yang dihadiri oleh beberapa narasumber dengan melibatkan akademisi untuk dimintai masukan, sedangkan saksi Djoko Pudjihardjo sebagai perwakilan BPHN mengikuti pembahasan sinkronisasi dan penyelarasan nasakah akademis RUU Cipta Kerja.
Saat ditanya oleh hakim Saldi Isra, saksi Djoko Pudjihardjo maupun Saksi Rodhiyah mengaku tidak memeproleh naskah akademis maupun draft RUUnya ketika diadakan pembahasan atau FGD tersebut untuk dibahas dan diberikan masukan, jadi hanya keterangan yang disampaiakan oleh narasumber yang menjadi acuan.
Saksi Nasrudin juga menegaskan, awalnya UU ini digagas dengan nama RUU Cipta Lapangan Kerja hingga naskah dimasukan kepada DPR, namun karena sering disingkat CILAKA, dalam pembahasan di DPR RUU tersebut diubah menjadi RUU Cipta Kerja.
Hakim yang Mulia Suhartoyo mengigatkan saksi agar tidak berpendapat atas pertanyaan pendalaman yang dimintai oleh pemerintah, hakim tersebut juga menegaskan bisa saja hakim meragukan obyektivitas saksi karena saksi yang dihadirkan ini merupakan bagian yang terlibat dalam perencanaan dan penyusuunan UU A quo, namun memang kami tidak dapat menolak kehadairan saksi, tegasnya.
Merespon keterangan saksi tersebut, kuasa hukum GEKANAS Saepul Anwar meragukan keterangan saksi, kesan kuat ada bagian dalam perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja tidak diungkapkan secara utuh oleh para saksi tersebut.
Misal bagaimana mungkin satu FGD yang diagendakan di Jakarta tanggal 22 Januari 2020 dengan menghadirkan narasumber dan beberapa akademisi dijadikan acuan telah dilakukanya jaring aspirasi. Terlebih saksi juga mengakui, tidak ada naskah akademis yang diserahkan untuk menjadi acuan para akademisi yang diundang terbatas tersebut untuk memberikan masukan. Jangan-jangan memang belum selesai naskah akademisnya. Lalu sandaran jaring aspirasinya apa? Kami juga menduga kuat, jangan-jangan RUU Cipta Lapangan Kerja ini dibuat secara simultan dengan naskah akademisnya, bukan menjadi acuan pembuatan RUU, lanjut Saepul.
Saepul Anwar melanjutkan, Keterangan Saksi yang juga sebagian besar ahli hukum ini menegaskan UU Cipta Kerja dibuat sesuai dengan UU 12 tahun 2011 (UU PPP) nampaknya bertentangan dengan keterangan ahli yang pernah dihadirkan oleh pemerintah yang menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja merupakan bagian dari akrobatik hukum yang pembentukannya melebihi dari ketentuan yang ada di UU PPP.
Tim kuasa hukum GEKANAS lainnya Ari Lazuardi menyampaikan terpisah, bahwa saksi tidak mampu membantah bahwa setelah sidang paripurna DPR RI tanggal 5 Oktober 2020 terdapat perubahan naskah yang bukan hanya clenical error ataupun typo, tapi secara substansi merubah banyak. Sebagai contoh temuan kami memperlihatkan dalam BAB XV Ketentuan Penutup Pasal 185, halaman 588 naskah 905 halaman tercantum 3 (tiga) huruf a, b, dan c sedangkan BAB XV Ketentuan Penutup Pasal 185, halaman 768 pada nasakah 1187 halaman (UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja) hanya tinggal 2 (dua) huruf a dan b. belum lagi temuan kami di bagian ketenagakerjaan saja ada banyak frase “diatur dalam” yang berganti menjadi “diatur dengan”. Apa perubahan ini masih bisa ditolerir dalam pembentukan peraturan perundang-undangan? Saya rasa tidak, hal ini yang cenderung tidak ditampilkan oleh termohon Pemerintah ataupun DPR RI yang kembali tidak hadir dalam persidangan ini, tegasnya.
Sidang berikutnya diagendakan rabu, 6 Oktober 2021 dengan agenda mendengarkan keterangan 3 orang saksi pemerintah. (CN)