Perkembangan Sidang pengujian Formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi
Ahli Pemerintah, Prof Satya Arinanto: Perubahan naskah Setelah paripurna diperbolehkan sepanjang disepakati bersama antara Presiden dan DPR Ahli Pemerintah, Dr. Maruarar Siahaan: Tidak boleh ada perubahan Naskah setelah paripurna, kecuali salah ketik tidak merubah substansi boleh
Jakarta, CEMWU NEWS – Kamis, 2 September 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan perkara pengujian formil UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh 6 (enam) Pemohon dengan Nomor Perkara 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020, 4, 6/PUU-XIX/2021.
Agenda persidangan kali ini sedianya mendengarkan 3 ahli dari Pemerintah yang ditujukan kepada seluruh 6 Pemohon, namun di awal persidangan Majelis Hakim menyatakan masing-masing ahli yang dihadirkan oleh pemerintah hanya ditujukan kepada masing-masing satu Pemohon yakni Perkara 91, 103, dan 105/PUU-XVIII/2020. Hal ini dapat dikatakan selaras dengan pernyataan keberatan dalam persidangan sebelumnya dari tim kuasa Hukum GERAKAN KESEJAHTERAAN NASIONAL (GEKANAS) dengan alasan proporsional dan perlakuan yang sama dihadapan persidangan.
Oleh karena ahli hanya ditujukan untuk perkara lain, Tim Kuasa Perkara 4/PUU-XIX/2021 yang pemohonnya terdiri dari 661 orang tergabung dari GERAKAN KESEJAHTERAAN NASIONAL (GEKANAS) hanya dapat menyaksikan dan tidak dapat secara aktif merespon keterangan ahli yang ada.
Dalam keterangannya, ahli Prof Satya Arinanto mengatakan omnibus law telah ada secara praktek sejak zaman Hindia Belanda, Jadi sebenarnya dari sejarah hukum Indonesia, Omnibus Law bukan hal yang baru, jelasnya.
Metode Omnibus Law merupakan suatu keberhasilan dan dapat diterapkan di masa mendatang. Selain itu dikatannya, omnibus memberikan dampak positif, kita tidak bisa menolak karena ini dari common law, bukan sistem civil law, karena ada pembaharuan hukum kita. Lanjutnya.
Sepanjang uu ini dibuat dengan persetujuan DPR dan Presiden tidak cacat prosedur, sepanjang dua belah pihak setuju tidak ada masalah sebelum dimuat dalam lembaran Negara, itu hal yang lazim dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Selain itu dikatakan dalam UU 12/2011 tidak mengatur metode, melainkan prosesnya. Kita melihat aspek kemanfaatan (doelmategheid) dari UU Cipta Kerja ini. Terang Satya.
Ahli Maruarar Siahaan menyoroti mengenai batu uji dalam uji formil ini haruslah dilandaskan tetap pada UUD 1945 Pasal 22A. Kalau mengacu pada UU Pembentukan peraturan Perundang-undangan apakah tidak berarti UU PPP tidak menyebabkan UUD 1945 telah berubah? MK akan menentukan ruang lingkup kriteria uji formil tersebut, terang ahli.
Selain itu Maruarar Siahaan yang juga mantan Hakim MK mengatakan perubahan Naskah UU tidak boleh dilakukan kecuali ada salah ketik dan tidak merubah substansi.
Ahli ketiga yang dihadirkan pemerintah Lita Tyesta mengatakan Omnibus Law merupakan upaya pembentukan peraturan perundang-undangan yang mampu menyelesaikan persoalan hyper regulasi atau obesitas perundang-undangan, juga berdampak pada high cost ekonomi, sehingga diperlukan omnibus law dalam rangka penataan peraturan perundang-undangan.
Ahli Lita juga menegaskan UU yang disahkan tidak akan memuaskan semua pihak. namanya uu tidak bisa memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Pasti ada kelemahan-kelemahan disana karena buatan manusia.
Dihubungi setelah persidangan salah seorang tim kuasa hukum GEKANAS Endang Rokhani mengatakan, kita menghormati pandangan dan keterangan dari ahli yang dihadirkan Pemerintah, karena tentu Persepsi ahli bisa berbeda-beda satu dengan lainnya. Namun dari 3 ahli yang dihadirkan menurut Endang, tidak bulan bundar dan terkesan tidak yakin betul bahwa Proses Pembentukan UU No 11 tahun 2002 tentang Cipta Kerja telah dilakukan secara Prosedural dan Partisipatif. Terlebih dari dua ahli pemerintah bertolak belakang satu dengan lainnya mengenai temuan bahwa naskah uu setelah paripurna yang berubah-ubah dibenarkan secara prosedural atau tidak.
Kuasa hukum Gekanas lainya Ar Lazuardi menyoroti pandangan ahli Pemerintah Lita yang mengatakan Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak bertentangan UU No 12 tahun 2011 tentang PPP, dikatakan Lita sebelumnya bahwa UU PPP memang tidak mengatur, walaupun dalam penjelasan ada, tapi lihat pasal-pasal, yg muncul hanyalah teknik. Terlebih Melanggar pasal mana? Pegaturan metode saja tidak ada.
Ari mengatakan secara terang benderang prosedur pembentukan UU Cipta Kerja cukup terang benderang berantakannya, jadi kalaupun tidak ada pasal sanksi dalam suatu norma bukan berarti tidak dapat dianggap pelanggaran prosedural, terdapat asas lex Imperfecta dimana suatu norma yang ada tidak diberlakukan sanksi bukan berarti dianggap sanksi itu menjadi lepas. Tegasnya.
Ar Lazuardi menambahkan, Pelanggaran prosedural pembentukan UU Cipta Kerja seperti dalam proses perencanaan dan penyusunan yang terkesan tertutup sehingga menghambat partisipasi publik sehingga baru ramai undangan pelibatan stakeholder pasca RUU diserahkan ke DPR untuk Proses pembahasan kiranya sudah terlambat, terlebih pasca paripurna diketok tanggal 5 Oktober 2020, naskah yang beredar di publik sejumlah 905 halaman berubah secara substantif menjadi 812 halaman dan terakhir menjadi 1187 halaman saat diundangkan, mau alasan pembenar apalagi untuk mengatakan banyak cacat prosedur pembentukan UU Cipta Kerja ini .
Sidang berikutnya mendengarkan keterangan 3 orang ahli dari Pemerintah pada kamis, 9 September 2021. (CN)