Delapan Hak Dasar Pekerja

by -433 Views
Di tulis oleh Chandra Mahlan Direktur Diklat PP FSP KEP SPSI

1. HAK DASAR PEKERJA DALAM HUBUNGAN KERJA

Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh, meningkatkan dan mengembangkan potensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.

Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. Keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Moral dan kesusilaan;dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai agama.

Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi annggota serikat pekerja.
(Dasar hukum , UU 13/2003 UU 21/2000)

2. HAK DASAR PEKERJA ATAS JAMINAN SOSIAL DAN K3 (KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA)

Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Setiap pekerja dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi :
a. Jaminan Kecelakaan Kerja;
b. Jaminan kematian;
c. Jaminan Hari Tua;
d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.

Keselamatan dan kesehatan kerja

Berhak meminta kepada pengusaha untuk dilaksanakannya semua Syarat-syarat Keselamatan dan kesehatan kerja;

Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya.

(Dasar Hukum ,UU 13/2003, UU 3/1992, UU 1/1970, KEPRES 22/1993 PP 14/1993, PERMEN 04/1993 & PERMEN 01/1998)

3. HAK DASAR PEKERJA ATAS PERLINDUNGAN UPAH

  • Setiap pekerja berhak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
  • Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun
  • Peninjauan besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun
  • Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
  • Pengusaha wajib membayar upah kepada buruh, Jika buruh sendiri sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya.
  • Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban negara, jika dalam menjalankan pekerjaan tersebut buruh tidak mendapatkan upah atau tunjangan lainnya dari pemerintah tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.
Pengusaha wajib membayar upah kepada buruh, Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal-hal sebagaimana dimaksud dibawah ini, dengan ketentuan sbb :

a. Pekerja menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. Menghitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
d. membabtiskan anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
e. Isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
f. Suami/Isteri, Orang tua/Mertua atau anak/menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari dan
g. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 hari
  • Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.
  • Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakan baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.
  • Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut ditambah 5% (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.
  • Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang harus didahulukan pembayarannya.
(UU 13/2003, PP 8/1981 & PERMEN 01/1999) 

4. HAK DASAR PEKERJA ATAS PEMBATASAN WAKTU KERJA, ISTIRAHAT, CUTI DAN LIBUR

Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja sebagaimana berikut : 
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
  • Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur.
  • Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Yang meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; 
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
  • Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

(UU 13/2003)

5. HAK DASAR UNTUK MEMBUAT PKB

Serikat pekerja/Serikat buruh, federasi dan konfederasi Serikat pekerja/Serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :

  • Membuat Perjanjian Kerja Bersama dengan Pengusaha
  • Penyusunan perjanjian kerja bersama dilaksanakan secara musyawarah.
  • Perjanjian kerja bersama harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia
  • Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan
  • Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
  • Perjanjian kerja bersama dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
  • Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
  • Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
  • Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
  • Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.

(UU 13/2003 & UU 21/2000 )

6. HAK DASAR MOGOK

  • Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
  • Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
  • Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuannya ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
  • Dalam hal mogok kerja dilakukan pemberitahuannya kurang dari 7 (tujuh) hari kerja, maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
  • Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
  • Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan, pengusaha dilarang:
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
  • Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.

(Dasar hukum UU 13/2003 & KEPMEN 232/2003)

7. HAK DASAR KHUSUS UNTUK PEKERJA PEREMPUAN

  • Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
  • Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
  • Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00 wajib:
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
  • Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.
  • Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja perempuan dengan alasan menikah, hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
  • Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
  • Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
  • Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
  • Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

(Dasar hukum UU 13/2003, PERMEN 03/1989 & KEPMEN 224/2003)

8. HAK DASAR PEKERJA MENDAPAT PERLINDUNGAN ATAS TINDAKAN PHK

  • Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
  • Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
  • Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
  • Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
  • Permohonan penetapan dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan.
  • Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
  • Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud diatas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
  • Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial batal demi hukum.
  • Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
  • Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Tambahan ; LANDASAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
  • UUD tahun 1945

Pasal 27 ( 2 ) Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28 Kemerdekaan berserikat & berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan/tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

  • UU No. 18 Tahun 1956 tentang persetujuan konvensi ILO No. 98 (1949); tentang berlakunya dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.
  • UU No. 1 Tahun 1970; tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
  • UU No. 3 Tahun 1992; tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
  • UU No. 11 Tahun 1992; tentang Dana Pensiun.
  • UU No. 21 Tahun 2000; tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
  • UU No. 13 Tahun 2003; tentang Ketenagakerjaan.
  • UU No. 2 Tahun 2004; tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
  • Keppres No. 83 Tahun 1998 tentang pengesahan konvensi ILO No. 87 (1948); tentang kebebasan berserikat & perlindungan hak untuk berorganisasi.
  • Keppres No. 22 Tahun 1993; tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja.
  • PP No. 8 Tahun 1981; tentang perlindungan upah.
  • PP No. 4 Tahun 1993; tentang Jaminan Kecelakaan Kerja.
  • PP No. Per-14/Men/2004; tentang tata cara pengangkatan & pemberhentian hakim ad hoc PHI & hakim ad hoc pada MA.
  • Permenakertrans No. Per-02/Men/1980; tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja.
  • Permenakertrans No. Per-01/Men/1981; tentang kewajiban melapor penyakit akibat kerja.
  • Permenaker No. Per-06/Men/1985; tentang perlindungan kerja harian lepas.
  • Permenaker No. Per-03/Men/1989; tentang larangan PHK bagi pekerja wanita karena menikah, hamil/melahirkan.
  • Permenaker No. 04 Tahun 1993; tentang Jaminan Kecelakaan Kerja.
  • Permenaker No. Per-05/Men/1993; tentang petunjuk tehnis pendaftaran kepesertaan, pembayaran iuran, pembayaran santunan dan pelayanan jamsostek.
  • Permenaker No. Per-03/Men/1994; tentang penyelenggaraan program jamsostek bagi pekerja harian lepas, tenaga kerja borongan dan tenaga kerja kontrak.
  • Permenaker No. Per-01/Men/1998; tentang penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerja dengan manfaat lebih baik dari jaminan pemeliharaan kesehatan jamsostek.
  • Permenaker No. Per-01/Men/1999; tentang upah minimum
  • Permenaker No. Per-01/Men/XII/2004; tentang tata cara seleksi calon hakim ad hoc PHI & calon hakim ad hoc MA.
  • Permenakertrans No. Per-01/Men/V/2005; tentang pengangkatan dan pemberhentian konsiliator serta tata kerja konsiliasi.
  • Permenakertrans No. Per-01/Men/I/2005; tentang tata cara pendaftaran, pengujian, pemberian & pencabutan sanksi bagi arbiter hubungan industrial.
  • Permenakertrans No. Per-06/Men/IV/2005; tentang pedoman Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.
  • Permenakertrans No. Per-17/Men/VIII/2005; tentang komponen pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak.
  • Permenakertrans No. Per-08/Men/III/2006; tentang perubahan Kepmenakertrans No. Kep. 48/Men/IV/2000 (tata cara pembuatan dan pengesahan PP serta pembuatan & pendaftaran PKB).
  • Kepmenaker No. Kep-02/Men/1970; tentang Pembentukkan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
  • Kepmenaker No. Kep-150/Men/1999; tentang penyelenggaraan Jamsostek bagi tenaga kerja harian lepas, borongan dan pekerja waktu tertentu.
  • Kepmenakertrans No. Kep-16/Men/2001; tentang tata cara pencatatan serikat pekerja/serikat buruh.
  • Kepmenakertrans No. Kep-224/Men/2003; tentang kewajiban pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sd 07.00.
  • Kepmenakertrans No. Kep-228/Men/2003; tentang tata cara pengesahan penggunaan tenaga kerja asing.
  • Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/2003; tentang tata cara penangguhan pelaksanaan upah minimum.
  • Kepmenakertrans No. Kep-232/Men/2003; tentang akibat hukum mogok kerja yang tidak sah.
  • Kepmenakertrans No. Kep-233/Men/2003; tentang jenis dan sifat pekerjaan yang dijalankan secara terus-menerus.
  • Kepmenakertrans No. Kep-255/Men/2003; tentang tata cara pembentukkan dan susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit.
  • Kepmenakertrans No. Kep-20/Men/2004; tentang tata cara memperoleh ijin mempekerjakan tenaga kerja asing.
  • Kepmenakertrans No. Kep-48/Men/IV/2004; tentang tata cara pembuatan & pengesahan PP serta pembuatan & pendaftaran PKB.
  • Kepmenakertrans No. Kep-49/Men/IV/2004; tentang ketentuan struktur dan skala upah.
  • Kepmenakertrans No. Kep-51/Men/IV/2004; tentang istirahat panjang pada perusahaan swasta.
  • Kepmenakertrans No. Kep-92/Men/VII/2004; tentang pengangkatan & pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi.
  • Kepmenakertrans No. Kep-100/Men/VI/2004; tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu.
  • Kepmenakertrans No. Kep-102/Men/VI/2004; tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur.
  • Kepmenakertrans No. Kep-187/Men/X/2004; tentang iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh.
  • Kepmenakertrans No. Kep-220/Men/X/2004; tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
  • Surat Edaran Menakertrans No. SE.907/Men.PHI-PPHI/X/2004; tentang pencegahan pemutusan hubungan kerja massal.

2 thoughts on “Delapan Hak Dasar Pekerja

  1. Ass admin, paman saya adalah seorang anggota spsi dan sminggu yang lalu beliau meninggal dunia, dalam slip gaji beliau ada potongan IURAN SPSI & STM PENSIUN juga STM SPSI. pertanyaan saya, dari ketiga potongan tersebut, berapakah besar uang santunan kemalangan yang akan diberikan SPSI kepada istri paman saya?
    mhon informasinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *