NOKTAH MERAH IMPARSIALITAS ANWAR USMAN Oleh: Mohamad Fandrian Adhistianto
Quid leges sine moribus (hukum tidak berarti banyak,kalau tidak dijiwai oleh moralitas), sepenggal pepatah kuno rasanya tepat untuk memulai opini ini terhadap fenomena luar biasa perkara putusan perkata Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada tanggal 16 Oktober 2023 terkait syarat usia menjadi calon presiden dan calon wakil presiden oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hal menarik dari perkara ini dimulai dari diajukannya permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A seorang mahasiswa, saat ini sedang menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Surakarta dan bercita-cita ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Permohonan pengujian sebuah undang-undang di Mahkamah Konstitusi sesungguhnya merupakan hal yang biasa dilakukan, namun dalam perkara ini publik menilai sarat konflik kepentingan karena Almas Tsaqibbirru Re A dalam salah satu dalilnya menjadikan kepemimpinan Gibran Rakabuming Raka selaku Walikota Surakarta di masa Periode 2020-2025 sebagai acuan dalam permohonan, selain itu Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara tersebut merupakan Paman dari Gibran Rakabuming Raka. Kekhawatiran publik rasanya menjadi tervalidasi saat Mahkamah Konstitusi memutus dengan mengabulkan sebagian permohonan Almas Tsaqibbirru Re A dengan menambahkan frase “atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi” dan keesokan harinya Gibran Rakabuming Raka dideklarasikan sebagai calon Wakil Presiden bersama Prabowo Subianto sebagai calon Presiden yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2024.
Publik menilai seharusnya Anwar Usman mundur untuk tidak ikut serta memeriksa dan memutus perkata permohonan Almas Tsaqibbirru Re A, karena hubungan kekerabatan antara anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka merupakan suatu hal yang telah bersifat notoir feiten. Putusan Mahkamah Konstitusi ini jelas dan terang membuka ruang bagi kepentingan Gibran Rakabuming Raka yang notabene keponakan dari anwar Usman untuk dapat mencalonkan diri sebagai pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden digunakan dan dimanfaatkan dengan seketika. Berdasarkan penalaran yang logis tampak secara nyata pertautan antara Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi dengan manfaat yang diperoleh kepentingan Gibran Rakabuming Raka untuk mencalonkan diri sebagai calon Wakil Presiden amatlah erat.
Kemarahan dan ketidakpercayaan public terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi berujung pada dilaporkannya kesembilan Hakim Konstitusi kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), khususnya Anwar Usman yang paling banyak dilaporkan atas dasar konflik kepentingan dalam memutus perkara. MKMK yang diketuai oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.telah memutus seluruh laporan pada tanggal 3 November 2023 yang salah satunya menyatakan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, memberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi, dan tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan. Putusan MKMK ini kiranya membawa angin segar atas kegelisahan dan ketidakpercayaan public terhadap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Anwar Usman selaku salah satu Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara 90/PUU-XXI/2023 yang jelas-jelas nyata terdapat konflik kepentingan seharusnya secara etika dan moril mengambil inisiatif menggunakan Hak Ingkar yang melekat secara atributif terhadap dirinya sebagai hakim, walaupun sampai dengan saat ini belum ada diatur secara jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang relevan dengan Mahkamah Konstitusi. Namun setidaknya praktek Hak Ingkar pernah dilakukan atau setidaknya dimohonkan, yaitu Perkara Nomor 5/PUU-XV/2017, Perkara Nomor 88/PUU-XIV/2016, Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015, dan Perkara Nomor 121/PUU-VII/2009. Hak Ingkar ini berangkat dari asas nemo judex idoneus in proparia causa dan perwujudan dari imparsialitas Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, Hak Ingkar harus digunakan oleh Anwar Usman wajib mengundurkan diri apabila mempunyai kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung, baik diminta atau inisiatif sendiri.
Pancasila sebagai grundnorm harusah dilihat sebagai pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral kejiwaan watak bangsa Indonesia meliputi kehidupan keagamaan yang berbudi menjunjung tingi nilai keadilan, khususnya terhadap Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi sebagai penegak hukum yaitu adil dan memiliki integritas dan bermoral. Etika dan moral memegang peranan penting dalam konteks penegakan hukum pengujian sebuah undang-undang yang bersifat erga omnes, hal ini diakibatkan karena keadilan sangat berkorelasi dengan perasaan penerimaan public sebagai respon tidak hanya terhadap putusan yang dihasilkan, namun juga proses dalam peradilan di Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikuatkan oleh Artidjo Alkostar yang menyatakan hukum tidak dapat dipisahkan dengan konteks social dimana hukum mendapatkan legitimasinya. Hukum memiliki misi menjaga dan meningkatkan nilai-nilai dalam tata hubungan dalam masyarakat, tanpa adanya hubungan yang mengikat antara nilai-nilai tersebut, hukum yang bersangkutan akan kehilangan makna relevansi sosialnya. Noktah merah imparsialitas Anwar Usman ini setidaknya telah menjadi catatan sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.