KEPTV — Kini mulai banyak keluhan dari aktivis serikat/serikat buruh baik yang berada ditingkat perusahaan maupun diperangkat atas (DPC, DPD, DPP), mereka mengeluhkan mulai banyak berkurang anggota sebagai akibat longgarnya aturan mengenai PKWT dan Alih Daya (outsourcing) dalam UU Cipta Kerja. Sehingga mengurangi Pekerja Tetap.
Dilansir oleh GoodStats OnLine yang merilis Data dari Kemenaker bahwa per Mei 2024, terdapat 21 konfederasi serikat SP/SB, 198 federasi SP/SB, dan 12.346 SP/SB di tingkat perusahaan. Total pekerja yang bergabung SP/SB di Indonesia pun tercatat hanya 4.208.338 orang.
Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah pekerja formal di Indonesia pada Agustus 2024 adalah 60,81 juta orang atau 42,05% dari total penduduk yang bekerja.
Dan berikutnya BPS (Badan Pusat Statistik) menampilkan data jumlah pekerja informal di Indonesia pada Agustus 2024 mencapai 83,83 juta orang atau 57,95% dari total penduduk yang bekerja
Dengan demikian jumlah pekerja formal dan informal mencapai 144,64 juta pekerja. Bandingkan dengan pekerja yang sudah berserikat baru mencapai 4.208.338 orang.
Berdasarkan jumlah tersebut, menunjukkan masih sangat banyak lahan kosong yang belum digarap oleh SP/SB.
Lantas, pekerja yang bagaimana yang bisa berserikat. Apakah hanya pekerja berstatus pekerja tetap saja. Sedangkan pekerja kontrak, pekerja Alih Daya (outsourcing), pekerja informal tidak bisa berserikat sehingga tidak dapat melindungi hak-hak normatifnya.
Pekerja/buruh menurut Definisi ILO adalah seseorang yang berusia 15 tahun atau lebih yang telah melakukan pekerjaan setidaknya satu jam pekerjaan berbayar dalam sepekan.
Berdasarkan definisi ILO tersebut, maka apa pun statusnya, setiap pekerja/buruh berhak untuk berserikat dan dilindungi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 Tentang Kebebasan Berserikat dan Hak Untuk Berunding, dan UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Konvensi No. 87 sudah diratifikasi atau disahkan oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 83 Tahun 1998. Dengan demikian Konvensi No. 87 ini sudah menjadi hukum positif di Indonesia.
Tujuan dari Konvensi No. 87 ini adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja/buruh untuk kebebasan mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk melindungi kepentingan mereka tanpa sedikitpun keterlibatan pemerintah:
- bebas mendirikan organisasi pekerja/buruh tanpa meminta persetujuan dari instansi publik yang ada, dan majikan;
- bebas bergabung dan tidak bergabung dengan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi tanpa paksaan;
- bebas mengembangkan hak-hak di atas tanpa pengecualian apapun, dikarenakan *pekerjaan”, jenis kelamin, suku, kepercayaan, kebangsaan dan keyakinan politik;
- bebas menjalankan fungsi mereka, termasuk untuk melakukan negosiasi dan perlindungan akan kepentingan-kepentingan pekerja;
- bebas menjalankan AD/ART dan aturan lainnya, memilih perwakilan mereka, mengatur dan melaksanakan berbagai program aktivitasnya, oleh karena Konvensi ini secara tegas mengakui dan melindungi hak untuk Mogok;
- mandiri secara finansial dan memiliki perlindungan atas aset-aset dan kepemilikan mereka;
- bebas dari ancaman pemecatan (PHK) dan skorsing tanpa proses hukum yang jelas atau mendapatkan kesempatan untuk mengadukan ke badan hukum yang independen dan tidak berpihak.
PERLINDUNGAN
Selain Konvensi ILO, pekerja/buruh pun dilindungi dalam berserikat dengan UU No. 21/2000 Tentang SP/SB.
Dalam Pasal 28 disebutkan bahwa, siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
a. melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Siapapun yang melanggar larangan Pasal 28 tersebut, dinyatakan dalam Pasal Pasal 43 adalah sebagai tindak pidana dan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Tindak pidana tersebut, merupakan tindak pidana kejahatan.
Persoalan mendasar rendahnya pekerja/buruh berserikat, karena tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk mendapatkan izin operasional, setahun sejak beroperasi harus sudah ada SP/SB di perusahaan tersebut. Bukan SP/SB Kuning (Yellow Union), tapi SP/SB definitif, murni atas inisiatif pekerja/buruh. Jika tidak SP/SB izin tersebut dicabut.
Disnaker setempat harus menjadi fasilitator pembentukan SP/SB di setiap perusahaan setempat.
Masalah kedua, tidak banyak SP/SB yang aktif menjadi Organizer Pembentukan SP/SB. Bahkan malah banyak dijumpai SP/SB di tingkat perusahaan yang membiarkan pekerja dengan status PKWT atau Alih Daya tidak diajak untuk bergabung ke dalam SP/SB-nya dengan alasan mereka bukan pekerja tetap, dan mudah di PHK.
Justru karena mudah di PHK perlu mendapat perlindungan dari SP/SB. Bukan malah dibiarkan tidak berserikat.
Pekerja/buruh di lingkungan pasar, pertokoan, perkantoran, dll dibiarkan tanpa berserikat. Jumlah mereka banyak. Dan upah mereka sangar murah. Di Jakarta ada yang menerima upah kurang dari Rp2 juta.
Pemerintah cg. Kemenaker bersama SP/SB harus melakukan sosialisasi pentingnya pekerja berserikat. Seperti yang pernah dilakukan Depnaker dan FBSI tahun 1974 s.d 1984.
MARI KITA BANGUN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH YANG BESAR DAN KUAT LAWAN BERSAMA UNION BUSTING
Manggarai, 7 Desember 2024 Oleh: Indra Munaswar Ketua Umum FSPI