KEPTV News, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian formil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Rabu (22/2/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 22/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Gerakan Kesejahteraan Naional (GEKANA).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Ari Lazuardi selaku kuasa hukum menyampaikan para Pemohon merupakan pimpinan pengurus federasi maupun serikat pekerja tingkat pusat. Para Pemohon menilai Perppu Cipta Kerja melahirkan norma baru yang dapat merugikan kepentingan para Pemohon. Kerugian yang dialami para Pemohon, di antaranya status hubungan kerja yeng cenderung melegalkan praktik perjanjian kerja tertentu berkepanjangan, kaburnya konsep upah minimum, maka hilangnya minimum upah sektoral, berkurangnya hak runding serikat buruh, berkurangnya nilai pesangon, tidak jelasnya nilai sosial hingga potensi terjadi banyaknya perselisihan karena tidak jelasnya peraturan peralihan yang mengatur norma baru dan norma-norma yang dihilangkan dalam Bab IV Ketenagakerjaan. “Manakala terjadinya pengujian formil dikabulkan oleh MK, maka kerugian atau kerugian potensial pemohon tidak akan terjadi,” tegasnya.
Dengan alasan-alasan tersebut diatas, Ari menyebut sekiranya patut pemohon memiliki potensi atau kerugian yang dianggap memiliki kualifikasi dapat mengajukan permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU MK.
Kemudian, Ari melanjutkan, batu uji konstitusional yang digunakan secara khusus mengacu pada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Namun demikian dengan mendasarkan pada Pasal 22A UUD 1945 yang telah mendelegasikan pengaturan mengenai tata cara pembentukan undang-undang dengan suatu UU. Kewenangan mengatur tersebut telah melahirkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Dengan demikian, pengujian formil dalam permohonan ini adalah pengujian terhadap proses penetapan Perppu Cipta Kerja yang tidak sejalan dengan konstitusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
“Dan penetapannya tidak sesuai dengan mekanisme sebagaimana telah diatur dalam UU PPP, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali melalui Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 (Perpres 76/2021),” ujar Ari.
Bentuk Pembangkangan Pemerintah
Lebih lanjut Para pemohon juga menyebut, baik dalam konsideran menimbang maupun dalam bagian penjelasan Perppu Cipta Kerja dikatakan sebagai bentuk tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. “Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/ 2020 memastikan telah terjadi pelanggaran prosedur yang mengakibatkan cacat formil pembentukan UU Cipta Kerja,” imbuh Ari.
Terhadap temuan pelanggaran prosedur tersebut, Ari mengutip putusan, menyebut MK memerintahkan pembentuk UU untuk memperbaiki pelanggaran yang ada dan memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Dengan merujuk pada amar putusan angka 4 dan dikaitkan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020 yang pada pokoknya menyatakan memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam hal memperbaiki penggunaan metode yang pasti, baku, dan standar, memenuhi partisipasi masyarakat yang lebih bermakna dan perbaikan perubahan naskah yang substansial. Namun justru melalui Perppu Cipta Kerja membuktikan Presiden telah tidak memenuhi dan bahkan jauh dari perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
“Sudah sepatutnyalah MK menyatakan dengan tegas penetapan Perppu Cipta Kerja sebagai sebagai bentuk pembangkangan yang menciderai keagungan lembaga tinggi negara Mahkamah Konstitusi, jika model begini dibiarkan para Pemohon khawatir potensi lemahnya fungsi check and balances dan membuat ketidakpercayaan publik akan pentingnya uji konstitusional karena putusannya tidak berdaya di hadapan lembaga negara lain. Lebih dari itu, dalam praktik ketatanegaraan yang berkembang dalam penetapan Perppu sesungguhnya makna kegentingan memaksa yang menjadi subjektivitas Presiden tidak terlepas juga dari aspirasi publik yang berkembang, namun Perppu tersebut cenderung minim dari aspirasi publik. Berdasarkan hal-hal dan alasan mengenai tidak cukupnya alasan kegentingan memaksa dalam penetapan Perppu Cipta Kerja, mohon kiranya MK menyatakan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945,” tandas Ari.
Perbaikan Subjek Hukum
Menanggapi permohonan para pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyoroti subjek hukum para Pemohon karena para Pemohon tergabung dalam Aliansi Serikat Pekerja. Ia meminta agar Pemohon memperjelas subjek hukum mengenai siapa yang berhak mewakili organisasi dalam persidangan.
“Artinya bagaimana organisasi serikat pekerja itu ketika maju atau mewakili kepentingan organisasi di luar maupun di luar dalam pengadilan itu harus diwakili oleh siapa. Apakah bisa Ketua Umum beserta Sekretaris Jenderal ataukah salah satu? Ketika ada yang harusnya Ketua Umum dan Sekjen tapi pada surat kuasa yang dibuat hanya diajukan oleh Ketua Umum saja dan tanpa menyertakan sekjennya. Kemudian ada juga surat kuasa, hal-hal demikian tidak perlu kami tunjukkan satu persatu surat kuasa itu tapi tolong itu nanti dicermati kembali untuk disempurnakan,” ucap Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh fokus agar para Pemohon memperbaiki kedudukan hukumnya. Menurutnya, para Pemohon masih ada perseorangan, meskipun ada pula yang berbadan hukum. Ia meminta agar para Pemohon mengelaborasi kedudukan hukum tersebut.
“Kemudian diperhatikan juga apakah semua pemohon merupakann hukum atau perseorangan? Kalau perseorangan, maka dalam legal standingnya, perseorangan kerugiannya apa, badan hukum kerugiannya apa? Jadi, itu perlu dielaborasi,” ucap Daniel.
Sementara itu, Ketua Panel Hakim Arief Hidayat menekankan mengenai kewenangan MK sebagai pintu masuk. Ia menguraikan bahwa dalam menyusun kewenangan harus didasarkan pada hierarki perundangan dari UUD 1945 hingga peraturan terbawah. Selain itu, ia meminta agar alasan permohonan diperkuat tentang alasan mengapa harus dilakukan pengujian formil Perppu Cipta Kerja.
Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada para Pemohon untuk melakukan perbaikan. Perbaikan permohonan selambatnya diterima Kepaniteraan MK pada Selasa, 7 Maret 2023 pukul 14.30 WIB.
Sumber : https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18954&menu=2