KEPTV News, akarta — Perppu Cipta Kerja (Ciptaker) terus digoyang di Mahkamah Konstitusi (MK) agar dibatalkan. Sementara dulu digugat 13 organisasi buruh/pekerja, kini 15 perwakilan pekerja/buruh dari Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) ikut menggugat perppu itu. Di antaranya dari Serikat Pekerja PLN.
“Menerima dan mengabulkan permohonan Pengujian Formil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Para Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian permohonan penggugat yang dilansir website MK, Kamis (16/2/2023).
Sebanyak 15 perwakilan buruh itu di dari Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) antaranya dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP KEP SPSI), Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Federasi Serikat Pekerja Indonesia (DPN FSPI), Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi (DPP FSP PARIWISATA REFORMASI), Ketua Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP) Tingkat Pusat, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (DPP SP PLN), hingga Ketua Umum Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI).
“Kerugian konstitusional Para Pemohon memiliki pertautan yang nyata dengan disahkannya Perppu a quo di mana di dalamnya terdapat PerubahanUU Ketenagalistrikan, UU Ketenagakerjaan, dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional serta UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan berpotensi terdampak kerugian konstitusional Para Pemohon diantaranya berkurangnya hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan kehidupan layak atas pekerjaan yang telah dilakukan sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 dan 28D ayat 2,” ungkapnya.
Berbeda dengan pembentukan UU yang melibatkan DPR, penetapan perppu menjadi domain presiden untuk menetapkannya sendiri. Namun terdapat syarat-syarat yang harus menjadi pertimbangan, di antaranya kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945.
“Parameter kegentingan memaksa tersebut haruslah dipahami bukan suatu alternatif pilihan, melainkan kumulatif menjadi setidaknya 3 syarat yang harus kesemuanya terpenuhi, dan manakala satu saja tidak terpenuhi maka demi hukum tidak terpenuhinya syarat kegentingan memaksa perppu a quo dan oleh karenanya secara proses penetapannya wajib dinyatakan inkonstitusional,” bebernya.
Menurutnya, adanya kekosongan hukum harus menjadi alasan dapat dikeluarkannya sebuah perppu, dalam hal perppu a quo pada faktanya sama sekali tidak terjadi kekosongan hukum.
“Bahwa dengan adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 2021 Tentang Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Atas Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan membuktikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja masih diberlakukan layaknya hukum positif pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, oleh karena materi muatan PERPPU a quo adalah sama dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, maka jelas dan tidak terbantahkan tidak terjadi kekosongan hukum,” bebernya.
Dalam sidang gugatan 13 organisasi buruh sebelumnya, hakim konstitusi Wahiduddin Adams memberikan isyarat menolak gugatan itu karena MK belum pernah mengabulkan uji formil perppu.
“Betul-betul hal yang paling krusial yang tidak terbantahkan antara perppu dan undang-undang. Sebab apa? Sekali lagi, MK ini belum ada pengalaman mengabulkan uji formil perppu ini,” kata Wahiduddin dalam risalah sidang yang dilansir website-nya, Rabu (15/2/2023).
Wahiduddin meminta pemohon membuat argumen yang meyakinkan MK untuk mengabulkan permohonan itu.
“Oleh sebab itu, di perbaikannya nanti harus dijelaskan juga dampaknya terhadap sistem hukum kita, apa dampaknya? Banyak itu literasi atau referensi terkait perppu, dampaknya apa? Ya, kalau muatannya ini apa? Itu disampaikan itu,” ujar Wahiduddin.