Oleh: Andy Wijaya(Sekretaris Jenderal, Persatuan Pegawai Indonesia Power dan Aliansi GEKANAS).
Salah satu tuntutan yang disuarakan dalam May Day kemarin adalah, Serikat Pekerja Ketenagalistrikan menolak adanya privatisasi kelistrikan. Pertanyaannya kemudian, apa sih yang dimaksud dengan privatisasi ketenagalistrikan?
Tenaga listrik telah 2 (dua) kali dikelompokkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Konsekuensi bahwa listrik dinyatakan sebagai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka tenaga listrik harus dikuasai oleh negara.
Nah, privatisasi ketenagalistrikan berdampak pada hilangnya penguasaan negara terhadap tenaga listrik. Jika hal ini terjadi, maka telah terjadi pelanggaran serius terhadap konstitusi.
Untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi, wajar jika kemudian Serikat Pekerja Ketenagalistrikan mengangkat isu ini di dalam May Day.
Dalam hal ini, kita bisa berkaca dari kasus privatisasi di Philipina, yang mulainya bersamaan dengan di Indonesia.
Di Philipina terbit The Electric Power Industry Reform Act (EPIRA) yang memperbolehkan pihak swasta membeli/menguasai sektor ketenagalistrikan di semua sektor (pembangkitan, transmisi, distribusi dan retail) pada tahun 2002.
Sementara itu, di Indonesia, terbit UU No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang juga mengharuskan sektor ketenagalistrikan (pembangkitan, transmisi, distribusi dan retail) dikelola oleh badan yang terpisah. Jangan lupa, di UU No. 20 tahun 2002 juga memperbolehkan pihak swasta membeli/menguasai sektor ketenagalistrikan di semua sector.
Tetapi implementasi di 2 (dua) negara tersebut berbeda. Di Indonesia, UU No. 20 tahun 2002 dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan di Philipina, EPIRA terus berjalan.
Ketika EPIRA berjalan di Philipina, pihak swasta pertama-rama membeli pembangkitan terlebih dahulu. Terutama sektor energi baru Terbarukan, yaitu PLTA. Kemudian baru jenis-jenis pembangkitan yang lain..
Hingga akhirnya, semua pembangkitan dikuasai oleh swasta. Di mana pada saat itu pihak swasta juga menjadi pejabat di pemerintahan, atau meminjam bahasa Rizal Ramli adalah PePeng (Pejabat Pengusaha). Sehingga perpindahan asset-aset negara di pembangkitan yang dikuasai dan dioperasikan oleh Napocor (National Power Coorporation) atau PLN-nya Philipina ke dalam tangan swasta berjalan dengan mulus.
Di tahun 2021 ini, saya menilai Langkah-langkah swasta menguasai sektor ketenagalistrikan masih terus agresif. Setelah UU No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan di batalkan, maka di keluarkan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
UU No. 30 Tahun 2009 juga bertitik berat pada 2 (dua) hal, yaitu unbundling dan privatisasi/swastanisasi. Untungnya pada tahun 2015, judicial review terhadap UU No 30 Tahun 2009 dikabulkan sebagian/bersyarat, khususnya pasal unbundling dan pasal privatisasi/swastanisasi.
Tetapi pihak-pihak tertentu terus berusaha menghalalkan unbundling dan privatisasi/swastanisasi dengan cara memasukkan pasal unbundling dan pasal privatisasi/swastanisasi yang telah dibatalkan sebagian oleh MK di tahun 2015 ke dalam omnibus law UU Cipta Kerja, khususnya di sub-klaster ketenagalistrikan.
Terlepas dari penjelasan di atas, saya kok menilai pihak swasta tidak hanya berusaha masuk dengan cara lewat undang-undang saja. Tetapi, pihak-pihak tertentu ingin menguasai sektor ketenagalistrikan terutama sisi Energi Baru Terbarukan (EBT) nya.
Beberapa waktu yang lalu, kita sama-sama tau bahwa pemerintah akan membuat holdingisasi panas bumi yang terdiri dari Pertamina geothermal, PLN dan Geodipa. Artinya, ke depan asset-aset panas bumi yang tadinya berada di bawah kepemilikan Pertamina, PLN, dan Geodipa bisa saja dilepas dan diberikan pada satu badan yang terpisah dari Pertamina, PLN, dan Geodipa.
Apalagi beberapa waktu lalu kita juga sama-sama mendengar, bahwa anak usaha Pertamina yaitu Pertamina Geothermal akan di IPO kan atau sebagian saham kepemilikan akan di jual ke swasta. Dengan demikian, apabila saham Pertamina Geothermal sebagian dimiliki swasta, maka ketika Pertamina digabungan dengan PLN dan Geodipa, perusahaan gabungan tersebut akan dimasuki juga oleh pihak swasta.
Apabila swasta sudah masuk ke suatu saham perusahaan negara, maka tinggal akan menunggu waktu saja saham pemerintah berkurang dan saham swasta meningkat dengan cara penyertaan modal.
Saya yakin, penguasaan sektor ketenagalistrikan dalam sisi EBT tidak akan berhenti di panas bumi saja. Bila panas bumi sudah mulai dipecah, maka ke depan, akan dibuat holdingisasi PLTA.
Sehingga, EBT akan dikuasai asing, dan yang energi fosil akan habis sendiri karena umur ke ekonomiannya sudah terpenuhi..
Bila panas bumi sudah mulai di pecah, maka ke depan, akan dibuat holdingisasi PLTA. Sehingga, yang EBT akan dikuasai asing, dan yang energi fosil akan habis sendiri karena umur ke ekonomiannya sudah terpenuhi..
Ke depan, sektor ketenagalistrikan terutama pembangkitan akan total dikuasai oleh swasta.
Kalau listrik sudah diprivatisasi, siapa yang akan dirugikan? Tentu saja negara dan rakyat. Negara akan tergantung pada swasta dalam pemenuhan layanan hajat hidup orang banyak (bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945) dan rakyat akan dirugikan dengan tarif listrik yang sangat mahal. Maka, ayo bersama serikat dukung perlawanan melawan privatisasi sektor ketenagalistrikan.