oleh Ar Lazuardi Direktur LBH Nasional PP SP KEP SPSI dan Pusat Kajian Kebijakan & Advokasi Perburuhan (PAKKAR)
Menteri Ketenagakerjaan baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 tahun 2023 tentang Penyesuaian waktu kerja dan pengupahan pada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global (Permenaker 5/2023). Dari pertimbangan pembentukannya, Permenaker ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan bekerja dan berusaha pada industri padat karya tertentu. Secara spesifik bahkan dalam Pasal 4 ayat (3) dinyatakan penyesuaian waktu kerja dan upah untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja.
Perusahaan industri padat karya tertentu yang diatur dalam permaneker 5/2023 ini harus masuk pada kriteria yang berorientasi ekspor dengan jumlah pekerja paling sedikit 200 orang, persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15% (lima belas persen), dan produksi bergantung pada permintaan pesanan dari negara Amerika Serikat dan negara di benua eropa yang dibuktikan dengan surat permintaan pesanan.
Dengan kriteria tersebut, dapat melakukan penyesuaian waktu kerja dengan cara mengurangi waktu kerja yang biasanya berlaku selama 7 jam per untuk 6 hari kerja atau 8 jam per hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu selama total 40 jam.
Walaupun tidak dinyatakan secara langsung, akibat penyesuaian waktu kerja tersebut, maka dapat diberlakukan penyesuaian upah oleh industri padat karya tertentu yang memenuhi kriteria yang ada untuk membayarkan upah paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah yang biasa diterima.
Otoritas pembentukan Permenaker yang mengurangi upah dan jam kerja?
Ketentuan mengenai frase waktu kerja pada sektor usaha tertentu mulanya telah cukup jelas diatur dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja. Dimana dalam Pasal 77 ayat (3) dan penjelasannya telah memberikan definisi yang cukup celah mengenai jenis usaha dan sektor industri apa yang dapat menerapkan pengaturan waktu kerja yang berbeda dari waktu kerja pada umumnya, dinyatakan “Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan”. Namun kemudian norma ini diubah oleh UU Cipta Kerja yang juga menghilangkan penjelasan mengenai jenis dan usaha sektor tertentu mana saja yang dapat dijadikan contoh.
Jika kita lihat bagian mengingat permenaker 5/2023 nampak jelas bahwa pembentuk Peraturan Menteri ini sama sekali tidak mengakui keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) maupun UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020. Bagian mengingat Permenaker ini justru tetap mencuplik UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan lahirnya Permenaker tersebut bukan berdasarkan kewenangan delegatif yang diberikan oleh PERPPU maupun UU Cipta Kerja serta peraturan perlaksanaannya diantara PP No 35 tahun 2021 tentang PKWT, Waktu Kerja waktu Istirahat, alih daya, dan PHK (PP 35/2021) dan PP No 36 tahun 2021 tentang Pengupahan tentang Pengupahan.
Lalu darimana Menteri Ketenagakerjaan merasa berwenang membentuk permenaker tersebut? sepenelurusan penulis, hanya dalam Pasal 24 ayat (2) PP 35/2021 lah menteri memiliki dasar untuk dapat menetapkan peraturan menteri mengenai waktu kerja dan waktu istirahat pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu lainnya. Namun karena PP 35/2021 secara sadar tidak dijadikan dasar lahirnya Permenaker 35/2021 maka tentu tidak dapat dijadikan acuan lahirnya permenaker tersebut. Selain itu, jikapun Pasal 24 ayat (2) PP 35/2021 dijadikan pedoman penetapan peraturan menteri, terlepas dari kontroversi keberlakuan PP turunan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonsttusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, ketentuan mengenai perusahaan atau sektor usaha jenis tertentu yang dapat mengurangi waktu kerja terbatas pada perusahaan dengan karakteristik berikut:
- Penyelesaian pekerjaan kurang dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan kurang dari 35 (tiga puluh lima) jam 1 (satu) minggu;
- Waktu kerja fleksibel; atau
- Pekerjaan dapat dilakukan di luar lokasi kerja.
Tiga Karakteristik tersebut menjadi dasar dalam penetapan pengurangan atau pelebihan waktu kerja, bukan kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Permenaker 5/2023 berupa jumlah minimum pekerja, presentasi biaya tenaga kerja hingga ketergantungan permintaan pesanan dari Amerika Serikat dan Eropa. Patut diperhatikan kiranya jika kemudian menteri dengan tafsirannya membuat berbagai makna perusahaan ataupun sektor tertentu tanpa merujuk pada sandaran aturan dan kewenangan yang diberikan, bukan tidak mungkin akan lahir kemudian jenis dan ragam sektor usaha tertentu tanpa batas yang dapat saja akan mengurangi jam kerja dan upah pekerja. misalnya industri sektor kimia tertentu, industri perusahaan energi tertentu, dan segala hal yang dikembangkan dengan embel-embel “tertentu”.Hal tersebut tentu berpotensi akan menimbulkan ketidakbijaksanan dalam mengayomi relasi kerja ketika kewenangan membentuk suatu aturan tidak disandarkan pada aturan dan batasan yang diberikan.
Dengan demikian mendasarkan pada rujukan lahirnya permenaker yang tidak ditemukan kewenangan delegasi Menteri untuk membuatnya hingga secara subtansi pemaknaan industry dan pekerjaan tertentu yang terlalu luas ditafsirkan maka menurut penulis tidak cukup terdapat kewenangan menteri untuk membuat permen tersebut karena uu cipta kerja hanya memberikan kewenangan dengan definsi usaha tertentu yang berbeda, pun demikian uu k memberka batasan yang jelas mengenai usaha tertentu.
Mengurangi upah untuk pencegahan PHK?
Salah satu alasan yang dikemukakan oleh pembentuk peraturan menteri 5/2023 adalah agar dengan dibuatnya permenaker ini maka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat dicegah. Bisa jadi pembentuk peraturan Menteri ini meyakini manakala jam kerja dikurangi yang akan berkorelasi dengan penyesuaian upah yang diberikan maka pilihan untuk PHK akan dihindari. Benar kah itu akan secara logis akan terealiasasi? Penulis mencoba memahami bisa jadi ada maksud baik sang pembentuk peraturan Menteri ini, tapi maksud baik saja tidak cukup jika pembuatan aturan ini tidak implementatif yang dapat dilihat dari sisi hukumnya itu sendiri maupun sisi manusia pelaku pelaksana hukum yang berkaitan.
Dari sisi hukumnya itu sendiri, berdasakan penelusuran penulis tidak ditemukan sama sekali kaedah hukum yang melarang industri tertentu yang termanfaatkan dengan permenaker ini dilarang untuk melakukan PHK. Dengan demikian bisa jadi aka nada kondisi pekerja sudah disesuaikan upahnya dan kemudian bisa juga terkena PHK kemudian atau ada di satu perusahaan tersebut pekerja yang ter phk dan pekerja yang tersesuaikan upahnya. Meskipun demikian bagi penulis agak riskan memang untuk membuat larangan phk karena keniscayaan PHK dapat lebih banyak terjadi dengan mendasarkan pada reuglasi cipta kerja yang berkecenderungan lebih memperbanyak alasan PHK dibandingkan regulasi PHK dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terlebih maksud PHK dalam regulasi Cipta Kerja sudah tidak perlu dirundingkan lagi dengan serikat pekerja manakala yang hendak di PHK adalah anggotanya, melainkan cukup diberitahukan langsung surat PHK kepada pekerja yang bersangkutan.
Sebagai suatu peraturan perundang-undangan, peraturan menteri sebagai sumber hukum kaedah heteronom seharusya mengedepankan berbagai macam perlindungan bagi pekerja. Sebagaimana halnya dinyatakan oleh Aloysius Uwiyono dalam asas-asas hukum perburuhan setidaknya terdapat 3 model perlindungan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yakni perlindungan sosial, ekonomis, dan teknis. Perindungan ekonomis pada hakikatnya adalah suatu perlindungan yang bertujuan agar buruh dapat menikmati penghasilan secara layak yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi dirinya sendiri maupun bagi anggota keluarganya secara layak. Peraturan peurndang-undangan yang memberikan perlindungan ekonomis disini mencakup ketentuan-ketentuan tentang upah dan jaminan sosial. (Aloysius Uwiyono, asas-asas hukum perburuhan, hlm. 25).
Bagi penulis, lahirnya Peraturan Menteri no 5 tahun 2023 tersebut selain dipertanyakan keberadaan asal lahirnnya juga tujuan dari pembentukannya minim harapan. Lebih dari itu jika terdapat kondisi dimana pekerja yang sebelumnya hanya mendapatkan upah senilai dengan upah minmum setempat, maka dengan dibolehkannya penyesuaian upah akibat perusahaan industry tertentu sebagaimana dimaksud dalam permanaker ini memberlakukan perubahan jam kerja, maka berpotensi mendapatkan upah lebih rendah dari upah minimum. Jika itu terjadi bukankah berarti secara a contrario peraturan Menteri telah menafikan pasal pidana membayar upah dibawah upah minimum yang selama ini telah diatur dalam Pasal 90 jo pasal 185 UU No 13 tahun 2003 maupun yang telah diubah dalam UU Cipta Kerja hingga UU No 6 tahun 2023 tentang Penetapan PEPRPU Cipta kerja tetap menegaskan bahwa membayar upah dibawah upah minimum itu termasuk pidana kejahatan. Menurut UU No 12 tahun 2011 sebagaimana diubah terakhir kali melalui UU No 13 tahun 2022, dalam pasal 15 dikatakan hanya materi dalam UU lah yang dapat mengatur pidana, peraturan daerah diperbolehkan untuk pidana yang hukumannya kurangan tidka lebih dari 6 bulan.
(kian) hilangya peran LKS Tripartit dan Serikat Pekerja dalam Relasi Hubungan Industrial
Di luar dari tiadanya kewenangan menteri menetapkan peraturan menteri tersebut, penulis juga mempertanyakan sejauh mana peran LKS Tripartit Nasional dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan perburuhan termasuk peraturan Menteri ini. Berkaca dari kesaksian persidangan uji formil Cipa Kerja, saksi dari LKS Teripartit menyatakan tidak dilibatkan dalam kehendak membentuk cipta kerja oleh pemerintah. Apakah juga dalam pembentukan peermenaker ini minim sumbang saran dan diskusi dengan lks tripartite nasional? Atau hanya melibatkan anggota lks tripartite nasional sektor tertentu yang dirasa berkaitan dengan peraturan Menteri ini?
Jika benar LKS Tripartit tidak dilibatkan secara keseluruhan perannya sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagaekrjaan maupun Peraturan Pemerintah No 8 tahun 2005 sebagaimana diubah terakhir kali melalui PP No 4 tahun 2017s ecara esensi keberadaan Lembaga kerja sama tripartite nasional (LKS nasional) yang terdiri dari perwakilan serikat pekerja yang terbanyak keanggotannya Bersama dengan perwakilan pengusaha dan pemerintah berguna untuk memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Dengan adanya alur ataupun mekansime tersebut untuk dilalui sebelum kebijakan dilahirkan, menjadi penting kiranya apabila hendak mengeluarkan regulasi perburuhan untuk patut menyampaikan dan membuka saran dan pertimbangan kepada forum lks tripartit.
Kecenderungan semakin pudarnya peran SP juga tercemin dalam norma-noma permenaker 5/2023 yang berpotensi menghilangkan pemberdayaan peran serikat pekerja karena tidak terdapat keharusan kesepakatan penyesuaian upah harus melalui serikat pekerja, melainkan dapat juga langsung kepada pekerja sebagaimana diatur dalam pasal 9 dan 10 permenaker tersebut, jika itu terjadi (negosiasi langsung dengan pekerja) maka terbukan kemungkinan negosiasi yang tidak berimbang hingga upah yang berbeda satu dengan lainnya antar pekerja dengan masa kerja dan jabatan serupa yang dapat menimbulkan relasi kerja yang kurang baik tidak hanya antara pekerja dengan pemberi kerja, juga terhadap sesama pekerja.
Jika hal-hal tersebut terjadi, lalu masih adakah asa terhadap permenaker 5 tahun 2023 ini?
Upaya konstitusional Serikat Pekerja:
Langkah awal tentu dapat dilakukan permintaan secara langsugn kepada pembuat permenaker untuk diskusikan Langkah terbaik untuk mencapai tujuan pencegahan PHK namun tidak menggerus (lagi) hak dasar pekerja yang sudah paling minim (safety net). Pilihan lain upaya hukum uji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dan lainnya terbentang luas dapat dilakukan dengan mendasarkan pada perdebatan kewenangan delegatif dalam membuat permenaker hingga substansi yang dinilai rentan membuat permenaker 5 tahun 2023 tidak banyak harapan dalam pencegahan PHK.
Cegahlah PHK tanpa mengurangi upah!
-PENA LAZ-