May Day: Pekerja Gelar Aksi Unjuk Rasa di Bandung

by -135 Views

KEPTV NEWS – SPKEP-SPSI.org, Bandung, Serikat Pekerja yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), FSP TSK SPSI, FSP LEM SPSI,  FSP KEP SPSI, FSP RTMM SPSI akan menggelar aksi May Day 2022, pada Kamis 12 Mei 2022.

Aksi akan digelar di tiga tempat yaitu Pengadilan TUN Bandung, Kantor Gubernur Jawa Barat, dan DPRD Provinsi Jawa Barat.

Ketua PD FSP KEP SPSI Provinsi Jawa Barat Agus Koswara, mengatakan, aksi May Day tersebut bertepatan dengan sidang saksi ahli di PTUN Bandung yang dihadirkan oleh SPSI atas gugatan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat, tentang UMK tahun 2022.

“Aksi akan diikuti oleh kurang lebih 2.500 orang perwakilan anggota SPSI Provinsi Jawa Barat,” ujarnya usai rapat, Rabu, 11 Mei 2022.

Keputusan tersebut, telah disepakati juga oleh Ketua DPD KSPSI/PD FSP TSK SPSI Provinsi Jawa Barat Roy Jinto Ferianto, Ketua PD FSP LEM SPSI Provinsi Jawa Barat Muhammad Sidarta, dan Ketua PD FSP RTMM SPSI Provinsi Jawa Barat Ateng Ruchiat.

Dikatakan dia, ada enam tuntutan yang akan mereka suarakan pada aksi Kami ini.

Yang pertama tuntutan pembatalan KEPGUB UMK Tahun 2022 dan terbitkan KEPGUB UMK Tahun 2022 dengan tidak menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Gubernur Jawa Barat telah menetapkan upah minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2022 pada tanggal 30 Nopember 2022 dengan Nomor : 561/Kep.732-Kesra/2021.

“Pada KEPGUB tersebut didasarkan pada PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, menurut kami, KEPGUB tersebut bertentangan dengan putusan MK Nomor : 91/PUU-XVIII/2020,” katanya.

“Di mana dalam amar putusan MK poin 3 menyatakan pembentukan Undang-Undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan,” tuturnya.

Amar putusan MK poin 7 menyatakan menangguhkan kebijakan/program strategis nasional dan berdampak luas. Bahwa, berdasarkan pasal 4 ayat (2) PP Nomor 36 Tahun 2021 pada pokoknya menyatakan “pengupahan merupakan program setrategis nasional”.

Dengan demikian lanjut dia, apabila dikaitkan dengan amar putusan MK poin 7 (tujuh) penetapan upah minimum tidak boleh didasarkan pada PP Nomor 36 Tahun 2022 tentang pengupahan, karena PP tersebut merupakan peraturan turunan atau pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja.

“Oleh karena itu, kami meminta agar PTUN Bandung untuk mengabulkan Gugatan SPSI Provinsi Jawa Barat untuk membatalkan KEPGUB UMK tahun 2022 dan memerintahkan Gubernur untuk menerbitkan KEPGUB UMK Tahun 2022 yang baru dengan tidak menggunakan formula PP No 36 Tahun 2021 tentang pengupahan,” tuturnya.

Tuntutan kedua, pihaknya menolak gugatan TUN Apindo Jawa Barat mengenai Pembatalan KEPGUB Kenaikan Upah pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih. Ketiga, menolak revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Perundang-Undangan.

“Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Perundang-Undangan yang diusulkan oleh BALEG DPR RI hanya modus untuk memuluskan metode OMNIBUS LAW dalam pembentukan Undang-Undang di Indonesi serta membuat payung hukum Undang-Undang Cipta Kerja, karena jelas dalam pertimbangan hukum putusan MK Nomor : 91/PUU-XVIII/2020, METODE Omnibus Law dengan menggabungkan beberapa klaster dalam satu Undang-undang tidak dikenal dalam standar baku pembentukan undang-Undang di Indonesia,” katanya.

Menurut dia, MK memerintahkan revisi Undang-undang Cipta Kerja dan tidak memerintahkan revisi Undang-undang Nomor 12 tahun 2011, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Seharusnya DPR RI dan Pemerintah menyesuaikan bentuk dan isi undang-undang Cipta Kerja terhadap undang-undang Nomor 12 tahun 2011, bukan sebaliknya malah undang-undang Nomor 12 tahun 2011 yang direvisi untuk disesuaikan dengan Undang-undang Cipta Kerja yang jelas-jelas telah dinyatakan oleh MK dalam putusannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan inkonstitusional bersyarat,” ucapnya.

Tuntutan keempat, menolak Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kelima menolak Revisi Undang-Undang Nomor : 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Terakhir atau tuntutan keenam desakan pada pemerintah agar memberikan sanksi tegas kepada pengusaha yang tidak melaksanakan UMK sesuai ketentuan,THR dan hak-hak pekerja lainnya.

“Bahwa, masih banyak pengusaha/perusahaan yang tidak melaksanakan UMK tahun 2022, tidak melaksanakan KEPGUB upah diatas 1 (satu) tahun, tidak membayar THR sesuai ketentuan yang berlaku, serta hak-hak normatif lainnya namun pemerintah tidak memberikan sanksi tegas sehingga pelanggaran-pelanggaran tersebut terus berulang karena tidak ada efek jera, padahal jelas ada konsekwensi sanksi atas setiap pelanggaran, namun nampaknya sanksi tersebut tidak berlaku bagi pengusaha,” ujarnya.***