KEPTV | Jakarta, 18 November 2025, Sebuah diskusi strategis bertajuk “TEMU BURUH: Transisi Energi Berkeadilan dalam Perdagangan Global” digelar di Horison Ultima Menteng, Jakarta. Mengusung tema provokatif “Hilirisasi Industri: Siapa yang Diuntungkan, Siapa yang Dikorbankan?”, forum ini mempertemukan 64 peserta dari 16 konfederasi/federasi buruh serta 13 organisasi masyarakat sipil, yang bersama-sama membedah realitas di balik agenda hilirisasi dan transisi energi Indonesia.
Acara ini menjadi ruang refleksi kolektif tentang bagaimana globalisasi, liberalisasi perdagangan, dan transisi energi mempengaruhi kehidupan pekerja, khususnya dalam konteks ketimpangan struktural dan agenda pembangunan nasional.
Hilirisasi: Peluang atau Justru Ancaman Baru?
Dalam pemaparannya, Olisias Gultom dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi menegaskan bahwa perdagangan bebas kini memasuki fase paling menentukan bagi negara berkembang. Ia memperingatkan bahwa tanpa pengawasan publik, arah kebijakan hilirisasi dan energi bersih justru berpotensi mengulang ketimpangan lama.
“Kepentingan rakyat harus dijaga. Serikat pekerja dan masyarakat sipil tidak boleh melepaskan mata dari kebijakan pemerintah,” tegasnya.
CICTAR: Hilirisasi Kini Dikuasai Modal Besar
Ed Miller (CICTAR) menyampaikan kritik keras: hilirisasi Indonesia saat ini lebih banyak dikendalikan modal besar, bukan kebutuhan rakyat. Ia menilai praktik hilirisasi malah memperkuat ketergantungan asing dan menekan ruang hidup komunitas lokal.
Selain itu, ia menyoroti bahwa skema pendanaan transisi energi dari lembaga internasional perlu diwaspadai karena kerap menempatkan Indonesia sebagai “pasar”—bukan sebagai pusat pengembangan teknologi.
Persaingan Geopolitik Mengintai Transisi Energi
Rachmi Hertanti (TNI) mengaitkan isu perdagangan bebas dengan ketegangan geopolitik global, terutama antara Amerika Serikat dan China. Menurutnya, perebutan akses mineral kritis dan teknologi hijau hari ini menjadi arena persaingan kedua negara tersebut—yang akhirnya menyeret negara berkembang seperti Indonesia menjadi medan perebutan.
Ia menegaskan bahwa:
“Industri hijau tidak boleh hanya hijau di atas kertas. Ia harus memastikan perlindungan buruh dan keadilan sosial.”
Dampak pada Tenaga Kerja: Siapa yang Bersiap Tersingkir?
Dari perspektif ketenagakerjaan, Kahar S. Cahyono menekankan bahwa transisi energi harus berpegang pada Pasal 33 UUD 1945: energi adalah milik rakyat, bukan komoditas pasar. Ia mengingatkan bahwa puluhan juta pekerjaan fosil akan hilang dalam satu dekade mendatang.
“Transisi energi harus menjamin perlindungan dan masa depan pekerja. Tanpa itu, transisi hanya akan melahirkan ketidakadilan baru,” ujarnya.
PSI: Buruh Tidak Boleh Hanya Jadi Penonton
Pada sesi diskusi kelompok, Indah Budiarti (PSI) menegaskan bahwa buruh harus menjadi penentu arah transisi energi, bukan sekadar objek perubahan.
Forum ini menggarisbawahi bahwa transisi energi berkeadilan hanya dapat terwujud melalui:
- investasi publik yang kuat,
- tata kelola energi yang demokratis,
- kontrol rakyat terhadap sumber daya strategis,
- serta keterlibatan aktif serikat pekerja dan masyarakat sipil dalam seluruh proses.
Kesimpulan: Energi untuk Rakyat atau untuk Pasar?
Forum menegaskan sebuah pernyataan penting:
“Jika energi tunduk pada logika pasar, masa depan rakyat akan menjadi komoditas. Tetapi jika energi dikelola negara untuk kepentingan publik, masa depan rakyat akan berdiri di atas keadilan.”
Pertemuan ini menjadi momentum strategis bagi gerakan buruh untuk memastikan bahwa transisi energi tidak menjadi alat liberalisasi baru, tetapi benar-benar menjadi jalan menuju kedaulatan energi dan kesejahteraan rakyat.





