Olisias Gultom: Digitalisasi dan Perjanjian Dagang Global Mengancam Buruh Indonesia di Era Ekonomi Baru

by -22 Views

KEPTV | Jakarta, 18 November 2025, Peneliti dari Sahita Institute, Olisias Gultom, memberikan pemaparan mendalam mengenai dampak digitalisasi, ekonomi global, dan perjanjian dagang modern terhadap dunia kerja Indonesia. Dalam Diskusi Publik “Hilirisasi, Globalisasi, dan Transisi Berkeadilan”, Olisias mengingatkan bahwa perubahan teknologi yang cepat, ekspansi digital, dan semakin luasnya perjanjian perdagangan bebas telah membentuk kondisi kerja yang semakin rentan, terutama bagi pekerja di negara berkembang.

Digital: Komoditas Baru yang Ditambang Layaknya Nikel dan Batu Bara

Olisias membuka paparannya dengan menggarisbawahi bahwa di era digital, bukan hanya mineral yang ditambang tetapi juga data manusia. Ia menyebut bahwa data kini menjadi sumber daya strategis yang dieksploitasi oleh perusahaan besar, layaknya batu bara atau nikel dalam ekonomi lama.

“Hari ini bukan hanya nikel yang ditambang. Data juga ditambang. Dan itu punya dampak besar terhadap pekerja.”

Menurutnya, digitalisasi telah mengubah struktur industri, cara kerja, hingga hubungan antara modal dan buruh.

Lanskap Global: Geopolitik, Krisis, dan Perebutan Mineral Kritis

Olisias menyampaikan bahwa situasi ekonomi dan politik global sedang berada pada fase tidak stabil, ditandai oleh:

  • perebutan mineral kritis untuk teknologi hijau,
  • ketegangan geopolitik antara negara besar,
  • dan krisis ekonomi yang berulang.

Kondisi ini memengaruhi kebijakan dalam negeri Indonesia, yang memiliki kekayaan alam besar namun mengalami stagnasi ekonomi serta peningkatan ketimpangan dan pengangguran.

“Indonesia penuh sumber daya, tetapi stagnan. Dan pada 2045 akan ada 70–75 juta tenaga kerja baru masuk pasar. Pertanyaannya: apakah ada pekerjaan untuk mereka?”

FTA dan CEPA: Kebijakan Nasional Direbut Kepentingan Global

Salah satu kritik utama Olisias adalah bahwa kebijakan domestik Indonesia—termasuk kebijakan energi, industri, ketenagakerjaan, dan digitalisasi—tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh rakyat, melainkan semakin ditentukan melalui perjanjian perdagangan bebas seperti FTA dan CEPA.

“Kebijakan kita direbut oleh pihak luar. Regulasi yang lahir bukan lagi berasal dari kebutuhan rakyat, tapi dari tekanan pasar global dan kepentingan negara lain.”

Contoh nyata yang ia sampaikan:

  • Indonesia dipaksa mengubah aturan perdagangan kedelai setelah kalah di WTO.
  • Aturan tenaga kerja harus disesuaikan dengan standar internasional, meski kondisi domestik tidak siap.

Menurutnya, hal ini melahirkan regulasi yang tidak demokratis, karena tidak dilahirkan dari kebutuhan rakyat sendiri.

Digitalisasi Perburuhan: Fleksibel dari Luar, Eksploitatif di Dalam

Olisias memaparkan empat dampak utama digitalisasi terhadap pekerja:

1. Status hukum buruh digital tidak jelas

Pekerja platform seperti ojek daring diposisikan sebagai “mitra”, bukan karyawan, sehingga kehilangan:

  • jaminan sosial,
  • upah layak,
  • hak cuti,
  • perlindungan kerja.

Masalah ini muncul karena UU Ketenagakerjaan masih berbasis model abad ke-19 yang tidak relevan dengan ekonomi digital.

2. Algoritma mengatur buruh, manusia kehilangan otonomi

Platform digital mengontrol buruh secara real time:

  • kapan bekerja,
  • kapan istirahat,
  • produktivitas,
  • penilaian kerja.

“Buruh berubah menjadi robot. Algoritma menggantikan manajer.”

3. Skill gap melebar, pekerja senior paling terancam

Otomatisasi dan AI menghapus banyak pekerjaan rutin. Keterampilan manual selama 15–20 tahun bisa hilang nilainya dalam semalam.

4. Privasi hilang, data pekerja dipantau penuh

Mulai dari lokasi, kondisi kesehatan, hingga perilaku bekerja, semua terekam dan dapat digunakan untuk mengontrol pekerja.

Digitalisasi Bukan Sekadar Ojol

Olisias menegaskan bahwa eksploitatifnya hubungan kerja berbasis digital bukan hanya terjadi pada platform transportasi, tetapi akan meluas ke:

  • manufaktur,
  • jasa,
  • perkebunan,
  • hingga sektor publik seperti ASN.

Pergeseran besar sedang terjadi:

  • dari pekerja permanen menjadi pekerja fleksibel,
  • dari manajemen manusia menjadi manajemen algoritma,
  • dari kerja di kantor menjadi kerja tanpa batas lokasi.

FTA dan Data: Pintu Masuk Eropa dan Amerika ke Dunia Kerja Indonesia

Digitalisasi dan FTA modern membuka pasar bagi perusahaan asing untuk mengoperasikan layanan di Indonesia menggunakan data lokal.

“Perusahaan Eropa bisa merekrut pekerja Indonesia tanpa berkantor di sini. Tapi apakah hak-haknya mengikuti hukum di Eropa atau Indonesia? Ini pertanyaan besar yang belum terjawab.”

Menurutnya, free data flow yang didorong FTA membuat pekerja Indonesia terhubung ke pasar global tetapi tanpa perlindungan hukum yang memadai.

Hilirisasi: Industri Dipercepat, Eksploitasi Dibiarkan

Olisias menyebut bahwa hilirisasi yang dipromosikan pemerintah memang bertujuan mempercepat industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, dan penyerapan tenaga kerja. Namun, ia menegaskan bahwa sisi buruknya tidak boleh diabaikan:

  • ketergantungan investasi asing,
  • kekurangan tenaga kerja terampil,
  • minimnya teknologi domestik,
  • eksploitasi sumber daya alam,
  • privatisasi energi hijau,
  • dan “kolonialisme baru” melalui kebijakan industri.

“Hilirisasi tanpa kontrol rakyat hanyalah versi baru kolonialisme ekonomi.”

Solusi: Kembalikan Kendali kepada Rakyat Sesuai Konstitusi

Olisias menekankan pentingnya kembali pada Pasal 33 UUD 1945, yang memberi rakyat kuasa atas sumber daya alam dan jalannya ekonomi nasional.

Ia mendorong:

  • penghentian liberalisasi dan privatisasi sektor energi,
  • model industri yang berbasis kontrol rakyat,
  • memperkuat BUMN sebagai instrumen kesejahteraan,
  • partisipasi buruh dalam penentuan kebijakan industri dan digital,
  • pembatalan kebijakan anti-buruh seperti UU Cipta Kerja,
  • penghentian praktik buruh murah dan kerja fleksibel yang eksploitatif.

Olisias: “Buruh Harus Terlibat dalam Perumusan Masa Depan Industri”

Menutup paparannya, Olisias menegaskan bahwa buruh tidak boleh hanya dibahas sebagai objek regulasi.

“Sudah waktunya buruh terlibat langsung dalam perumusan kebijakan industri dan digital. Masa depan industri adalah masa depan buruh.”