Ed Miller (CICTAR): Skema Pendanaan Transisi Energi Berisiko Besar dan Berpotensi Meningkatkan Utang Indonesia

by -26 Views

KEPTV | Jakarta, 18 November 2025 — Ahli pajak dan keuangan publik dari CICTAR, Ed Miller, mengkritisi model pendanaan transisi energi yang diterapkan di Indonesia melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan berbagai mekanisme pembiayaan lain. Menurutnya, tanpa reformasi struktural, pembiayaan transisi energi justru berpotensi memperburuk ketimpangan dan membebani negara berkembang seperti Indonesia.

Dalam Diskusi Publik “Hilirisasi, Globalisasi, dan Transisi Berkeadilan untuk Buruh Indonesia”, Miller memaparkan bahwa krisis iklim menuntut perubahan besar dalam sistem energi global. Namun, model pendanaan yang ditawarkan negara-negara maju saat ini dinilai jauh dari prinsip keadilan.

Hanya 1% Dana Hibah, Sisanya Pinjaman Berisiko

Miller menyoroti kondisi JETP Indonesia, yang digadang sebagai terobosan pendanaan transisi energi. Dari total komitmen pendanaan JETP sebesar USD 10 miliar, hanya 130 juta dolar atau kurang dari 1% yang berupa hibah. Sisanya adalah pinjaman, terutama pinjaman komersial.

“Bank pembangunan memang menyediakan pinjaman konsesional, tapi setengah dari total pendanaan justru berasal dari sektor swasta yang mencari profit. Ini meningkatkan risiko, bukan menguranginya,” tegas Miller.

Ia menjelaskan bahwa pola ini menempatkan negara berkembang dalam posisi rawan utang jangka panjang, sementara investor mendapatkan jaminan keuntungan.

Blended Finance: Menguntungkan Investor, Membebani Negara

Menurut Miller, skema blended finance kombinasi pinjaman konsesional dan pinjaman komersial sering dipromosikan sebagai solusi inovatif. Namun, dalam praktiknya, skema ini justru memberikan perlindungan risiko kepada investor privat sambil memindahkan beban biaya ke negara.

“Pertanyaannya, apa manfaat nyata dari mekanisme seperti ini bagi Indonesia? Jika pendanaannya mahal dan risikonya ditanggung negara, sulit menyebutnya sebagai ‘transisi yang adil’,” ujarnya.

Ia mencontohkan proyek floating solar di Jawa Barat dan proyek transmisi di Sulawesi yang pendanaannya didominasi oleh bank pembangunan Jerman. Namun, kontribusi dari negara-negara kaya lain, terutama Amerika Serikat, masih minim.

Coal Buyout: Biaya Besar, Keuntungan untuk Investor

Miller juga mengkritisi program coal buyout, yaitu pensiun dini PLTU melalui pembelian kembali aset oleh lembaga keuangan internasional. Ia memaparkan sebuah contoh PLTU berkapasitas 6.600 MW dengan kontrak 30 tahun bersama PLN hingga 2042.

“Proposal pensiun dini tujuh tahun lebih awal membutuhkan biaya besar. Investor Jepang, Korea, dan Indonesia tetap menerima dividen dan kompensasi. Negara menanggung beban besar untuk mengakhiri proyek yang sejak awal menguntungkan pemilik modal,” jelasnya.

Menurutnya, transisi energi seharusnya tidak membuat negara bersusah payah membayar kompensasi kepada investor yang sudah memperoleh keuntungan.

Power Purchase Agreement (PPA): Masalah Lama yang Belum Diselesaikan

Miller mencatat bahwa Indonesia masih bergantung pada skema kontrak listrik jangka panjang Power Purchase Agreement (PPA) yang membebankan biaya kapasitas kepada negara, bahkan ketika listrik tidak digunakan.

“Kontrak seperti ini mahal dan berisiko. Pakistan dan Bangladesh juga mengalami krisis akibat PPA yang dinegosiasikan dengan investor multinasional,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa PLN perlu mereformasi kontrak-kontrak terkait agar tidak terus menanggung beban keuangan jangka panjang.

PLN Harus Perkuat Solar Retrofit dan Pendanaan Publik

Miller merekomendasikan perubahan strategi besar dalam transisi energi Indonesia. Ia mendorong PLN untuk fokus pada:

  • solar retrofit,
  • energi terbarukan berbiaya rendah,
  • menggunakan dana dari PT SMI, dana pensiun, dan bank pembangunan multilateral,
  • mengurangi ketergantungan pada investor swasta,
  • memutus konflik kepentingan antara pengembang dan pembeli listrik.

“PLN perlu menjadi pemain utama, bukan sekadar pembeli energi. Pendanaan publik harus diperkuat untuk mengurangi ketergantungan pada pinjaman mahal,” katanya.

Model Pendanaan Global Berwatak Kolonial

Dalam penutup pemaparannya, Miller menegaskan bahwa banyak skema pendanaan transisi energi internasional masih berwatak kolonial—dirancang untuk memaksimalkan keuntungan negara kaya, bukan memperkuat kedaulatan energi negara berkembang.

“Jika model pembiayaan tidak berubah, transisi energi hanya akan mengulang ketidakadilan lama. Negara berkembang tetap menanggung biaya, sementara investor kaya menikmati manfaatnya,” tegasnya.