Hilirisasi, Globalisasi, dan Transisi Energi: Pakar Soroti Ancaman Ketimpangan dan Beban Pembiayaan bagi Indonesia

by -29 Views

KEPTV | Jakarta, 18 November 2025 — Diskusi publik bertajuk “Hilirisasi, Globalisasi, dan Transisi Berkeadilan untuk Buruh Indonesia” yang diselenggarakan oleh PSI (Public Services International), MKE (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi), dan TNI (transnationalinstitute) di Horison Ultima Menteng menghadirkan analisis tajam mengenai bagaimana dinamika global memengaruhi kebijakan energi, hilirisasi, dan kondisi buruh di Indonesia. Dua narasumber dalam diskusi panel pertama Rachmi Hertanti (Transnational Institute/TNI) dan Ed Miller (CICTAR) menyampaikan berbagai temuan yang menggambarkan kompleksitas transisi energi di tengah tekanan geopolitik dan skema pendanaan internasional.

Globalisasi dan Hilirisasi dalam Tekanan Geopolitik

Dalam paparannya, Rachmi Hertanti menegaskan bahwa transisi energi hari ini tidak bisa dipahami secara teknis semata. Menurutnya, transisi energi telah menjadi arena perebutan kekuasaan global, terutama antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Perebutan pasokan mineral kritis, dominasi teknologi hijau, hingga kebijakan proteksionisme negara-negara maju menjadi faktor yang langsung memengaruhi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

“Transisi energi bukan hanya soal mengurangi batu bara. Ini adalah bagian dari kompetisi teknologi, industri, dan pengamanan pasokan mineral yang menentukan siapa akan memimpin ekonomi masa depan,” ujar Rachmi.

Ia menjelaskan bahwa kebutuhan mineral untuk teknologi bersih diprediksi meningkat enam kali lipat pada 2040. Lonjakan ini mendorong negara industri maju mencari akses mineral dari negara berkembang, termasuk melalui perjanjian perdagangan bebas seperti CEPA, CPTPP, dan mekanisme bilateral seperti kesepakatan kritikal mineral dengan AS.

Namun, Rachmi menilai banyak aturan perdagangan bebas justru menghambat kapasitas Indonesia untuk membangun industri domestik. Aturan seperti pelarangan pembatasan ekspor, larangan transfer teknologi melalui TRIPS, dan ketentuan non-diskriminasi akses energi dalam EU–CEPA disebut dapat “memborgol” ruang kebijakan nasional.

“Kalau kita hanya dijadikan pemasok bahan mentah dan pasar tenaga kerja murah, maka hilirisasi tidak membawa nilai tambah struktural. Kita tetap berada dalam rantai pasok global yang tidak menguntungkan,” tegasnya.

Ancaman ISDS dan Menyempitnya Ruang Kebijakan Publik

Rachmi juga memperingatkan bahaya mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS). Ia mencontohkan bagaimana negara bisa digugat investor ketika menerapkan kebijakan nasional, termasuk kebijakan yang berorientasi pada peningkatan upah atau perlindungan buruh.

“Ketika negara digugat, kompensasinya bisa mencapai triliunan rupiah. Biaya hukum diadili di Washington, pengacaranya pengacara internasional. Ini semua dibayar dari uang rakyat,” ujarnya.

Menurutnya, ancaman gugatan membuat negara enggan mengambil kebijakan yang melindungi buruh atau mengatur industri secara lebih tegas. Hal ini berpotensi melanggengkan model pembangunan yang eksploitatif dan tidak berkeadilan.

Pembiayaan Transisi Energi: Masalah Lama dalam Kemasan Baru

Narasumber kedua, Ed Miller dari CICTAR, memperluas pembahasan dengan menyoroti model pendanaan transisi energi di Indonesia, khususnya melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

Menurut Miller, banyak negara kaya menjanjikan pendanaan untuk mendukung transisi energi, namun dana hibah yang diberikan sangat minim. “Dari 10 miliar dolar komitmen JETP untuk Indonesia, hanya sekitar 130 juta dolar yang berbentuk hibah. Sisanya berupa pinjaman bahkan separuhnya pinjaman komersial,” jelasnya.

Ia menilai bahwa pendanaan seperti ini justru bisa menimbulkan risiko keuangan baru, bukan mempercepat transisi. Skema blended finance, yang menggabungkan pinjaman konsesional dengan pinjaman komersial, berpotensi memperbesar beban utang.

“Transisi energi tidak akan adil kalau negara-negara berkembang justru semakin terbebani utang. Model seperti ini sering kali dirancang untuk meminimalkan risiko bagi investor, bukan untuk kepentingan publik,” tegasnya.

Cold Buyout dan PPA: Potensi Menambah Beban Negara

Miller juga mengulas skema pensiun dini (phase-out) PLTU seperti coal buyout, di mana pemerintah mengambil alih aset pembangkit listrik berbasis batu bara dari investor untuk kemudian menggantinya dengan energi terbarukan. Namun, ia menilai skema ini mahal dan menguntungkan investor.

“Dalam banyak proposal, shareholder dari perusahaan Jepang, Korea, dan Indonesia justru tetap menerima kompensasi atau dividen. Dan biaya untuk pensiun dini ditanggung melalui skema pembiayaan yang rumit dan mahal,” paparnya.

Ia menyoroti bahwa model kontrak listrik seperti Power Purchase Agreement (PPA) masih menempatkan risiko di negara dan PLN. Kontrak jangka panjang dan kewajiban pembayaran kapasitas membuat pembiayaan energi terbarukan tetap berat di sisi publik.

Rekomendasi: Penguatan Peran Negara dan Transparansi Pendanaan

Miller mendorong pemerintah Indonesia untuk lebih aktif menegosiasikan ulang kontrak tenaga listrik, memperkuat peran PLN sebagai pemilik jaringan energi, dan meningkatkan porsi pembiayaan publik yang tidak memberatkan negara.

“Kalau skema pembiayaan masih menguntungkan investor besar dan memindahkan risiko ke negara, maka transisi energi tidak hanya gagal tapi juga melanggengkan ketimpangan,” ujar Miller.

Kesimpulan Panel: Tanpa Kedaulatan Ekonomi, Tidak Ada Transisi Berkeadilan

Dari dua pemaparan tersebut, diskusi menegaskan bahwa transisi energi yang berkeadilan hanya bisa dicapai jika dua syarat utama terpenuhi:

  1. Indonesia memiliki ruang kebijakan industri dan energi yang tidak dibatasi oleh perjanjian perdagangan dan investasi internasional.
  2. Skema pembiayaan transisi energi harus berbasis keadilan, bukan memindahkan risiko ke negara dan rakyat.

Para narasumber sepakat bahwa transisi energi bukan hanya proyek teknis, tetapi transformasi sistem ekonomi yang harus memastikan perlindungan terhadap buruh, masyarakat, dan lingkungan.