KEPTV | Jakarta, 19 Agustus 2025 – Perjalanan menghadapi perubahan iklim dunia tidak pernah instan, melainkan melalui konsensus panjang sejak lahirnya United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 1992. Sejak itu, berbagai konferensi iklim (COP) melahirkan tonggak penting, mulai dari Kyoto Protocol (1997), Bali Road Map (2007), Paris Agreement (2015), hingga Glasgow Climate Pact (2021).
Namun, di tengah kesepakatan global tersebut, Indonesia justru masih berada di peringkat 10 besar penghasil emisi karbon dunia dengan total emisi lebih dari 600 juta ton CO₂ per tahun. Fakta ini memunculkan pertanyaan serius: Apakah transisi energi benar-benar berjalan, atau sekadar ilusi?
Hal ini mengemuka dalam National Forum and Meeting Just Energy Transition Public Pathway yang digelar di Jakarta, Selasa (19/8). Sekretaris Umum PP IP, Andy Wijaya, menegaskan bahwa meskipun jargon transisi energi digaungkan, kenyataannya produksi energi kotor—terutama batubara—terus meningkat tajam.
“Narasi transisi energi seolah menuju masa depan hijau, tetapi data menunjukkan ekspansi besar-besaran energi fosil. Produksi batubara Indonesia melonjak hingga lebih dari 775 juta ton pada 2023, sementara konsumsi domestik PLTU hanya sebagian kecil dari total produksi. Artinya, ini bukan transisi, melainkan ekspansi energi,” ujar Andy.
Kertas Posisi Serikat Pekerja Sektor Ketenagalistrikan
Menyikapi kondisi ini, Serikat Pekerja Sektor Ketenagalistrikan Indonesia meluncurkan Kertas Posisi pada 25 Juni 2025 dengan tema:
“Skenario Pasal 33: Menuju Pendekatan Jalur Publik untuk Transisi yang Adil di Sektor Kelistrikan Indonesia.”
Dokumen tersebut menyoroti empat isu pokok:
- Perluasan Energi, Bukan Transisi Energi – menunjukkan bahwa penambahan energi bersih justru berjalan beriringan dengan peningkatan energi fosil.
- Privatisasi untuk Dekarbonisasi – mengkritisi semakin dominannya peran swasta dalam pembangkitan listrik, yang menggeser posisi PLN.
- Blended Finance – menilai skema pembiayaan transisi energi (JETP) berpotensi menjadi jebakan utang karena mayoritas berupa pinjaman berbunga tinggi.
- Skenario Pasal 33 UUD 1945 – menawarkan jalur publik sebagai dasar konstitusional untuk memastikan transisi energi yang adil.
Andy menambahkan, tren privatisasi dalam sektor ketenagalistrikan mengkhawatirkan. Data menunjukkan kapasitas pembangkit swasta (IPP) meningkat dari 32,4% pada 2019 menjadi lebih dari 38% di 2024, sementara porsi PLN turun signifikan. Penjualan listrik PLN juga merosot dari hampir 69% pada 2019 menjadi hanya 55% pada 2024.
Pasal 33 dan Kedaulatan Energi
Konstitusi Indonesia menegaskan, cabang produksi vital harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, praktik privatisasi justru membuat kedaulatan energi melemah. Andy mencontohkan kasus krisis listrik di Nias dan Bali, ketika ketergantungan pada pembangkit swasta berujung pada pemadaman massal dan rakyat menanggung dampaknya.
“Transisi energi hari ini lebih menyerupai ekspansi energi dengan privatisasi dan beban utang. Kita tidak hanya menghadapi krisis iklim, tetapi juga risiko harga listrik mahal dan hilangnya kedaulatan energi. Jalan keluarnya hanya satu: kembali ke Pasal 33 UUD 1945,” tegas Andy.
Tiga Prinsip Transisi Energi Adil
Dalam kertas posisi tersebut, serikat pekerja menegaskan tiga prinsip utama:
- Listrik wajib dikuasai negara sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
- Harga listrik harus adil dan terjangkau bagi seluruh rakyat, bukan tunduk pada mekanisme pasar.
- Pasokan listrik harus aman bagi pelanggan dan lingkungan, memastikan keberlanjutan energi sekaligus perlindungan konsumen.
Serikat pekerja menutup dengan pesan tegas: “Transisi energi bukan sekadar proyek dekarbonisasi atau bisnis swasta. Ia adalah perjuangan konstitusional untuk memastikan energi menjadi hak rakyat, dikelola negara, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama.”
Sumber : https://psisaskenergyprojectindonesia.org/2025/08/19/pendekatan-jalur-publik-untuk-transisi-yang-adil-di-sektor-kelistrikan-indonesia/




