KEPTV | Jakarta – Dalam National Forum and Meeting Just Energy Transition Public Pathway yang berlangsung di Jakarta pada 19 Agustus 2025, Sekretaris Umum PP IP Andy Wijaya menggarisbawahi sejarah panjang perjalanan menghadapi perubahan iklim. Sejak terbentuknya United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 1992, dunia telah berupaya merumuskan konsensus global untuk menanggulangi krisis iklim. Namun, meski berbagai kesepakatan internasional telah dicapai, realitas yang dihadapi Indonesia menunjukkan tantangan besar dalam mewujudkan transisi energi yang sesungguhnya.
Kesepakatan Global vs. Realitas Lokal
Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, dengan total emisi sekitar 700 juta ton per tahun. Ini menunjukkan bahwa meski ada komitmen untuk transisi energi, kenyataan di lapangan justru mencerminkan ketergantungan yang tinggi pada energi fosil. Andy menekankan bahwa ini memperlihatkan kesenjangan antara narasi resmi transisi energi dan praktik yang terjadi di sektor energi.
Privatisasi dan Beban Utang
Lebih jauh, isu privatisasi dalam sektor ketenagalistrikan menjadi sorotan. Seiring dengan meningkatnya kapasitas pembangkit listrik swasta, peran Perusahaan Listrik Negara (PLN) semakin menyusut. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2030, sebagian besar proyek energi terbarukan justru dikuasai oleh swasta, mengakibatkan kekhawatiran akan hilangnya kedaulatan energi negara.
Andy mengibaratkan PLN seperti rumah makan Padang yang kini harus membeli lauk-pauk dari vendor luar. Hal ini menimbulkan risiko bagi masyarakat, termasuk harga listrik yang semakin mahal dan ketidakpastian pasokan.
Just Energy Transition Partnership (JETP)
Pendanaan transisi energi melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) juga menuai kritik. Meskipun dijanjikan dana besar, mayoritas dana tersebut berbentuk pinjaman berbunga tinggi, yang berpotensi menjadi beban baru bagi rakyat. Ini menggambarkan bahwa tanpa desain pembiayaan yang adil, transisi energi bisa berubah menjadi jebakan utang.
Kembali ke Konstitusi
Dalam menghadapi tantangan ini, Kertas Posisi Serikat Pekerja Sektor Ketenagalistrikan menegaskan pentingnya merujuk kepada Pasal 33 UUD 1945. Listrik harus dikuasai oleh negara dan dikelola untuk kemakmuran rakyat. Transisi energi yang adil bukan hanya tentang teknologi hijau, tetapi juga tentang memastikan akses listrik yang terjangkau dan aman bagi seluruh rakyat.
Kesimpulan: Transisi Energi yang Berkeadilan
Krisis listrik yang dialami di Pulau Nias menjadi pengingat bahwa ketika negara gagal menguasai dan mengelola sumber daya energi, rakyatlah yang menderita. Serikat pekerja menegaskan bahwa transisi energi harus berfokus pada tiga prinsip: penguasaan negara, harga yang adil, dan keamanan pasokan.
Dengan menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai pijakan, kita dapat memastikan bahwa transformasi menuju energi bersih benar-benar menjadi transisi yang adil, bukan sekadar proyek bisnis. Ini adalah perjuangan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dan menjaga martabat bangsa. Saatnya Indonesia mengambil langkah tegas menuju kedaulatan energi yang berpihak pada rakyat.
Sumber : https://psisaskenergyprojectindonesia.org/2025/08/19/pendekatan-jalur-publik-untuk-transisi-yang-adil-di-sektor-kelistrikan-indonesia/





