Outsourcing atau Penyerahan Sebagian Pekerjaan atau Alih Daya yang diatur dalam peraturan perundang undangan Ketenagakerjaan patut diduga Oplosan dari 2 (dua) sumber hukum, yaitu :
- Pasal 1601b KUHPER dan
- Undang Undangan No : 18/2017, tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, khususnya Pasal 1 angka 9, angka 11, dan angka 12 jo Pasal 11 jo Pasal 19.
Jadi tidaklah mengherankan apabila outsourcing Tenaga Kerja lebih dominan ketimbang outsourcing pekerjaan
Apabila obyek yang dioutsourcing atau di Ali Dayakan adalah pekerjasn tentu No Problem.
Tapi jika yang menjadi obyek outsourcing, adalah tenaga kerja yang mempunyai harkat, martabat kemanusiaan, dijadikan Komiditi atau Alat Produksi. maka disitulah timbul kemarahan kaum pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh. Karena perbuatan itu merupakan potensi terjadi Erosi Kemanusiaan dan melanggar Hak Azasi Manusia, sebagaimana dimaksud dalam UU No 39/1999.
Salah satu muatan materi dalam Deklarasi Philapeldephia 1948, yang diadopsi kedalam konvensi PBB dan juga diadopsi oleh ILO, dinyatakan Labour is not Comodity Buruh bukan komiditi yang dapat diperjual belikan atau disewakan dari satu pihak kepada pihak lainnya.
Jadi yang layak dan selayaknya dihapus dari peraturan perundang undangan Ketenagakerjaan yang mengatur outsourcing tenaga kerja
Negara terutama Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU sejatinya bersikap konsisten dan konsekuensi dalam mengimplementasikan aturan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1601b KUHPER yang diadopsi ke dalam Pasal 64 UUK 13/2003, tapi tidak bersesuaian dengan jiwa dan semangat yang terkandung di dalam Pasal 1601b, sehingga menimbulkan polemik dan konfrontasi hukum.
Alangkah elegannya jika pembentuk UU menghapus frasa atau penyedia jasa pekerja/buruh pada alinea ke 3 dan 4 Pasal 64 UUK 13/2003, sehingga menjadi berbunyi : Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui *Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Pembentuk UU sejatinya wajib taat azas dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, agar setiap peraturan perundang undangan yang dibentuk tidak menjadi Santapan Mahkanah Konstitusi, yang secara tidak langsung memberikan gambaran kepada masyarakat begitulah kualitas kapasitas Penyelenggara Negara Pembentuk Undang undang
Jangan sampai timbul tuntutan kepada pembentuk UU agar Wajib mengikuti Penataran Pancasila dan UUD 1945 dulu selama 120 jam, sebelum mengikuti perumusan RUUK, agar tumbuh pemahaman yang mendalam atas nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD 1945, sehingga produk hukum Ketenagakerjaan yang dibuat tidak bertentangan dengan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang merupakan Sila ke 2, dari Pancasila dan juga tidak bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945, utamanya mengenai hak manusia untuk tidak diperbudak.
Perintah Pasal 28I UUD 1945 kepada Negara terutama Pemerintah wajib bertanggung Jawab Melakukan Perlindungan dan Penegakkan Hukum atas pelanggaran HAM agar tercipta keteraturan, ketertiban, kepastian dan kemanfaatan Supremasi hukum yang merupakan salah satu dari 7 tuntutan Reformasi 1998.
Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dalam tuntutan penghapusan Outsourcing.
Salam juang
Tangerang, 31 Mei 2025.
Sofyan A Latief/ Ketum FSP PAR REF - KSPI





