oleh: Subiyanto Pudin
KEPTV — Sejumlah serikat buruh/pekerja menggelar aksi mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, pada peringatan hari HAM, 10 Desember 2024 silam. Konvensi 190 ini sudah disahkan pada 2019 dan Indonesia termasuk negara yang menyetujuinya. Namun, setelah lima tahun, konvensi ini belum juga diratifikasi. Tantangan besar bagi kalangan serikat untuk menekan pemerintah melakukan ratifikasi mestinya menjadi refleksi kita bersama.
Jika menengok ke belakang, kita diingatkan bahwa tahun 1998 menjadi tonggak sejarah penting bagi Indonesia, dengan dimulainya era reformasi. Kejatuhan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto membawa angin perubahan besar dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bagi kalangan buruh/pekerja. Euforia diwujudkan dalam berbagai reformasi hukum, termasuk pengesahan tiga paket undang-undang yang merepresentasikan semangat kebebasan: Undang-Undang tentang Partai Politik dan Pemilu yang melahirkan sistem multipartai, Undang-Undang tentang Kebebasan Pers yang memungkinkan munculnya banyak media, serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB), yang mengakomodasi kebebasan berserikat di Indonesia.
Sebelum reformasi, Orde Baru mengklaim kepada dunia internasional, termasuk dalam forum International Labour Conference (ILC), bahwa Indonesia telah menerapkan kebebasan berserikat. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan tiga serikat besar: Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) untuk pekerja sektor swasta, Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) untuk pegawai negeri dan BUMN, serta Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) untuk pekerja di bidang pendidikan. Serikat-serikat ini memiliki perwakilan dalam lembaga legislatif, termasuk MPR RI melalui fraksi utusan golongan. Saat itu, jumlah anggota SPSI mencapai lebih dari lima juta orang, menjadi gambaran dominasi tunggal dalam pengorganisasian buruh dengan tantangan yang tidak ringan yaitu sikap represif rezim militerisme Orba.
Setelah reformasi, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, sistem yang sebelumnya terpusat mulai berubah. Jika sebelumnya perusahaan diwajibkan membentuk serikat pekerja dan menyusun Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), kini aturan tersebut lebih fleksibel dan berkembang menjadi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang disesuaikan dengan asas pacta sunt servanda sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Pendekatan ini mengadopsi model industrialisasi Korea Selatan di era Park Chung Hee, yang menempatkan serikat pekerja sebagai mitra strategis dalam pembangunan.
Setelah lebih dari dua dekade, implementasi kebebasan berserikat ini menuai beragam evaluasi. Banyak aktivis serikat pekerja mempertanyakan apakah kebijakan ini sejatinya merupakan jebakan neoliberalisme atau kapitalisme yang bertujuan melemahkan kekuatan serikat pekerja di Indonesia? Kebebasan berserikat yang tidak diiringi penguatan struktur dan pengorganisasian hanya akan menciptakan fragmentasi yang melemahkan daya tawar pekerja.
Kemenangan yang Berbuah Ironi
Pelajaran pertama dapat dilihat dari perjuangan Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan (FSP KEP SPSI) di PT Freeport Indonesia pada 2011. Saat itu, sekitar 30.000 orang pekerja, termasuk kontraktor, melakukan mogok kerja selama tiga bulan.
Hasilnya luar biasa, tidak ada pekerja yang di-PHK, upah selama mogok dibayarkan, kenaikan upah signifikan, dan peningkatan fasilitas kesejahteraan lainnya. Dampak dari mogok kerja itu juga membawa perubahan besar dalam kebijakan pemerintah. Presiden Joko Widodo, misalnya, berhasil mengubah kontrak karya Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang lebih menguntungkan negara. Pemerintah juga mengambil alih 51% saham PT Freeport Indonesia dan mewajibkan pembangunan smelter untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral. Langkah ini menunjukkan bahwa kekuatan serikat yang solid dapat mendorong perubahan kebijakan yang signifikan.
Namun, ironisnya, pasca-kemenangan tersebut, kebebasan berserikat justru memicu tumbuhnya serikat-serikat baru di Freeport. Alih-alih memperkuat agenda kesejahteraan pekerja, justru potensi sumber daya serikat pekerja terkuras habis untuk berebut anggota dan mengabaikan agenda utama perjuangan mewujudkan kesejahteraan pekerja/anggota.
Kasus lain adalah gerakan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) pada tahun 2013, yang berhasil mengorganisir mogok nasional (MONAS) dengan tiga tuntutan utama: Jaminan Sosial, Penghapusan Outsourcing, dan Penolakan Upah Murah. Hasilnya, upah minimum pada tahun 2014 naik rata-rata 40%. Setelah keberhasilan ini, MPBI terpecah akibat konflik perebutan anggota dan perbedaan pilihan politik pada Pilpres tahun 2014. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (2023), saat ini terdapat 21 konfederasi, 198 federasi, dan lebih dari 12.000 serikat tingkat perusahaan, tetapi hanya sekitar 4,2 juta pekerja yang tergabung di dalamnya. Angka ini jauh dari ideal jika dibandingkan dengan jumlah pekerja di Indonesia.
Padahal, Indonesia dapat belajar dari negara-negara industri maju tentang bagaimana serikat pekerja yang kuat menjadi pilar dalam pembangunan. Di Australia dan Inggris, serikat pekerja membentuk partai buruh yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka di pemerintahan. Di Jepang, serikat pekerja tidak membentuk partai politik, tetapi berkoalisi dengan partai yang memiliki visi serupa. Serikat pekerja di Jepang juga berhasil membangun minimarket, poliklinik, moda transportasi, bahkan membeli saham perusahaan tempat anggotanya bekerja serta membangun Bank Rokin/Bank Rodo Kindo (Labour Bank). Semua ini dimungkinkan karena pengelolaan keuangan yang mandiri dan kuat.
Di Indonesia, perpecahan sering terjadi di tingkat federasi dan konfederasi. Penyebab utama bukanlah perbedaan ideologi, melainkan konflik akibat hasil kongres atau musyawarah. Bisa jadi, perpecahan disebabkan serikat-serikat itu belum kuat keuangannya, tidak mandiri, sehingga mudah disusupi. Fragmentasi itu memang mencerminkan lemahnya pengorganisasian dan ketergantungan pada pihak luar, yang pada akhirnya membuka ruang intervensi kepentingan non-buruh. Selain itu, syarat minimal hanya 10 orang untuk membentuk serikat pekerja, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, menciptakan fenomena hiperkompetisi. Hal ini justru melemahkan kekuatan serikat dalam menciptakan ekosistem hubungan industrial yang sehat. Padahal, esensi berserikat adalah membangun persatuan dan solidaritas untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja.
Refleksi dan Harapan
Kisah seorang pedagang tikus yang selalu menendang karung berisi tikus dapat menjadi refleksi bagi serikat pekerja di Indonesia. Pedagang tersebut menendang karung agar tikus saling bertengkar dan lupa dengan kekuatan mereka untuk melubangi karung. Serikat pekerja Indonesia perlu menyadari potensi besar yang dimiliki jika mampu bersatu dan fokus pada agenda utama perjuangan.
Untuk itu, penting bagi para pemangku kepentingan untuk mendorong penguatan serikat pekerja melalui regulasi yang tidak hanya menjamin kebebasan, tetapi juga menanamkan tanggung jawab kolektif. Dengan dialog sosial yang konstruktif, Indonesia dapat membangun hubungan industrial yang produktif dan berdaya saing tinggi, sejalan dengan cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kekuatan serikat pekerja bukan hanya pada jumlah anggotanya, tetapi pada solidaritas, loyalitas, dan kemampuan berinovasi untuk menciptakan nilai tambah bagi anggotanya dan bangsa. Jadi, marilah kita jadikan kebebasan berserikat sebagai modal untuk memperkuat daya saing bangsa, bukan sumber perpecahan yang melemahkan. Jika serikat bersatu pasti mempunyai posisi tawar yang kuat, sehingga lebih mudah mendesak Pemerintah menggoalkan agenda perjuangan seperti meratifikasi konvensi ILO 190.