Perdagangan Bebas Dinilai Hambat Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia

by -38 Views

KEPTV | Jakarta, 18 November 2025 — Pemakalah dari Transnational Institute (TNI), Rachmi Hertanti, memaparkan analisis mendalam mengenai keterkaitan antara globalisasi, kompetisi geopolitik, dan transisi energi dalam Diskusi Publik “Hilirisasi, Globalisasi, dan Transisi Berkeadilan untuk Buruh Indonesia” yang diselenggarakan di Horison Ultima Menteng, Jakarta.

Dalam paparannya, Rachmi menegaskan bahwa agenda transisi energi global tidak dapat dilepaskan dari tarik-menarik kepentingan negara-negara industri maju dan negara berkembang. “Transisi energi tidak hanya soal mengurangi batu bara. Ia adalah bagian dari kompetisi industri, teknologi, dan pengamanan rantai pasok mineral kritis,” ujarnya.

Krisis Iklim dan Strategi “Solusi Palsu”

Rachmi menyatakan bahwa krisis iklim adalah kenyataan yang lahir dari akumulasi produksi kapitalisme yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan ketimpangan global. Namun, menurutnya, banyak kebijakan transisi energi justru didorong oleh kepentingan pertumbuhan ekonomi baru melalui ekspansi investasi dan teknologi hijau.

“Yang disebut green growth sering kali hanya menciptakan ekspansi pasar baru. Negara maju mendorong transisi energi, tetapi tetap bergantung pada ekstraksi mineral dari negara berkembang,” jelasnya.

Kebutuhan mineral untuk teknologi hijau diperkirakan meningkat enam kali lipat pada 2040, yang menurut Rachmi berpotensi melahirkan bentuk baru “kolonialisme hijau”.

Ketegangan Geopolitik dan Perlombaan Teknologi

Pemaparan Rachmi juga menyoroti pertarungan teknologi antara Amerika Serikat dan Tiongkok sebagai faktor pendorong kebijakan industrialisasi global. Krisis keuangan 2008 disebut menjadi titik balik ketika Tiongkok muncul sebagai kekuatan ekonomi dan teknologi dunia.

Menurut Rachmi, perang tarif, hambatan teknologi, dan upaya memutus ketergantungan mineral kritis merupakan strategi negara-negara maju untuk mempertahankan dominasinya. “Pertarungan ini bukan soal ideologi, tetapi soal siapa yang menguasai teknologi frontier dan bahan bakunya,” katanya.

Negara maju kini kembali menerapkan kebijakan proteksionis, termasuk subsidi industri, pembatasan teknologi, dan standar keberlanjutan di perbatasan yang dinilai kerap menjadi hambatan perdagangan terselubung.

Hilirisasi Indonesia dalam Tekanan Perjanjian Perdagangan

Rachmi menjelaskan bahwa hilirisasi dapat menjadi jalan bagi negara berkembang untuk naik kelas, namun implementasinya terganjal oleh aturan-aturan perdagangan bebas. Ia mengingatkan bahwa kebijakan pembatasan ekspor Indonesia sebelumnya sudah digugat Uni Eropa di WTO dan Indonesia kalah.

“Perjanjian perdagangan memaksa kita membuka pasar, menghapus pembatasan ekspor, dan melarang transfer teknologi melalui TRIPS. Ini membuat industrialisasi domestik mandek dan kita tetap bergantung pada teknologi asing,” tegasnya.

Ia menilai bahwa jika aturan seperti ini diperketat dalam perjanjian seperti Indonesia–EU CEPA, Indonesia–Kanada CEPA, atau kesepakatan bilateral dengan Amerika Serikat, Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan baku murah tanpa mampu membangun industri strategis seperti baterai dan semikonduktor.

Ancaman Privatisasi Energi dan Hilangnya Ruang Kebijakan

Pada sektor energi, Rachmi menyoroti permintaan Uni Eropa dalam CEPA untuk membuka akses non-diskriminatif terhadap jaringan transmisi dan distribusi listrik PLN. Ia menilai hal ini membuka jalan privatisasi lebih jauh.

“Jika jaringan transmisi dibuka, peran PLN sebagai penyedia layanan publik akan digeser. Negara bisa terbebani biaya besar dan rakyat menghadapi tarif energi terbarukan yang mahal,” ungkapnya.

ISDS: Gugatan Investor yang Menggerus Kedaulatan Negara

Rachmi juga menyinggung bahaya mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS), yang memungkinkan investor menggugat pemerintah ketika kebijakan nasional dianggap merugikan bisnis.

Ia mencontohkan kasus Veolia vs Mesir, di mana kenaikan upah minimum digugat dan negara harus membayar kompensasi besar. Menurutnya, kondisi ini bisa menghambat perlindungan buruh di Indonesia.

“Jika negara takut digugat, kebijakan untuk melindungi buruh dan lingkungan bisa dilemahkan. Pada akhirnya, kepentingan investor lebih diprioritaskan daripada hak rakyat,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa dana publik bisa tersedot untuk membayar kompensasi triliunan rupiah, padahal seharusnya digunakan untuk layanan sosial.

Kesimpulan: Transisi Berkeadilan Tidak Mungkin Terwujud Tanpa Mengatasi Ketidakadilan Global

Rachmi menutup pemaparannya dengan menegaskan bahwa transisi energi berkeadilan tidak dapat dicapai tanpa membongkar struktur ketimpangan dalam perjanjian perdagangan dan investasi internasional.

“Selama kebijakan kita diborgol oleh aturan global yang melindungi investor dan melemahkan industri nasional, buruh akan terus berada di posisi paling rentan,” pungkasnya.