Andi Wijaya (PP-IP): Transisi Energi Indonesia Menyimpang, Privatisasi Listrik Membahayakan Kedaulatan Energi dan Bebani Rakyat

by -29 Views

Jakarta, 18 November 2025 — Dalam sesi panel kedua Diskusi Publik “Hilirisasi, Globalisasi, dan Transisi Berkeadilan”, Andi Wijaya dari Persatuan Pegawai PT PLN Indonesia Power (PP-IP) memaparkan analisis tajam mengenai kondisi ketenagalistrikan Indonesia di tengah agenda transisi energi. Ia menegaskan bahwa Indonesia saat ini bukan sedang melakukan transisi energi, melainkan energy expansion yang sarat risiko, biaya tinggi, dan memperlebar ketergantungan pada swasta. 

Pemaparan Andi didasarkan pada data resmi PLN, dokumen RUPTL 2025–2034, serta analisis berbagai kebijakan energi nasional.

Transisi Energi atau Ekspansi Energi?

Andi memulai dengan menegaskan bahwa realitas energi Indonesia sangat berbeda dari narasi pemerintah. Emisi terus meningkat, penggunaan energi fosil semakin besar, sementara energi terbarukan tumbuh sangat kecil.

“Indonesia bukan sedang transisi energi. Kita sedang energy expansion memperbesar semua sumber energi, termasuk yang kotor,” tegas Andi.

Data menunjukkan:

  • Konsumsi batu bara terus meningkat dan Indonesia menjadi pengekspor batu bara terbesar dunia, bukan pengguna terbesar.
  • Dari produksi nasional, 85% batu bara dijual ke luar negeri, hanya 15% untuk pembangkit dalam negeri.
  • Sementara itu, emisi Indonesia berada di peringkat 6 dunia, meski kontribusinya jauh lebih kecil dibanding Tiongkok dan AS.

Andi menilai narasi bahwa Indonesia harus menutup PLTU demi menurunkan emisi global hanyalah “jebakan politik energi internasional”.

Oversupply Listrik: PLTU Jalan, Emisi Tetap Tinggi, Rakyat Tak Mendapat Manfaat

Indonesia mengalami oversupply listrik lebih dari 60%, namun PLTU tetap berjalan sehingga tidak mengurangi konsumsi batu bara. Andi memberikan contoh:

“Kami mematikan tiga unit PLTU Suralaya, tapi langit tetap hitam. Artinya bukan PLTU kita sumber utamanya tetapi pembakaran fosil global.”

Dengan kata lain, rakyat membayar biaya transisi, tetapi manfaatnya nyaris tidak dirasakan.

Just Energy Transition atau Just Debt?

Andi mengingatkan bahwa janji pendanaan JETP sebesar USD 20 miliar hanyalah ilusi. Dari total tersebut, hanya 0,6% berupa hibah, sisanya pinjaman.

“JETP itu seperti pinjol. Ditawari bantuan, tapi yang datang justru utang,” ujarnya.

Menurutnya, negara maju menjual teknologi mahal sambil menekan negara berkembang agar mengikuti agenda energi bersih yang didominasi kepentingan mereka.

Skema Privatisasi Listrik: IPP Kuasai Pasokan, Rakyat Menanggung Biaya

Andi menyampaikan bahwa pembuktian paling jelas dari dominasi swasta terlihat pada pembangkit listrik swasta (IPP):

  • Tahun 2024, IPP memiliki 38% kapasitas, tetapi menjual 44,5% listrik ke PLN.
  • Harga listrik IPP 36% lebih mahal dari pembangkitan PLN sendiri.
  • PLN harus membeli listrik IPP berdasarkan klausul take-or-pay, sehingga IPP akan selalu diutamakan meski kapasitas PLN lebih besar.

“PLN sekarang seperti rumah makan Padang. Menjual listrik, tapi semua lauknya disuplai pihak ketiga.”

Akibatnya:

  • Subsidi dan kompensasi energi negara naik drastis.
  • Tahun 2024, pemerintah menggelontorkan Rp 177 triliun untuk menutup selisih harga listrik.
  • Jika subsidi itu tidak diberikan, tarif listrik publik akan naik 64%.

“Dari 2018 listrik tidak pernah naik. Bukan karena efisiensi, tapi karena negara mensubsidi habis-habisan,” tegasnya.

RUPTL Paling Hijau Justru Paling Berisiko

RUPTL 2025–2034 dinilai sebagai dokumen “paling hijau” karena 61% penambahan kapasitas didominasi energi terbarukan. Namun Andi menunjukkan data mengejutkan:

  • 73% dari penambahan kapasitas tersebut diberikan kepada IPP, bukan PLN.
  • Negara diprediksi harus menggelontorkan Rp 3.100 triliun dalam 10 tahun untuk subsidi dan kompensasi kepada PLN agar tarif listrik tidak naik.

“Ini berarti kedaulatan energi kita diberikan kepada swasta. Bebannya ditanggung rakyat melalui pajak.”

Bahaya FTA dalam Sektor Energi: Ancaman Privatisasi dan Hilangnya Ruang Kebijakan

Andi mengaitkan kondisi ketenagalistrikan dengan perjanjian perdagangan bebas (FTA). Ia mengkritisi bab Energi dan Sumber Daya dalam EU–CEPA yang mewajibkan akses non-diskriminatif terhadap jaringan transmisi PLN.

Klausul tersebut, menurutnya:

  • membuka privatisasi jaringan listrik,
  • mengubah PLN dari single buyer menjadi multiple buyer,
  • meminggirkan pasal 33 UUD 1945 yang mewajibkan negara menguasai sektor strategis.

“Transisi energi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Energi adalah hak publik, bukan ruang kompetisi pasar.”

Position Paper Serikat Ketenagalistrikan: Tiga Prinsip Energi Berkeadilan

Andi menutup pemaparannya dengan menyampaikan posisi resmi tiga serikat ketenagalistrikan, yang telah merilis Trade Union Position Paper (25 Juni 2025). Dokumen ini menjadi panduan serikat pekerja dalam membaca transisi energi nasional.

Menurut Andi, transisi energi di Indonesia harus memenuhi tiga prinsip:

  1. Sesuai Konstitusi (Pasal 33 UUD 1945)
    Tidak boleh ada privatisasi atau dominasi swasta dalam pembangkitan, transmisi, dan distribusi.
  2. Harga Listrik Terjangkau
    Transisi energi tidak boleh membuat rakyat dan industri kolaps akibat tarif listrik mahal.
  3. Aman bagi Rakyat dan Lingkungan
    Transisi energi harus mempertimbangkan keselamatan pekerja, dampak ekologis, dan keadilan antarwilayah.

“Transisi energi itu wajib. Tapi bukan transisi yang menjajah, memiskinkan, dan memprivatisasi listrik. Kita butuh transisi yang adil, berbasis kedaulatan energi.”