GAGASAN DAN TINDAKAN APA YANG DAPAT DIIMPLEMENTASIKAN SEPULANG MENGIKUTI  KONFERENSI PERBURUHAN INTERNATIONAL

by -122 Views

GAGASAN DAN TINDAKAN APA YANG DAPAT DIIMPLEMENTASIKAN  SEPULANG MENGIKUTI  KONFERENSI PERBURUHAN INTERNATIONAL  (INTERNATIONAL LABOR CONFERENCE) KE 113 DI JENEWA – SWISS

Sofyan A Latief / Ketum FSP PAR REF - KSPI

Tulisan ini terinspirasi dari beberapa Media Digital dan bersifat kajian dan analisis sederhana terkait dengan 3 (tiga) issu yang menurut penulis relevan untuk ditindaklanjuti dalam bentuk rumusan dan formulasi untuk dimasukan dalam muatan materi Undang Undang Ketenagakerjaan Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 168 Tahun 2023. 

PENDAHULUAN

Empat hari yang lalu, tepatnya 13 Juni 2025, Konferensi Perburuhan International, atau International Labor Conference (ILC) Ke 113, telah berakhir. ILC diselenggarakan mulai dari tanggal 2 hingga 13 Juni 2025, di Jenewa, Swiss, diikuti oleh 187 negara anggota. 

Seminggu sebelum ILC ke 113 berakhir, tersiar berita sebagian delegasi ILC                ke 113, telah kembali ke negara masing-masing, tentunya didasarkan berbagai macam faktor yang menjadi pertimbangan.  Semoga delegasi Indonesia tetap bertahan sampai berakhirnya Konferensi, utamanya delegasi dari unsur pekerja/buruh yang diwakili oleh beberapa pimpinan nasional Serikat

Pekerja/Serikat Buruh. 

Respon positif  ILC ke 113 atas aspirasi negara anggota terkait dengan Platform Ekonomi Digital, harus diapresiasi dan ditindaklanjuti dengan kerja keras, cerdas, cermat, ikhlas, tuntas dan profesional, sehingga menghasilkan rumusan yang tepatguna dan berdayaguna untuk kepentingan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat pekerja/buruh informal. Mengingat selama ini secara faktual menunjukkan, Pemerintah telah absen melindungi mereka secara hukum, baik dalam Undang Undang No. 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan maupun dalam Undang Undag NO. 6 Tahun 2023, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No.2 Tahun 2022, tentang Cipta Kerja menjadi Undang Undang.

 Padahal kehadiran pekerja/buruh informal telah memberikan kontribusi yang besar kepada negara, baik dalam hal kesempatan lapangan pekerjaan, sehingga mengurangi angka pengangguran. kemudian dengan penghasilan yang mereka peroleh, negara juga ikut menikmati berupa pajak, yang berimbas pada Produk Dometik Bruto (PDB) Pusat dan Daerah secara nasional. 

Mengutip dari beberapa pemberitaan Media Digital, sediktnya ada 3 isu utama dari Konferensi Perburuhan INternasional ke 113,  yang menjadi perhatian dunia, yakni  : 

  1. Masalah bahaya biologis, berupa bakteri dan/atau virus sebagai acaman atas kesehatan dan keselamatan kerja
  2. Platform Ekonomi Digital terkait dengan hak-hak tenaga kerja dalam bisnis berbasis Aplikasi Electronic dan 
  3. Informalisasi pekerja informal.

Ke 3 isu tersebut patut dan layak untuk dikaji, dianalisis dan ditindaklanjuti dalam bentuk rumusan dan formulasi yang efektif berdaya saing argumentasi, sebagai substansi muatan materi dalam Perubahan dan Pembaruan Undang Undang Ketenagakerjaan Baru,  Pasca Putusan MK No 168/2023.

KOLABORASI DAN SINKRONNISASI  3 ISU ILC DAN  JUST TRANSTION 

Dengan berbekal oleh-oleh 3 isu sentral ILC ke 113, yaitu ; Bahaya biologis atas Kesehatan dan Keselamata Kerja (K3), dan seiring sejalan dengan perlindungan hakhak pekerja/buruh tambang ketika memasuki masa transisi akibat kebijakan dampak perubahan iklim, juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana Koalisi Serikat Pekerja dengan Partai Buruh berpartisipasi aktif secara bermakna memperjuangkan perlindungan hak-hak pekerja/buruh dari ancaman bahaya biologis di tempat kerja dan lingkungan hidup. 

Jadi disamping kita masih menyisakan tugas merumuskan strategi Perlindungan hakhak pekerja/buruh tambang atas dampak perubahan iklim. Sejalan dengan itu, Koalisi Serikat Pekerja dengan Partai Buruh juga mempunya tugas menindaklanjuti 3 isu utama topik bahasan ILC ke 113, dengan menyusun strategi penguatan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dalam menghadapi ancaman dan bahaya biologis yang tak terpisahkan dengan lingkungan kerja dan lingkungan hidup, agar masyarakat sekitar bersama pekerja/buruh setempat mampu mendukung keberlangsungan efektivitas K3 dengan aman dan nyaman, sehingga dapat menurunkan risiko kecelakaan kerja, termasuk risiko Penyakit Akibat Kerja (PAK). Tren kecelakaan kerja di Indonesia menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, tercatat 298.137 kasus, meningkat menjadi 370.747 kasus pada tahun 2023, dan hingga Oktober 2024, jumlahnya telah mencapai 356.383 kasus.

TENTANG BAHAYA  BIOLOGIS 

Bahaya biologis di tempat kerja adalah risiko yang bersumber dari lingkungan atau organisme hidup atau zat yang dihasilkan oleh makhluk hidup, yang dapat menyebabkan penyakit atau gangguan kesehatan bagi pekerja/buruh berupa PAK yang termasuk bagian dari kecelakaan kerja.  Bahaya biologis ini seperti Bakteri dan Virus, misalnya, pekerja/buruh di rumah sakit atau laboratorium bisa terpapar patogen seperti tuberkulosis atau hepatitis; Jamur dan Spora seperti Pekerja/buruh  di gudang atau industri pertanian bisa menghadapi risiko alergi atau infeksi akibat paparan jamur; Parasit seperti yang ditemukan dalam air yang terkontaminasi atau pada hewan yang ditangani oleh pekerja/buruh peternakan; dan Produk Biologis termasuk toksin alami, seperti racun dari tumbuhan atau hewan.

Bahaya tersebut cenderung bersemayam di sektor kesehatan, pertanian, laboratorium, dan industri makanan. Perlindungan seperti penggunaan alat pelindung diri (APD), sanitasi yang baik, serta pelatihan keselamatan sangat penting untuk mengurangi risiko.

Upaya untuk menekan angka kecelakaan kerja, termasuk PAK harus terus dilakukan, pengawasan dan evaluasi dengan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) serta peningkatan budaya keselamatan di tempat kerja terutama dalam memastikan kepatuhan perusahaan terhadap standar keselamatan yang berlaku, agar risiko kecelakaan kerja dan PAK  dapat terkendali dengan baik hingga mampu menekan  meningkatnya tren kecelakaan kerja, termasuk PAK 

Faktor utama yang berkontribusi terhadap peningkatan kecelakaan kerja adalah rendahnya peran pengawasan dan peneggakkan hukum kepada perusahaan atau pengyusaha, terkait K3. Masih banyak perusahaan memaknai pelaksanaan K3 dan SMK3 menjadi cost production atau beban biaya produksi, sehingga pengusaha tidak serius memfasilitasi upaya pencegahan atas K3 seluruh pekerja/buruhnya, seperti menyediakan APD dan fasilitas lain-lain yang berhubungan dengan K3  

Kondisi seperti itu diperparah oleh persepsi perusahaan atau pengusaha yang menyatakan, kalau pun terjadi kecelakaan kerja atau PAK maka ada BPJS Ketenagakerjaan yang akan menjamin seluruh biaya perawatan dan berbagai santunan hingga beasiswa bila pekerja/buruh meninggal karena PAK tersebut. Persepsi yang salah itu yang menyebabkan pekerja/buruh sebagai subyek yang harus dilindungi menjadi tergerus. Pasal 86 dan Pasal 87 UUK 13 /2003 sudah sangat jelas mengatur tentang K3. 

TENTANG PEKERJA / BURUH PLATFORM EKONOMI DIGITAL

Sudah seharusnya Pemerintah Indonesia membuat regulasi bagi pekerja/buruh digital untuk menjamin kepastian kerja serta perlindungan yang setara.  Sudah sangat jelas dan tegas Pasal 1 angka 31 UUK No. 13/2003, memposisikan seluruh pekerja/buruh, dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja termasuk pekerja/buruh kemitraan, menjadi subyek yang dilindungi dan disejahterakan.            UUK No. 13/2003 dan UUCK  No. 6/2023 alpa melindungi pekerja/buruh di luar hubungan kerja dan pekerja/buruh kemitraan berbasis digital, karena seluruh            Pasal di kedua UU yang mengatur ketenagakerjaan tersebut hanya melindungi pekerja/buruh di dalam hubungan kerja formal.

Sebenarnya sudah ada perlindungan bagi pekerja/buruh kemitraan, terkait dengan jaminan sosial yaitu di Peraturan Presiden No. 109/2013 junto Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5/2021 yang mewajibkan seluruh pekerja/buruh kemitraan digital mengikuti Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm), juga dapat mengikuti Program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun

(JP). 

Pada Pasal 8 ayat (2) Perpres 109/2013 pekerja/buruh kemitraan berbasis digital dapat mengikut JHT dan JP, sementara Pasal 31 ayat (3) Permenaker No. 5/2021 mewajibkan pekerja/buruh kemitraan ikut JKK dan JKm, dan pada Pasal 34 pihak penyedia jasa layanan melalui kemitraan (aplikator) wajib mendaftarkan pekerja/buruh kemitraan tersebut.

Namun yang terjadi saat ini Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan tidak serius memastikan kedua regulasi tersebut berjalan dengan baik. Masih banyak pekerja/buruh kemitraan digital yang tidak didaftarkan ke Program JKK dan JKm, Demikian juga pekerja/buruh kemitraan belum bisa mengakses JP, sementara JHT sudah boleh. Hal ini mengakibatkan pekerja/buruh kemitraan berpotensi mengalami risiko sangat serius ketika mengalami kecelakaan kerja hingga meninggal dunia pada saat bekerja, dan risiko menjadi miskin pada saat lanjut usia karena tidak memiliki Jaminan Hari Tua dan Pensiun.

Lima Program Stimulus, yang salah satunya Bantuan Subsidi Upah (BSU) masih diberikan kepada pekerja/buruh formal semata, tidak melibatkan pekerja/buruh kemitraan digital sebagai penerimanya. Padahal pekerja/buruh kemitraan adalah peserta Program JKK dan JKm juga, namun Pemerintah mendiskriminasi pekerja/buruh kemitraan mendapatkan BSU untuk mendukung daya beli mereka khususnya pada bulan Juni dan Juli 2025. 

Perlakuan Diskriminasi secara sengaja dilakukan pemerintah kepada pekerja/buruh kemitraan, seperti juga BSU ketika Covid-19 lalu. Pekerja/buruh kemitraan justru sebenarnya sangat membutuhkan BSU tersebut karena mereka tidak memiliki upah tetap seperti yang dimiliki pekerja/buruh formal. Demikian juga pendapatan pekerja/buruh kemitraan sangat jauh di bawah pekerja/buruh formal. Tetapi mereka tidak bisa merasakan dana APBN yang mereka sumbang juga melalui pembayaran pajak berbagai transaksinya.

Formalisasi pekerja/buruh informal seharusnya menjadi Prioritas Pembangunan ketenagakerjaan Indonesia, sehingga Pemerintah Indonesia mampu menciptakan kebijakan inklusif untuk memperluas cakupan perlindungan sosial dan peningkatan kompetensi kerja bagi pekerja/buruh informal. Selama ini Kementerian

Ketenagakerjaan hanya menjanjikan tanpa memberikan kepastian. Janji-janji itu menjadi hal biasa terjadi.

Dari beberapa uraian di atas, saya berharap para delegasi RI khususnya dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) mengkritisi hal tersebut dengan memberikan laporan pada sidang ILC ke-113 sehingga Pemerintah Indonesia cq. Kementerian Ketenagakerjaan memiliki rasa bersalah dengan ketidakmampuan Pemerintah menjalankan amanat berbagai regulasi di atas dan masih rendahnya kualitas pengawasan dan penegakkan hukum yang dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan sehingga Kecelakaan kerja dan PAK masih banyak terjadi.

 Demikian juga dengan kebijakan BSU yang diskriminatif kepada pekerja/buruh kemitraan, dan janji-janji tentang formalisasi sektor informal, harus juga menjadi Prioritas Perjuangan Koalisin Serikat Pekerja dengan Partai Buruh (KSP-PB) Pasca ILC ke-113. Pekerja/buruh kemitraan berbasis digital harus diperjuangkan nasibnya menjadi pekerja/buruh tetap. Untuk memastikan seluruh pekerja/buruh kemitraan  mendapatkan perlindungan dan kesejahteraannya. Apa yang bisa dilakukan Koalisi Serikat Pekerja – Partai Buruh (KSP-PB) 

TANTANGAN MENGHADANG

Sehari menjelang berakhir dan penutupan ILC ke 113, muncul di Media Digital

Pernyataan Penolakan tentang PLatform Ekonomi Digital dari Ketua Umum Koalisi 

Ojol Nasional,Andi Kristiyanto dan dukungan moriil dari Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) Agung Yudha, yang menolak jika Pengemudi Ojol disebut sebagai Pekerja. Menurut mereka, pihaknya lebih senang dan tepat menyebutkan sebagai Mitra. 

Beberapa alasan, Andi Kristiyanto, hentikan politisatisasi isu ojol oleh elit politik dan pejabat negara. Tolak status ojol sebagai pekerja teap. Tolak rencana pemotongan 10% tanpa kajian yang berdampak negatif bagi mitra pengemudi. Tolak kepentingan pribadi/kelompok yang mengatasnamakan ojol.

Sementara Agung Yudha, menyatakan dampak penerapan Konvensi ILO di Indonesia bisa memicu hilangnya pekerjaan, menurunkan UMKM yang bergantung pada Platfom Digital, serta meningkatkan pengangguran. Dikatakannya, pemaksaan reklasifikasi mitra menjadi karyawan akan menggerus fleksibilitas sistem digital dan mengganggu stabilitas ekonomi nasional.  Ekfek domino dari kebijakan perubahan mitra menjadi pekerja tetap, dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan gejolak sosial-politik serta mengurang kepercayaan investr dalam dan luar negeri, khususnya ditengah ketidakpastian ekonomi global   

Pendapat dan pernyataan dari kedua pebisnis tersebut wajib dikonter oleh Koalisi Serikat Pekerja dengan Partai Buruh dengan berupa kajian dan analisis hukum untuk memastikan perlindungan hak-hak pengemudi ojol sebagai manusia yang bermarabat tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Siapapun dengan alasan apapun tidak boleh melakukan diskiminasi  kepada hak konstitusional Pengemudi Ojol,  Karena merka bukanlah Robot yang dapat dengan sesuka hati dapat mengendalikannya. Pengemudi Ojol adalah manusia seutuhnya yang mempunyai Akal, Agama, Rasa Malu dan Berwatak sosal-amaliah. Jadi patut diduga, jika pengemudi ojol dipastikan mendapat perlindungan hukum menjadi pekerja / buruh tetap, maka dengan demikian hilanglah kontribusi yang selama ini mereka terima dari Pengemudi Ojol dan dinikmati sebagai mata pencarian. KOndisi rersebut bakal menyeret mereka pada potensi kebangkrutan usaha atau gulung tikar.  

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Koalisi adalah kerja sama antara beberapa unsur. Juga bisa merujuk pada kelompok LSM, yaitu warga sipil yang bergabung untuk mencapai tujuan bersama. Pada umumnya Aliansi Koalisi seperti KON tidak bersifat permanen, melainkan sementara, cair dan setiap anggota aliansi koalisi bebas bergerak menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing dengan tetap menjaga etik berkoalisi.    

Lalu bagaimana dengan nasib pengemudi ojol non Koalisi ?  Diinilah pentingnya kehadiran Koalisi Serikat Pekerja dengan Partai Buruh untuk melindungi sekaligus mengajak mereka bersatu dan bergabung bersama kita.