MENELUSURI SEJARAH THR?

by -1 Views
Oleh: Indra Munaswar *)

Cukup panjang perjalanannya bagi pekerja/buruh swasta untuk mendapatkan THR. Tidak sertamerta pemerintah dan pengusaha memberikan THR.

Tunjangan Hari Raya (THR) adalah pendapatan pekerja/buruh non-upah yang sangat dinantikan menjelang lebaran atau hari besar keagamaan.

Pengusaha (Pemberi Kerja) wajib membayarkan THR kepada para pekerja/buruhnya.

THR DI MASA PENDUDUKAN JEPANG

Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah kolonial 1943 memberikan hadiah kepada pegawai sipil menjelang hari raya Idul Fitri.

Konsep tunjangan hari raya (THR) sudah ada sejak zaman kolonial Jepang. Pada masa itu, Jepang memberikan hadiah kepada pegawai sipil menjelang hari raya Idul Fitri.

Di Jepang sendiri, tidak ada THR karena tidak ada hari raya keagamaan di Jepang. Namun, di Jepang ada sistem pemberian bonus untuk pegawai, meski tidak semua perusahaan atau institusi mendapatkannya.

THR DI AWAL KEMERDEKAAN BAGI PNS

Perdana Menteri Indonesia ke-6, Soekiman Wirjosandjojo (27 April 1951 – 3 April 1952) memperkenalkan THR bagi Pegawai Negeri. Soekiman adalah salah seorang pendiri dan Ketua Umum Partai Masyumi.

Kabinet yang dipimpinnya dikenal dengan nama Kabinet Sukiman-Suwirjo. Salah satu program kerja kabinet ini adalah meningkatkan kesejahteraan terhadap para pegawai atau aparatur negara.

Kebijakan THR yang dikeluarkan oleh Soekiman Wirjosandjojo selaku Perdana Menteri saat itu, diberikan menjelang hari raya kepada para pamong praja (sekarang PNS).

Kebetulan saat itu perekonomian dalam negeri Indonesia sedang dalam kondisi yang stabil, sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, pemerintah memberikan tunjangan hari raya.

Besarannya tunjangan hari raya oleh pemerintah kala itu antara Rp125 hingga Rp200 perorang. Jika disetarakan dengan nilai uang sekarang besarannya sekitar Rp 1,1juta hingga Rp 1,75 juta.

Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo adalah seorang nasionalis berhaluaan Islam yang berasal dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Pemberian THR ini sebagai strategi bagi Partai Masyumi untuk menarik perhatian para kelompok PNS, agar mendukung kabinet Sukiman-Suwirjo.

DASAR HUKUM THR BAGI PNS

Dasar hukum pemberian THR bagi PNS pada saat itu, adalah PP No. 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.

Dalam PP itu diatur bahwa pemberian THR untuk PNS yang merayakan (1) Idul Fitri; (2) 1 Januari; (3) Galungan yang dirayakan dalam bulan September, dan (4) Imlek.

PP No. 27 Tahun 1954 diundangkan oleh Presiden Soekarno pada 26 Maret 1954. Ketika itu Menteri Keuangan Ong Eng Die, Menteri Agama KH. Masjkur, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo.

Namun THR itu tidak diberikan sebagai penghasilan non-upah dan tidak cuma-cuma, tapi hanya berbentuk persekot atau pinjaman di muka yang nantinya akan dikembalikan lewat pemotongan gaji PNS di bulan-bulan berikutnya. Bentuk THR tidak hanya berupa uang tapi juga dalam bentuk sembako.

PROTES BURUH SWASTA

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat itu mendapat protes dari para buruh yang bekerja di perusahaan swasta. Sebagai pekerja keras di berbagai perusahaan swasta, para buruh tersebut merasa turut terlibat membangkitkan perekonomian nasional.

Dengan dimotori oleh SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), para buruh menuntut THR, seperti yang sudah diberikan pemerintah terhadap para PNS kala itu.

SOBSI adalah federasi serikat buruh permanen yang pertama kali dibentuk di Indonesia pada 29 November 1946. SOBSI terlibat aktif dalam revolusi kemerdekaan Indonesia dan merupakan serikat buruh terbesar ketika itu.

Pada 13 Februari 1952, para buruh di berbagai perusahaan swasta melakukan aksi mogok kerja, dan tuntutannya meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan agar para pekerja mendapat THR dari perusahaan swasta tempat mereka bekerja.

Karena SOBSI sebagai underbow (sayap partai) PKI, maka setelah peristiwa G-30-S, SOBSI dibubarkan oleh Pemerintah dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Menghadapi aksi protes dari para buruh mengenai tuntutan THR tersebut, pemerintah saat itu langsung turun tangan. Soekiman meminta supaya perusahaan bersedia mengeluarkan THR untuk para karyawannya. Dan buruh berhasil mendapat THR.

Namun peraturan resmi mengenai THR tersebut baru keluar 2 tahun kemudian, tepatnya tahun 1954, berupa Surat Edaran Menteri Perburuhan Mengenai Hadiah Lebaran. Dalam SE tersebut mengimbau perusahaan untuk memberikan tunjangan kepada buruh sebesar seperdua-belas dari upah sebulan.

PERTAMA KALI PERATURAN MENTERI TENTANG THR BAGI BURUH SWASTA

1961 Surat Edaran tersebut kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri, yang mewajibkan perusahaan memberikan Hadiah Lebaran kepada buruh yang telah bekerja minimal tiga bulan.

Di awal Orde Baru pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.16 tahun 1968 tentang Tunjangan Hari Raya bagi Buruh Perusahaan Swasta.

Pada tahun 1994 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan untuk Pekerja, dan mencabut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.16 tahun 1968.

Dalam Pemenaker tersebut dipertegas bahwa Hari Raya Keagamaan adalah Hari Raya Iedul Fitri bagi pekerja yang beragama Islam, Hari Raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen Katholik dan Protestan, Hari Raya Nyepi bagi pekerja yang beragama Hindu dan Hari Raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha.

Pemenaker ini mengatur pemberian THR, sebagai berikut:

  1. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih berhak atas THR sebesar 1(satu) bulan upah.
  2. Pekerja yang mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan THR secara proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan masa kerja : 12 x 1(satu) bulan upah .
  3. Upah satu bulan adalah upah pokok di tambah tunjangan-tunjangan tetap.
  4. Dalam hal penetapan besarnya nilai THR menurut Kesepakatan Kerja (KK), atau yang Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR diatur dalam Permenaker, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan KK, Peraturan Perusahaan, KKB atau kebiasaan yang telah dilakukan
  5. Pemberian THR disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing pekerja sesuai dengan agama yang dianutnya, kecuali atas kesepakatan pengusaha dan pekerja menentukan lain.
  6. Pembayaran THR wajib dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.

KETENTUAN THR PADA ERA PASKA REFORMASI

Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri pada 8 Maret 2016 menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh Di Perusahaan, dan mencabut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan untuk Pekerja.

Dalam peraturan menteri yang baru ini ditambah beberapa ketentuan, antara lain:

  1. Hari Raya Keagamaan adalah Hari Raya Idul Fitri bagi Pekerja/Buruh yang beragama Islam, Hari Raya Natal bagi Pekerja/Buruh yang beragama Kristen Katholik dan Kristen Protestan, Hari Raya Nyepi bagi Pekerja/Buruh yang beragama Hindu, Hari Raya Waisak bagi Pekerja/Buruh yang beragama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi Pekerja/Buruh yang beragama Konghucu.
  2. Pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih. Pada peraturan sebelum 3 (tiga) bulan.
  3. THR Keagamaan diberikan kepada Pekerja/Buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha berdasarkan PKWTT atau PKWT.
  4. Bagi Pekerja/Buruh yang bekerja berdasarkan Perjanjian Kerja Harian Lepas, upah 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai berikut:

a. Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan atau lebih, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan;

b. Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja,

Berdasarkan angka 7 SE Menaker M/2/ HK.04.00/III/2025 secara tegas menyebutkan THR wajib dibayarkan oleh pengusaha secara penuh dan tidak boleh dicicil.

Baru pada tahun 2025 ini Pengemudi dan Kurir Online mendapatkan Bonus Hari Raya (BHR), meski hanya melalui SE MENAKER No. M/3/HK. 04.OANU2A25, 11 Maret 2025 Tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 Bagi Pengemudi dan Kurir Pada Layanan Angkutan Bermasis Aplikasi.

Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan merupakan wujud kepedulian perusahaan aplikasi terhadap para pengemudi dan kurir online sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan tahun 2025 bagi pengemudi dan kurir online dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Bonus Hari Raya Keagamaan diberikan oleh perusahaan aplikasi kepada seluruh pengemudi dan kurir online yang terdaftar secara resmi pada perusahaan aplikasi.
  2. Bonus Hari Raya Keagamaan diberikan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya ldul Fitri 1446 H.
  3. Bagi pengemudi dan kurir online yang produktif dan berkinerja baik, Bonus Hari Raya Keagamaan diberikan secara proporsional sesuai kinerja dalam bentuk uang tunai dengan perhitungan sebesar 20% (dua puluh persen) dari rata-rata pendapatan bersih bulanan selama 12 (dua belas) bulan terakhir.
  4. Bagi pengemudi dan kurir online di luar kategori sebagaimana dimaksud pada nomor 3, diberikan Bonus Hari Raya Keagamaan sesuai kemampuan perusahaan aplikasi.
  5. Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan tidak menghilangkan dukungan kesejahteraan bagi pengemudi dan kurir anline sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah diberikan oleh perusahaan aplikasi.

Apakah Pekerja Alih Daya berhak mendapatkan?

Pasti dapat. Karena berdasarkan definisi dalam Pasal 1 angka3 UU No 13/2003, bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh Di Perusahaan, dalam Pasal 1 angka 4, sama mendefinikan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dengan begitu pekerja/buruh Alih Daya berhak mendapatkan THR.

Manggarai, 17 Maret 2025

*) Ketua Umum FSPI
Sumber: Berbagai sumber.