menjelang shuruq hari ini, saya mendapat kiriman link berita ini: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250306143852-4-616287/sah-perjanjian-jual-beli-listrik-ebt-ke-pln-berlaku-selama-30-tahun
Ketika saya membaca berita tersebut, saya hanya tersenyum kecut dan meringis panjang, ternyata masih ada dari oknum Pemerintah yang masih membangkang atas putusan No. 39/PUU-XXI/2023, dimana disebutkan bahwa Penyediaan Listrik Untuk Kepentingan Umum dilaksanakan secara terintegrasi. Pembangkangan sebelumnya atas putusan MK tersebut adalah pembentukan RUKN dan RUPTL yang isinya tetap tidak mengakomodir Penyediaan Listrik Untuk Kepentingan Umum dilaksanakan secara terintegrasi.
Secara kacamata orang banyak, pengaturan pembelian PJBTL EBT ke PLN selama 30 Tahun sebagai langkah yang revolutioner karena kita akan bisa memastikan bahwa kita akan punya Energi Listrik dari EBT sampai jangka panjang. Tetapi tau kah kawan, bahwa itu hanya sebagai bentuk lain privatisasi yang merangkak (“crawling privatisation”)??
Apa maksudnya crawling privatisation?? Privatisasi menurut KBBI adalah:
- Proses, cara, perbuatan menjadi milik perserorangan (dari milik negara), swastanisasi (wastanisasi adalah proses peralihan produksi barang dan jasa dari sektor pemerintah ke sektor swasta.
- Penjualan sebagian atau semua saham sebuah perusahaan milik pemerintah kepada publik, baik melalui penjualan langsung ke perusahaan swasta nasional dan asing maupun melalui bursa efek.
Di awal Tahun 2000 an, Privatisasi gencar dilakukan di Asia Tenggara khususnya di Indonesia, ada perivatisasi yang terjadi disektor Minerba, sektor Migas, sektor Sumber Daya Air dan sektor Ketenagalistrikan. Dan cara melakukan privatisasinya dengan cara merubah UU nya. Tetapi khusus untuk UU Ketenagalistrikan yang bernafaskan privatisasi (UU No. 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan), atas perlawanan dari semua pihak, hanya berumur 1,5 tahun kurang lebih. Karena para pihak melakukan Judicial Review atas UU tersebut dan Privatisasi di sektor Ketemagalistrikan bisa terhenti sejenak, berbeda dengan tetangga kita di Philipina yang berhasil dilaksanakan dan efek langsungnya adalah naiknya tarif listrik dari 900 an rupiah menjadi 3.000 an rupiah dalam waktu singkat. Silahkan baca buku Economic Hitman untuk lebih memperluas pola pandang agar bisa melihat bahwa terjadi pertarungan antara sektor swasta dan sektor publik.
Kemudian pada Tahun 2009, Pemerintah menerbitkan UU ketenagalistrikan baru (UU No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan) yang bernafaskan privatisasi yang merangkak. UU tersebut tidak lagi menargetkan untuk menguasai/membeli aset-aset ketenagalistrikan milik Negara (BUMN dan Anak Usahanya), tetapi menyasar pada penguasaan pasar ketenagalistrikannya (“electricity market”). Sektor Swasta sekarang hanya memastikan bahwa ketika mereka memproduksi listrik maka terserap oleh Pemerintah via PLN baik di butuhkan oleh pasar ataupun tidak. Dan klausul ini kita kenal dengan klausul TOP (Take Or Pay Clause). Dan tentunya klausul TOP ini wajib memastikan bahwa modal dan “keuntungan yang wajar” pihak swasta yang berinvestasi di sektor ketenagalistrikan terjamin.
Bagaimana memastikan modal dan “keuntungan yang wajar” bagi pihak swasta yang akan berbisnis ketenagalistrikan di Indonesia? Ada 2 skema bagaimana hal itu dilaksanakan. Pertama dengan memastikan jangka waktu kerjasama antara pihak swasta dengan PLN, kemudian bagaimana memastikan bahwa harga jual antara pihak swasta dengan PLN.
Pada awalnya, bentuk kerjasama untuk jangka waktu dan harga jual itu hanya tertera dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (“PJBTL”) antara pihak swasta dan PLN. Kemudian dari waktu kewaktu, maka diperlukan jaminan yang lebih bagi pihak swasta. Maka diperlukanlah jaminan dari Pemerintah, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri yang memastikan jangka waktu PJBTL. Dan kemudian langkah selanjutnya adalah memastikan harga jual listrik dari swasta ke PLN mengakomodir modal dan “keuntungan yang wajar”. Sehingga terbitnya Permen ESDM No. 05 Tahun 2025 adalah langkah pertama. Selanjutnya kawan-kawan bisa diduga bukan??
Sebenarnya kenapa UUD 1945 Negara Republik Indonesia kita menolak segala bentuk privatisasi? Karena sektor apapun yang dikuasai negara, semata-mata digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan kalo pihak swasta yang menguasai maka sebesar-besar untuk siapa??
Data menunjukkan, di Tahun 2023, PLN mendapatkan subsidi dan kompensasi sebesar 142 Triliun (naik 77 Triliun dari tahun 2020), tetapi PLN membayar/membeli listrik dari pihak swasta sebesar 154 Triliun. (Sumber laporan keuangan PLN 2023 audited)
Belum lagi, 100% listrik yang dijual PLN ke masyarakat umum, sebesar 43% di beli dari pihak swasta (naik 13% dari tahun 2020), sedangkan 57% diproduksi sendiri. Padahal kapasitas pembangkit PLN masih diangka 70% an.
Kalau lagi nanti PLN wajib membeli lagi EBT dalam jangka panjang, menurut kawan berapa lagi kenaikan beban subsidi dan kompensasi listrik dari Pemerintah?? Dan pertanyaan selanjutnya, kalau Pemerintah tidak mampu lagi memberikan subsidi dan kompensasi kepada PLN, dikemanakankah beban dari pembelian listrik dari swasta?? Silahkan di cerna sendiri….
So, bagaimana menurut kawan, apakah EBT DARI SWASTA = KEBUTUHAN ATAU BENTUK BARU PRIVATISASI??
08 MARET 2025
Refleksi Diri