, ,

EBT dari Swasta: Kebutuhan atau Bentuk Baru Privatisasi?

by -23 Views

Menjelang shuruq hari ini, saya menerima kiriman link berita mengenai perjanjian jual beli listrik berbasis Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) yang berlaku selama 30 tahun. Membaca berita tersebut, saya hanya bisa tersenyum kecut dan meringis panjang. Ternyata, masih ada oknum pemerintah yang membangkang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 39/PUU-XXI/2023, yang menegaskan bahwa penyediaan listrik untuk kepentingan umum harus dilaksanakan secara terintegrasi. Pembangkangan sebelumnya terlihat dalam pembentukan RUKN dan RUPTL yang tidak mengakomodasi hal tersebut.

Dari perspektif masyarakat, pengaturan pembelian PJBTL EBT ke PLN selama 30 tahun bisa terlihat sebagai langkah revolusioner, menjanjikan pasokan listrik EBT jangka panjang. Namun, kita perlu bertanya: apakah ini benar-benar kebutuhan, atau justru bentuk privatisasi yang merangkak (crawling privatization)?

Apa itu Crawling Privatization?

Privatisasi, menurut KBBI, adalah proses peralihan kepemilikan dari milik negara ke swasta. Di awal tahun 2000-an, privatisasi berlangsung gencar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan sektor ketenagalistrikan menjadi salah satu target utama. Namun, UU No. 20 Tahun 2002 yang bernafaskan privatisasi di sektor ini hanya bertahan sekitar 1,5 tahun karena penolakan dari berbagai pihak. Berbeda dengan Filipina yang berhasil melaksanakan privatisasi ini, Indonesia sempat menghentikannya.

Pada tahun 2009, pemerintah menerbitkan UU No. 30 Tahun 2009 yang kembali mengarah pada privatisasi, tetapi kali ini bukan melalui penguasaan aset, melainkan penguasaan pasar listrik. Dengan skema Take Or Pay (TOP), pihak swasta kini mendapat jaminan bahwa produksi listrik mereka akan dibeli oleh PLN, terlepas dari kebutuhan pasar.

Jaminan Modal dan Keuntungan

Untuk memastikan modal dan “keuntungan yang wajar” bagi pihak swasta, jangka waktu kerjasama dan harga jual listrik menjadi krusial. Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) menjadi dasar, di mana jangka waktu dan harga jual ditentukan. Dengan terbitnya Permen ESDM No. 05 Tahun 2025, jaminan ini semakin diperkuat, seolah menjadi langkah pertama menuju privatisasi yang lebih mendalam.

UUD 1945 menolak privatisasi karena penguasaan sektor publik harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, jika sektor swasta mengambil alih, untuk siapa keuntungan itu sebenarnya?

Dampak Keuangan terhadap PLN dan Masyarakat

Di tahun 2023, PLN menerima subsidi dan kompensasi sebesar 142 triliun, tetapi juga membayar 154 triliun untuk membeli listrik dari pihak swasta. Dari 100% listrik yang dijual PLN ke masyarakat, 43% dibeli dari pihak swasta. Pertanyaannya, jika PLN harus membeli EBT dalam jangka panjang, berapa lagi kenaikan beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah? Dan jika pemerintah tidak mampu memberikan subsidi, ke mana beban itu akan dialihkan?

Kesimpulan

Jadi, bagaimana menurut kawan? Apakah EBT dari swasta benar-benar kebutuhan, ataukah ini justru bentuk baru dari privatisasi yang merugikan masyarakat? Pertanyaan ini perlu direnungkan lebih dalam, mengingat dampaknya bukan hanya untuk sektor ketenagalistrikan, tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Refleksi Diri, 8 Maret 2025