Pentingnya Serikat Pekerja dalam Keseimbangan Hubungan Industrial

by -178 Views

CEMWU, JAKARTA — Dalam kurun waktu 2005 – 2023, jumlah serikat pekerja di Indonesia menurun drastis dari 1,8 juta menjadi hanya 165.000 serikat pekerja. Padahal keberadaannya penting dalam menjaga keseimbangan dalam hubungan industrial antara pengusaha atau pemberi kerja dengan pemerintah.

Sebab, serikat pekerja sejatinya wujud hak kolektif pekerja dalam memperjuangkan kepentingannya melalui proses perundingan yang dijamin UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, tetapi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) tidak mengatur hal tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Indrasari Tjandraningsih dari AKATIGA Pusat Analisis Sosial yang hadir sebagai Ahli Pemohon Nomor 40/PUU-XXI/2023. Sidang lanjutan atas uji formil  UU Cipta Kerja tersebut digelar pada Kamis (25/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut, Indrasari juga menyampaikan Indonesia menggunakan paradigma kapitalisme neoliberal berupa bekerjanya mekanisme pasar dalam soal hubungan kerja dan menarik mundur tanggung jawab serta peran pemerintah dalam perlindungan terhadap pekerja, termasuk melalui serikat pekerja.

Namun, adanya pasal-pasal mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan alih daya yang termuat dalam UU Cipta Kerja ini telah mengubah model hubungan kerja dari tetap menjadi tidak tetap yang berimplikasi langsung terhadap kekuatan serikat buruh. Karena pada dasarnya, pekerja kontrak tidak begitu tertarik untuk bergabung dan mempertahankan pekerjaannya.

Dengan berkurangnya atau turunnya eksistensi serikat buruh, maka berpengaruh pada kesempatan berunding bagi serikat pekerja yang berimplikasi terhadap keseimbangan dalam hubungan industrial yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan ketegangan industrial. 

“Hal ini tampak saat proses pembuatan UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan selama tiga tahun terakhir bahkan hingga saat ini, yang mengabaikan serikat buruh sebagai pemangku kepentingan utama dalam proses undang-undang sehingga memicu situasi dan kondisi hubungan kerja yang tidak produktif dan merugikan semua pihak,” jelas Indrasari yang juga memberikan keterangan untuk Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan.

Semakin lemahnya peran serikat pekerja ini, menurut Indrasari, berdampak buruk pada terciptanya hubungan industrial yang tidak harmonis dan berkeadilan. Pada dasarnya, dalam pandangannya, eksistensi serikat pekerja tidak hanya menguntungkan pekerja dan pemberi kerja. Sebab komunikasi dengan serikat pekerja menjadi langkah efisien bagi pemberi kerja utamanya dalam skala besar untuk merundingkan berbagai kebijakan dan aturan serta kepentingan pemberi kerja melalui serikat pekerja.

“UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan mengikngkari amanat UUD 1945 dengan menghilangkan kepastian kerja dan kesempatan untuk bekerja secara layak, keadilan dalam hubungan kerja, kebebasan berserikat dan mundurnya perlindungan negara terhadap pekerjaan sebagai kelompok warga negara yang berposisi lebih lemah di hadapan pemberi kerja,” tandas Indrasari atas pengujian UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan ini.

Jaminan Perlindungan Hukum dan Kesejahteraan Pekerja

Sementara itu, John Pieris selaku Ahli Pemohon lainnya dari AFFIDAVIT berikutnya mengungkapkan bahwa dipindahkannya norma hukum mengenai jaminan perlindungan hukum dan kesejahteraan pekerja dari UU Cipta kerja ke Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2001 sebagai aturan pelaksana bertolak belakang dengan asas kepastian hukum dan asas kehati-hatian dalam membuat konstruksi hukum secara berjenjang. Tindakan ini, sambungnya, dapat dianggap sebagai upaya merendahkan norma hukum dan mengaburkan supremasi hukum.

Berikutnya, berkaitan dengan makna dan pembatasan open legal policy, Pieris berpendapat ada standar teori dan etika dalam politik perundang-undangan di Indonesia.  “UU Cipta Kerja divonis MK inkonstitusional bersyarat, kemudian keluarlah Perppu Cipta Kerja yang disetujui DPR. Sehingga terdapat tidak ada keteraturan mekanisme dalam politik perundang-undangan dari pembentukan hukum yang rapi dan teratur. Doktrin open legal policy semestinya ditempuh secara hati-hati dan tetap berada pada koridor konstitusi, tidak menabrak konstitusi dan UU P3,” jelas Pieris.