Menguji Batas Waktu outsourching dalam UU Cipta Kerja

by -119 Views

CEMWU, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) pada Selasa (20/6/2023). Permohonan perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan.

Leonardo Siahaan (Pemohon) mengujikan norma Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang menyatakan, “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Pemohon mengatakan berusia produktif bekerja meskipun Pemohon belum bekerja, tetapi secara potensial pemohon pasti bekerja. “Ketika Pemohon menyadari pemberlakuan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang jelas-jelas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya sangat potensional sekali ketika PKWT itu tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT diperpanjang maka timbul yang namanya eksploitasi pekerja.

Tentu sangat rawan sekali mengingat pekerja ini merupakan pihak yang lemah, pihak yang sangat rentan sekali dan pengusaha powerfull. Sehingga ketika pengusaha melihat keberadaan pasal a quo pengusaha akan berpikir bisa saja melakukan perpanjangan kontrak PKWT lebih dari 10 tahun bahkan bisa dilakukan lebih dari 2 kali. Padahal kalau kita lihat di dalam UU Tenaga Kerja yang lama itu jelas sekali bahwa PKWT paling lama adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 saja. Tetapi kalau pasal 56 ayat (3) PKWT tidak ada batas waktunya dan tidak ada ketentuan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya bisa usia lansia bisa saja seseorang tersebut diperpanjang terus sampai jadi pegawai tetap,” jelasnya.

Pendapat Pemohon ini berdasarkan bahwa perusahaan dapat seenaknya menetapkan jangka waktu PKWT terlebih lagi bahwa pemberlakuan pasal tersebut dapat memperpanjang kembali dalam jangka waktu kemauan perusahaan tanpa repot-repot mengangkat.

Dalam permohonan, Pemohon menjelaskan bahwa secara umum pasal a quo mengatur tentang PKWT yang penyelesaiannya didasarkan pada dua keadaan, yaitu jangka waktu selesai atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pemohon kemudian menjelaskan norma yang mengatur tentang hal serupa pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Membandingkan dengan norma-norma yang telah ada sebelumnya, Pemohon menegaskan bahwa di dalam pasal a quo belum diatur batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu sebagaimana diatur pada norma lain yang dijadikan pembanding oleh Pemohon.

Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali.”

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan meskipun Pemohon menekankan pandangan yang dibidik adalah kerugian potensial akan tetapi harus tetap diberikan penguatan argumentasi kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal itu. “Menurut saya, lebih baik beri argumen lain atau data lain yang faktual bahwa saudara memang mempunyai keterkaitan erat dengan pasal 56 ayat (3) itu. Atau pun mencari Pemohon yang bisa diajak kolaborasi penguatan kedudukan itu,” tegas Suhartoyo.

Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan  MK dalam berbagai putusan sudah beberapa kali menguji persoalan seperti Pemohon. “Jadi hendaknya anda memperkuat, ada 1 putusan MK yang saya pikir sangat dekat dengan permohonan saudara tetapi saya tidak melihat di permohonan saudara putusan Nomor 27/2011.

Memang putusan itu berbicara outsourching tetapi itu ada kaitannya dengan PKWT dan PKWTT. Sehingga di situ mungkin ada titik singgung prinsip jadi bukan case yang sama tetapi ada titik singgung yang sama,” terang Guntur.

Sumber : https://www.mkri.id/