Oleh: Indra Munaswar
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2023 Tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor Yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global, dibentuk dengan menggunakan Dasar Hukum UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (angka 2).
Atas dasar hukum tersebut, substansi Permenaker ini menyiratkan berpegang pada Pasal 151 ayat (1) UU No. 13/2003, yang menyatakan: “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.”
Dalam penjelasan Pasal 151 ayat (1) dijelaskan: “Yang dimaksud dengan mengupayakan adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.”
Dari ketentuan Pasal 151 ayat (1) beserta penjelasannya itu, tidak ada disebutkan adanya upaya menurunkan upah pekerja. Apalagi terhadap upah pekerja yang masih sebatas upah minumum.
Permenaker No. 5/2023 ditujukan kepada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor, yakni: a. industri tekstil dan pakaian jadi; b. industri alas kaki; c. industri kulit dan barang kulit; d. industri furnitur; dan e. industri mainan anak.
Faktanya, mayoritas pekerja yang bekerja pada industri padat karya tersebut menerima upah sebatas upah minimum. Berdasarkan Pasal 90 ayat (1) UU13/2003, dinyatakan bahwa Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
Dimana pikiran seorang Menteri diletakkan? Jelas nyata bahwa undang-undang melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari ketentuan yang berlaku, tapi Menteri tanpa hak dan tanpa berwenang membuat aturan yang membolehkan pengusaha menurunkan upah pekerja hingga 25%.
Fakta lain menunjukkan, bahwa dalam membentuk Peraturan Menteri ini, Menteri tidak melibatkan LKS Tripartit Nasional. Dengan begitu Menteri telah mengabaikan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2005 Tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP No. 8 Tahun 2005.
Dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 46 Tahun 2008 dinyatakan bahwa, LKS Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
Nyatanya dalam pembentukan Permenaker ini, Menteri sama sekali tidak melibatkan serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat resmi sebagai anggota LKS Tripartit Nasional.
Pentingnya keterlibatan semua unsur yang ada dalam LKS Tripartit adalah sebagaimana dijelaskan dalam alenia kedua Penjelasan Umum PP No. 8 Tahun 2005: “Dalam dunia ketenagakerjaan pelibatan masyarakat dalam mengambil keputusan diwujudkan dalam prinsip tripartisme, suatu prinsip yang bertumpu pada semangat bahwa kepentingan masing-masing unsur pelaku proses produksi yaitu pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah menjadi kepentingan bersama.”
“Kepentingan tersebut adalah peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya serta terjaminnya kelangsungan usaha.”
Dengan dibentuknya Permenaker No. 5/2023, menunjukkan bahwa Menteri Ketenagakerjaan tidak peduli dengan kepentingan pekerja/buruh sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Batavia, 22 Maret 2023 Ketua Umum FSPI