MUTASI
Bung Chandra Mahlan dalam postingannya di Facebook mengajak kita untuk mendiskusikan soal Mutasi. Saya pikir ini menarik untuk didiskusikan. Karena tidak sedikit masalah Mutasi menimbulkan gangguan bahkan merusak hubungan kerja.
Pengusaha beranggapan bahwa mutasi itu hak prerogratif pengusaha. Jadi pekerja/buruh tidak boleh menolaknya. Sedangkan bagi pekerja/buruh, mutasi itu merupakan hukuman dan sangat merugikannya.
ASPEK-ASPEK YANG MELATAR-BELAKANG MUTASI
Mutasi kerja atau mutasi pekerjaan dalam hubungan kerja sudah terjadi sebelum Indonesia merdeka. Mutasi bagi pekerja/buruh, bisa terjadi dari satu bagian pekerjaan ke bagian pekerjaan lain dalam satu lokasi perusahaan; atau dari kantor pusat ke kantor cabang yang masih dalam satu wilayah dengan kantor pusat, atau mutasi ke daerah lainnya. Begitu pun sebaliknya.
Mutasi-mutasi tersebut bisa bersifat permanen atau bersifat sementara.
Ketika kita bicara Mutasi, setidaknya terdapat 3 (tiga) aspek yang disoroti, yakni: Aspek Hukum, Aspek Kepentingan Perusahaan, dan Aspek Kepentingan Pekerja/Buruh beserta keluarganya.
ASPEK HUKUM
Sesungguhnya, Mutasi punya landasan hukum sebagaimana dimaksud dalam Bab VI – Penempatan Tenaga Kerja – Pasal 31, dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Memang dalam bab tersebut disebut penempatan tenaga kerja, dan tidak secara letterlijk atau tidak secara spesifik disebut Mutasi. Tapi, maknanya sama.
Dalam Pasal 31 disebutkan bahwa, setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
Kemudian dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) menekankan kewajiban pengusaha ketika melakukan mutasi (penempatan tenaga kerja), antara lain:
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
Berdasarkan Pasal 1 angka 4, angka 5 dan angka 6 UU No. 13/2003, hubungan kerja pekerja/buruh terikat secara hukum dengan badan hukum, atau pengusaha, atau perserikatan, atau orang perseorangan.
Sedangkan hubungan kerja terikat dengan perjanjian kerja, berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU No. 13/2003 yang sedikitnya memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Ketentuan huruf e dan huruf f tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, PKB, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 tersebut, maka pengusaha tidak dapat melakukan mutasi secara sepihak, tanpa adanya persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
Begitu juga, pengusaha tidak dapat melakukan pemindahan jabatan, baik itu berupa peningkatan jabatan (promosi) maupun penurunan jabatan (demosi), tanpa adanya persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan. Kecuali terdapat klausul khusus yang mengatur tentang mutasi kerja dalam perjanjian kerja yang telah disepakati sebelumnya.
Pekerja Yang Dipindah ke Perusahaan Lain Bukan Mutasi
Ditinjau dari Aspek Hukum di atas, maka ketika seorang pekerja di “Mutasi” dari perusahaan A atau pengusaha A ke perusahaan X atau pengusaha X, itu bukan Mutasi, tapi pekerja/buruh itu dipindahkan ke perusahaan lain tanpa hak dan melanggar hukum perjanjian. Karena tidak ada perikatan hukum hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan X atau pengusaha X tersebut. Tindakan pengusaha Ini merupakan bentuk dari penjualan manusia.
ASPEK KEPENTINGAN PENGUSAHA
Pengusaha punya kepentingan dan punya hak untuk memutasi pekerja/buruh-nya dengan mempertimbangkan kebutuhan SDM terkait dengan manajemen, permesinan, IT, produksi, pemasaran, keahlian, keterampilan, dll.
Tetapi dalam menggunakan haknya tersebut, selain harus memenuhi aspek hukum, pengusaha juga mesti mendiskusikan terlebih dahulu dengan pekerja/buruh ybs.
Diskusi itu diperlukan untuk memberi gambaran kepada pekerja/mengenai job discription, pencapaian target, dan lama mutasi akan dijalankan – apakah selamanya atau berbatas waktu. Apakah diperlukan atau tidak diperlukan pemberian pelatihan sebelum mutasi dilaksanakan.
Pengusaha juga harus memperhatikan kondisi pekerja/buruh yang akan dimutasi, termasuk kondisi keluarganya.
ASPEK KEPENTINGAN PEKERJA/BURUH
Pekerja/buruh mesti mendapatkan kepastian apakah dengan mutasi ini upah dan penghasilannya serta hak-hak lainnya berkurang, tetap atau malah bertambah.
Pekerja/buruh juga perlu mendapatkan kepastian bahwa mutasi ini bukan hukuman atau siasat pengusaha untuk menyingkirkannya secara halus. Tapi semata-mata mutasi ini memang merupakan kepentingan pengusaha yang mesti dipenuhi.
Bagi pekerja/buruh yang akan dimutasi ke luar daerah, perlu mendapatkan kepastian seperti:
- apakah mendapat transportasi kepindahan bagi dirinya dan keluarganya;
- apakah mendapatkan mess atau asrama atau rumah dinas beserta keluarga. Jika tidak, apakah mendapat biaya sewa rumah yang memadai setiap bulan;
- jika keluarga tidak boleh dibawa, apakah diberikan trasportasi (pp) minimal setiap bulan sekali untuk pulang dan kembali ke tempat kerja;
- dll.
Dari uraian di atas, sudah dapat dirumuskan pasal-pasal mengenai Mutasi dalam PKB. Termasuk di dalamnya diatur sanksi bagi pekerja/buruh yang menolak mutasi tanpa alasan yang dibenarkan menurut hukum atau karena alasan kesehatan, dll.
Jakarta, 19 Juni 2022 – (Indra Munaswar Ketua Umum FSPI)