Oleh Hermansyah, S.H (Wakil Direktur Diklat PP FSP KEP SPSI)
Tidak banyak pekerja yang menyadari bahwa RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang diusung Pemerintah dan digadang-gadang sebagai Jurus Pamungkas menarik Investasi ini justru muatannya akan mengurangi hak-hak pekerja, menghilangkan perlindungan bagi pekerja juga akan mengubah besar-besaran wajah dan jiwa dunia perburuhan di Indonesia, menjadikan pekerja Indonesia terpinggirkan dan menjadi ‘budak’ di negerinya sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa ada 11 klaster yang dimaksud dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yaitu:
- Penyederhanaan perizinan tanah;
- Persyaratan investasi;
- Ketenagakerjaan;
- Kemudahan dan perlindungan UMKM;
- Kemudahan berusaha;
- Dukungan riset dan inovasi;
- Administrasi pemerintahan;
- Pengenaan sanksi;
- Pengendaliaan lahan;
- Kemudahan proyek pemerintah;
- Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dengan satu-satunya pertimbangan bagaimana agar arus investasi masuk lebih deras ke Indonesia.
Investasi merupakan hal penting bagi tumbuh berkembangnya perekonomian bangsa, akan tetapi menjadi salah arah dan salah kaprah jika hal itu dilakukan dengan menghilangkan hak-hak pekerja, mencabut perlindungan bagi pekerja, menghilangkan kepastian hubungan kerja dan terpenuhinya kehidupan layak bagi pekerja.
Beberapa poin krusial bagi pekerja yang menjadi muatan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja sebagaimana disampaikan oleh beberapa orang Menteri dan Pejabat Pemerintahan melalui media, Menteri Ketenagakerjaan menyebutkan setidaknya ada 5 poin yang menjadi fokus dalam Omnibus law menyangkut ketenagakerjaan, poin-poin yang secara berterang merupakan pergeseran dari rencana revisi undang-undang ketenagakerjaan ala kanebo kering pada pemerintah sebelumnya, diantaranya yaitu;
- Mengatur fleksibilitas jam kerja, proses perekrutan, dan kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disebut oleh Menteri Perekonomian sebagai prinsip-prinsip fleksibilitas jam kerja (flexible working hours), kemudahan dalam proses perekrutan (easy hiring) dan PHK (easy firing) yang kembali menurut pemerintah dinilai akan menghasilkan iklim investasi dan iklim usaha yang lebih kondusif. Hal ini tentu saja bagi pekerja secara serta merta akan menghilangkan perlindungan berupa tidak adanya kepastian keberlangsungan hubungan kerja dan menghilangkan hak pekerja untuk mendapatkan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Fleksibilitas ini juga menyangkut diperpanjangnya masa kontrak bagi pekerja PKWT dan dibebaskannya semua jenis pekerjaan bagi pekerja dari perusahaan labor supplier.
- Sistem pengupahan berbasis jam kerja Pemerintah juga mengkaji perubahan skema gaji bulanan menjadi pengupahan per jam untuk mendukung fleksibilitas dalam bekerja.
- Pesangon yang akan dihilangkan dan diganti dengan istilah Insentif dengan batasan maksimal 6 bulan.
- Mempermudah perizinan tenaga kerja asing agar dapat masuk tanpa proses perijinan yang panjang sehingga akan membuka arus pekerja asing untuk masuk semakin massif.
Selain point-point di atas, juga ada hal penting lainnya bagi perlindungan pekerja Indonesia yaitu menyangkut dihilangkannya sanksi pidana bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran peraturan ketenagakerjaan, melihat maraknya praktik pelanggaran di Indonesia yang dilakukan oleh pengusaha nakal, dihilangkannya sanksi pidana akan semakin menambah subur pelanggaran yang tentu saja lagi-lagi yang menjadi korbannya adalah pekerja. Sebagai sebuah Negara yang seharusnya melakukan perlindungan bagi warga negaranya, khususnya bagi warga Negara yang posisi sosial ekonominya lemah seperti pekerja, hal ini tentu saja merupakan sebuah kemunduran dalam kehidupan bernegara.
Hal lainnya yang juga dibicarakan dan akan merugikan kepentingan pekerja adalah menyangkut akan diperketatnya pelaksanaan hak mogok kerja, bahkan akan ada hukuman bagi pekerja yang melakukan mogok yang dianggap melanggar. Persoalan dipersulitnya pengunaan hak mogok ini sepertinya masih berkaitan dengan dibuatnya perjanjian dagang bebas antara Indonesia dengan beberapa Negara yang mengatur mengenai pengenaan denda bagi pemerintah untuk perselisihan industrial yang timbul melalui skema Investor-State Dispute Settlement (ISDS) yang lagi-lagi pekerja yang dijadikan kambing hitamnya.
Omnibus law cipta lapangan kerja sebagai sebuah Undang-Undang ‘Borongan’ dengan 11 clusternya juga secara berterang memberikan ancaman bagi hak-hak dan kesejahteraan pekerja bukan hanya di cluster ketenagakerjaan akan tetapi juga di cluster lainnya, salahsatunya dalam cluster administrasi pemerintahan. Dimana dalam cluster ini pemerintah melalui presiden meminta adanya suatu kewenangan untuk dapat mencabut suatu peraturan daerah (perda) yang dianggap menghambat investasi. Beberapa Perda ketenagakerjaan yang ada di Kabupaten-Kota di Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan dan kesejahteraan pekerja terancam dihapus dengan omnibus law ini.
Target Pemerintah untuk merampungkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dalam jangka waktu 3 bulan, sejak diajukan (rencananya diajukan pada Januari 2020), di tengah mayoritas anggota dewan berasal dari partai pendukung pemerintah tentu harus mendapat perhatian serius dan disikapi secara massif oleh seluruh pekerja, aktifis serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia. 127 anggota Satgas Omnibus Law yang terdiri dari lintas sector, dari mulai Menteri, Pajabat Pemerintahan, Kadin, dan Tokoh masyarakat. Minus Perwakilan dari Pekerja, Serikat Pekerja/Serikat Buruh sudah cukup menjadi bukti buat pekerja mewaspadai ancaman terhadap keberlansungan hidupnya. Keberlangsungan martabat sebuah bangsa.
Sudah saatnya jurus pamungkas omnibus law dari pemerintah ini, jika dia akan membuat pekerja Indonesia terpinggirkan dan menjadi ‘budak’ di negerinya sendiri seharusnya juga memantik lahirnya jurus pamungkas dari kaum buruh Indonesia dengan Solidaritas, Persatuan dan Perlawanan.
Bekasi, 9 Januari 2020 – Dum Spiro Spero
Mantap bro herman , jgn putus asa tetap semangat dlm berjuang