Di tulis oleh : Soekardji,SH.,MH (Ketua PD FSP KEP SPSI Jawa Timur)
Upah secara filosofi adalah hak Pekerja/Buruh sebagai imbalan prestasi kerja yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan dibayarkan sesuai perjanjian. Upah juga sebagai hak konstitusional bagi setiap warga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945 Pasal 27 (2) yang menyatakan bahwa, “setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”. Hak Konstitusional tersebut dijabarkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU No.13 Tahun 2003) dalam Pasal 1 angka (30) dijelaskan bahwa,“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
Kemudian dari pada itu upah dimaksudkan untuk pemenuhan penghidupan yang layak, sehingga Pekerja/Buruh menjadi sejahtera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (31) UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa, “Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik didalam maupun diluar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat”. Oleh karenanya Upah merupakan salah satu unsur dalam hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Namun secara sosilogis terjadi perbedaan sudut pandang terhadap upah, bagi majikan, upah merupakan biaya produksi yang harus ditekan serendah-rendahnya agar harga hasil produksi dapat bersaing atau keuntungannya menjadi lebih tinggi. Sedangkan bagi pekerja/buruh upah adalah sejumlah uang yang diterimanya pada waktu tertentu atau lebih penting lagi; jumlah barang kebutuhan hidup yang dapat dibelinya dari upah itu. Bagi organisasi pekerja/buruh upah merupakan objek yang menjadi perhatian untuk dirundingkan dengan majikan agar dinaikkan. Cara pandang majikan dan pekerja/buruh berbeda lagi dengan Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah memandang bahwa peningkatan upah dapat meningkatkan daya beli masyarakat, mendorong perputaran ekonomi dan pajak pendapatan sebagai salah satu sumber penerimaan Negara. Untuk itu sebagai regulator dan stabilisator Pemerintah bertanggungjawab menjaga keseimbangan agar majikan dan pekerja/buruh tidak saling memaksakan kepentingan yang didasarkan pada cara pandangnya terhadap upah.
Untuk itu dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pekerja/buruh, Pemerintah perlu mendorong peningkatan peran serta pekerja/buruh dalam melaksanakan proses produksi dengan peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh melalui mekanisme upah minimum. Upah minimum adalah upah terendah yang akan dijadikan jaring pengaman bagi pengusaha untuk menentukan upah yang sebenarnya dari pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaannya.
Dalam menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota Gubernur harus berpegang pada ketentuan Pasal 89 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak”. Ayat (3) pasal tersebut juga menyatakan bahwa “Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota”. Sedangkan pada ayat (4) dinyatakan bahwa Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Pencapaian Tahapan Kebutuhan Hidup Layak sebagaimana telah dirubah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.
Dahulu sebelum diterbitkan dan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan (PP No. 78 Tahun 2015), penetapan nilai kebutuhan hidup layak (KHL) ditentukan oleh tim survei dan pembentukan tim survei KHL oleh Ketua Dewan Pengupahan atau Bupati/Walikota. Pada daerah yang telah terbentuk Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota, maka anggota tim berasal dari anggota Dewan Pengupahan dan dengan mengikutsertakan Badan Pusat Statistik (BPS) setempat. Namun setelah diberlakukannya PP No.78 Tahun 2015 beserta peraturan-peraturan turununannya penetapan nilai KHL dalam penetapan Upah Minimum sudah tidak lagi dilakukan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota karena dalam peraturan-peraturan tersebut dinyatakan bahwa KHL adalah sama dengan Upah Minimum tahun berjalan.
Pada tahun 2019 Gubernur Jawa Timur menetapkan Upah Minimum yaitu Upah Minimum Provinsi melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/629/KPTS/013/2018 kemudian Gubernur juga menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/665/KPTS/013/2018 disamping itu Gubernur Jawa Timur juga menetapkan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor188/666/KPTS/013/2018 yang sempat dirubah dua kali dengan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/786/KPTS/013/2018 dan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor188/54/KPTS/013/2019.
Kebijakan Hukum Dalam Penetapan Upah Bagi Pekerja/Buruh
Upah merupakan suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas prestasi berupa pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan oleh pekerja dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang. Besarnya upah ditetapkan menurut persetujuan atau perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. Termasuk kedalam upah adalah tunjangan, baik untuk diri pekerja sendiri atau pun kepada keluarganya.
Yang dimaksud upah adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yaitu hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Dari uraian tersebut, maka jelas bahwa upah diberikan dalam bentuk uang, namun secara normatif masih ada kelonggaran bahwa upah dapat terdiri dari upah pokok dan tunjangan dengan batasan bahwa apabila komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit dikitnya75 % (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap sebagaimana maksud Pasal 94 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya Upah pokok paling sedikit 75 % (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap, dan dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap besarnya Upah pokok paling sedikit 75 % (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap intinya adalah bahwa Upah Pokok tidak boleh kurang dari 75% apabila Upah terdiri dari komponen upah pokok dan tunjangan-tunjangan.
Sesuai Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 43 ayat (3), pasal 48 dan pasal 50 PP No.8 Tahun 2015 tentang Pengupahan bahwa pengertian upah minimun adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai Jaring Pengaman.
Ada beberapa yang berubah pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum ini dibandingkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum sebelumnya. Seperti definisi upah minimum, penerapan KHL, pelaksanaan upah sektoral dan lain sebagainya. Secara umum, definisi-definisi yang disebutkan sepertinya sudah menjadi pemahaman umum. Namun agar lebih detail dan mengikat, disampaikan kembali dengan penulisan yang lebih lengkap, yaitu Upah Minimum adalah upah bulanan terendah berupa upah tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman. Kemudian terkait dengan Sektor Unggulan disebutkan bahwa merupakan sekumpulan perusahaan dalam 1 (satu) sektor yang memenuhi kriteria mampu membayar Upah Minimum yang lebih tinggi dari UMP atau UMK. Dua definisi diatas mempertegas pengertian yang sering kali berbeda pendapat dikalangan para praktisi dan Anggota Dewan Pengupahan baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota.
Kemudian dari pada itu makna upah minimum, apakah upah pokok saja atau dengan tunjangan Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum jelas disebutkan sebagai upah tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap, disinilah yang sering terjadi perbedaan pemahaman dalam konflik kepentingan antar pelaku proses produksi. Definisi kedua yang baru adalah definisi tentang Sektor Unggulan. Yang cukup menarik perhatian adalah, adanya kalimat “…yang memenuhi kriteria mampu membayar Upah Minimum yang lebih tinggi dari UMP atau UMK“, kriteria mampu membayar inilah yang juga sering sekali dan sangat rentan menimbulkan konflik pada saat penetapan usulan dan/atau rekomendasi kepada Pejabat yang berwenang.
Selanjutnya mengenai Pengaturan tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL dan fungsinya) juga memicu perdebatan dan perselisihan pendapat, yang perlu dipahami adalah bahwa dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum ini, pada Pasal 5 disebutkan bahwa KHL terdiri dari beberapa komponen dan akan ditinjau dalam jangka waktu 5 tahun namun pada Pasal 7 juga disebutkan bahwa upah minimum tahun pertama setelah peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup ditetapkan sama dengan nilai KHL hasil peninjauan, dan tidak dihitung menggunakan formula, sedangkan penetapan upah minimum tahun kedua hingga tahun kelima dihitung menggunakan formula hal ini dapat dikatakan sebagai konflik norma dalam satu peraturan (contra legem). Artinya adalah bahwa dalam periode 5 tahun sekali, di tahun pertama setelah peninjauan kembali KHL penentuan Upah Minimum tidak menggunakan formula perhitungan Upah Minimum, namun menggunakan KHL hasil peninjauan. Padahal dalam pasal 2 Permenaker tersebut dikatakan bahwa Upah Minimum ditetapkan setiap tahun berdasarkan KHL dengan memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi serta dihitung dengan menggunakan formula Upah minimum seperti ketentuan Pasal 44 ayat (2) PP No. 78 Tahun 2015 juncto Pasal 3 ayat (3) Permenaker 15 Tahun 2018 tersebut yaitu UMn=UMt+{UMt X (IF+∆PDB)} dimana UMt adalah Upah minimum tahun berjalan yang menurut Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak dinyatakan bahwa KHL terdapat dalam Upah Minimum berjalan artinya adalah bahwa UMt sama dengan KHL.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum bahwa selain wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) berlaku di seluruh kabupaten/kota dalam 1 (satu) wilayah propinsi, Gubernur juga dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berlaku dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota dan Upah Minimum berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang disebut dengan Upah Minimum Sektoral, yang terbagi menjadi Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Menurut ketentuan dalam Pasal 12 disebutkan bahwa Gubernur dapat menetapkan UMSP dan/atau UMSK berdasarkan hasil kesepakatan Asosiasi Pengusaha pada Sektor dengan Serikat Pekerja pada Sektor yang bersangkutan. Selain itu, dalam penetapan UMSP dan/atau UMSK ini diawali dengan pelaksanaan kajian oleh dewan pengupahan mengenai variabel Kategori usaha sesuai KBLI 5 digit, Perusahaan dengan skala usaha besar, Pertumbuhan nilai tambah, dan Produktivitas tenaga kerja, berdasarkan kajian tersebut, Dewan Pengupahan menetapkan ada atau tidaknya Sektor Unggulan. Apabila ada sektor unggulan, maka akan disampaikan kepada Asosiasi Pengusaha pada Sektor untuk merundingkan perihal perusahaan yang masuk kategori sektor unggulan dan nominal upah sektoralnya. Jika tidak ada sektor unggulan menurut Permenaker tersebut, maka Gubernur tidak dapat menetapkan upah sektoral.
Terkait dengan hal tersebut untuk menghindari konflik tahunan antara Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan Pengusaha, Asosiasi Pengusaha dan Pemerintah di Jawa Timur sudah ada terobosan Hukum baru untuk menghindari konflik tersebut yaitu melalui Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan. Pada Perda No.8 tahun 2016 tersebut dalam Pasal 59 ayat (4) disebutkan bahwa dalam hal di Kabupaten/Kota tidak memiliki asosiasi sektor pengusaha dan/atau asosiasi sektor pekerja, maka penetapan Upah Minimum Sektoral ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Jadi ada atau tidak ada asosiasi sektor maupun ada atau tidak ada kesepakatan antara Asosiasi Pengusaha pada Sektor dengan Serikat Pekerja pada Sektor usaha pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur berdasarkan Perda tersebut UMSK masih dapat ditetapkan oleh Gubernur Jawa Timur. Bahkan pada tanggal 22 Juli 2019 Gubernur Jawa Timur telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 560/15006/012/2019 perihal Usulan UMSK Tahun 2020 yang isinya sama dengan Perda No.8 tahun 2016 tersebut.
Lebih dari pada itu pada Permenaker No.21 Tahun 2018 dalam pasal 14 ayat (3) huruf b menyebutkan apa bila tahun sebelumnya sudah diberlakukan upah sektoral, pada sektor unggulan namun pada tahun berikutnya sektor unggulan tersebut sudah tidak menjadi sektor unggulan lagi, maka pemberlakuan upah dilaksanakan dengan melihat mana yang lebih besar. Apabila lebih besar upah sektoral tahun sebelumnya daripada upah minimum tahun berikutnya, maka pemberlakuan upah menggunakan upah sektoral tahun sebelumnya. Namun apabila lebih besar upah minimum tahun berikutnya dari pada upah sektoral tahun sebelumnya, maka upah yang diberlakukan adalah upah minimum tahun berikutnya tersebut. Dan untuk mengubah satu sektor dari yang sudah menjadi unggulan kesektor yang tidak menjadi unggulan, harus ada kajian kembali dari Dewan Pengupahan.
Mekanisme Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota
Sesuai Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa “pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”. Dalam Pasal 89 ayat (1) dinyatakan bahwa “upah minimum dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau Kabupaten/Kota; dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau Kabupaten/Kota“. Upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Yang dimaksudkan dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak ialah setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan tahapan pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup layak yang besarannya ditetapkan oleh Menteri. Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena kebutuhan hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha. Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/WaliKota. Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak sebagaimana telah dicabut dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 21 tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kecuali untuk Pasal 2 dan Lampiran I Permenaker tersebut.
Kebutuhan hidup layak terdiri dari komponen dan jenis kebutuhan sebanyak 60 (enam puluh) komponen sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri Nomor 13 tahun 2012. Namun pasca diberlakukannya PP No. 78 Tahun 2015 dan Permenaker No.21 Tahun 2016 survei tidak lagi dilakukan setiap tahun secara berkala oleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota, tetapi akan dikaji ulang setiap 5 (lima) tahun sekali oleh Menteri dengan memperhatikan dan mempertimbangkan rekomendasi Dewan Pengupahan Nasional dan Badan Pusat Statistik Pusat. Hal inilah yang mengakibaatkan konflik dan pergerakan unjuk rasa tahunan menjelang penetapan UMP, UMSP, UMK dan UMSK dihampir semua daerah di Indonesia dan bahkan gelombang unjuk rasa dengan tuntutan agar Pemerintah segera merevisi atau mencabut PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan beserta peraturan-peraturan turunannya.
Dahulu sebelum berlakunya Permenaker No. 21 Tahun 2016 tentang KHL saat Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota melakukan survei, Responden yang dipilih adalah pedagang yang menjual barang-barang kebutuhan secara eceran. Untuk jenis-jenis barang tertentu, dimungkinkan memilih responden yang tidak berlokasi dipasar tradisional, seperti meja/kursi, tempat tidur, kasur dan lain-lain. Penyedia jasa seperti tukang cukur/salon, listrik, air dan angkutan umum. Pemilihan responden perlu memperhatikan kondisi sebagai berikut:
a. Apakah yang bersangkutan berdagang pada tempat yang tetap/permanen/tidak berpindah-pindah;
b.Apakah yang bersangkutan menjual barang secara eceran;
c. Apakah yang bersangkutan mudah diwawancarai,jujur dan;
d. Responden harus tetap/tidak berganti-ganti.
Data harga barang dan jasa diperoleh dengan cara menanyakan harga barang seolah–olah petugas survei akan membeli barang, sehingga dapat diperoleh harga yang sebenarnya (harus dilakukan tawar menawar). Survei dilakukan terhadap tiga orang responden tetap yang telah ditentukan sebelumnya. Namun setelah Permenaker No. 21 Tahun 2016 tentang KHL diberlakukan survei itu sudah tidak ada gunanya lagi meskipun tetap dilakukan dibeberapa daerah karena menurut Permenaker tersebut data peninjauan kembali KHL setiap 5 (lima) tahun sudah disampaikan langsung oleh Menteri kepaga Gubernur.
Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh Terhadap Hak Atas Upah
Prinsip-prinsip perlindungan hukum harus didahulukan, karena atas dasar prinsip, baru dibentuk sarananya, karena tanpa dilandaskan pada prinsip, pembentukan sarana menjadi tanpa arah. Dalam merumuskan prinsip perlindungan hukum, landasan pijak kita adalah Pancasila sebagai dasar ideologi dan sumber dari segala sumber hukum sesuai diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa “konsep perlindungan hukum di Barat bersumber pada konsep-konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi dan konsep-konsep rechtsstaat dan the rule o flaw”. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa “konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan konsep rechtsstaat dan the rule of law menciptakan sarananya”. Dengan demikian menurut beliau, bahwa “pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan subur dalam wadah rechtsstaat atau the rule of law, sebaliknya akan gersang didalam negara -negara dictator atau totaliter.
Prinsip perlindungan hukum bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hak asasi manusia berkaitan dengan tuntutan-tuntutan yang dipertahankan yang dikenal sebagai tuntutan hak. Tuntutan-tuntutan itu bukan hanya merupakan aspirasi atau pernyataan moral, tetapi bahkan merupakan tuntutan-tuntutan hukum berdasarkan hukum tertentu yang dapat diterapkan.
Dalam dinamika perlindungan pekerja/buruh terhadap upah minimum bahwa upah minimum telah diatur mulai adanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/MEN/1989 tentang Pengertian Upah Minimum; Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 02/MEN/1990 tentang Perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/MEN/1989 tentang Pengertian Upah Minimum; Peraturan Menteri Tenaga Kerja NomorB490/M/BW/1990 tentang Pelaksanaan Upah Minimum; Keputusan Menteri Tenaga Kerja NomorKEP-582/MEN/1990 tentang Penyesuaian Penetapan Upah Minimum Dengan Harga Konsumen; Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor B.407/M/BW/1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Minimum; Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1996 tentang Upah Minimum Regional; Peraturan Menteri Tenaga Kerja NomorPer-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.226/MEN/2000, setelah diberlakukannya PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dalam Pasal 64 dinyatakan bahwa Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya contra legem, sehingga menimbulkan permasalahan menjelang penetapan Upah minimum yang disebabkan oleh perbedaan penafsiran oleh stakeholder dalam menentukan rekomendasi dan usulan Upah Minimum.
Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota merupakan kebijakan hukum Pemerintah dalam upaya melindungi hak dasar pekerja/buruh. Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota tersebut didasarkan pada kebutuhan hidup layak yang terdapat dalam Upah Minimum tahun berjalan dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang setiap tahunnya selalu berubah, sesuai dengan perubahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Perlindungan terhadap upah minimum tersebut secara yuridis mengalami perubahan sesuai dinamika perubahan yang terdapat dalam masyarakat.
Sanksi hukum bagi pengusaha yang tidak melaksanakan Upah Minimum tidak diatur dalam PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum, tetapi diatur dalam Pasal 185Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 185 dinyatakan diantaranya adalah bahwa, Perusahaan yang membayar Pekerja/Buruh dibawah ketentuan Upah Minimum dikenakan sanksi pidana penjara dan/atau denda dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana kejahatan.
Permasahan Pengupahan dan Pemecahannya
Dalam dinamika penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) oleh Gubernur di Jawa Timur setiap tahun selalu didahului dengan gelombang unjuk rasa oleh Pekerja/Buruh di Jawa Timur, hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor yang memicunya antara lain adalah:
- Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan tentang penupahan;
- Upah Minimum yang ditetapkan dan seharusnya dijadikan sebagai jaring pengaman dan berlaku hanya untuk pekerja/buruh lajang dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun berubah menjadi upah standar yang diberlakukan untuk semua pekerja/buruh baik lajang maupun berkeluarga dan baik yang masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun maupun diatasnya, dan masih dapat ditangguhkan, hal inilah yang memicu pekerja/buruh selalu menuntut kenaikan Upah Minimum tinggi;
- Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan (60 item sebagaimana Permennaker No.13 Tahun 2012 belum mencerminkan kebutuhan riil & faktual apa lagi pasca berlakunya PP No.78 Tahun 2015 kebutuhan minimum diturunkan dari kebutuhan minimum jasmani dan rohani ke kebutuhan minimum fisik saja;
- Besaran Upah Minimum rata-rata Nasional masih dibawah KHL;
- Upah Minimum ditetapkan berdasarkan Inflasi dan Pertumbuhan ekonomi secara Nasional dan KHL baru ditinjau 5 (lima) tahun sekali oleh Menteri dengan rekomendasi Dewan Pengupahan Nasional dan Badan Pusat Statistik Pusat;
- Mayoritas stake holder Pengupahan tidak memahami regulasi pengupahan secara komprehensif, Perwakilan Apindo tidak memiliki otoritas sebagai decesion maker karena rata-rata mereka hanya HRD dan Keterwakilan SP/SB kecil tidak ada, karena tidak lolos verifikasi keanggotaan, sehingga aspirasi tidak tersalurkan;
- Pelaksanaan struktur dan skala upah untuk pekerja/buruh berkeluarga dan dengan masa kerja lebih satu tahun belum diterapkan sepenuhnya;
- Kenaikan harga barang dan jasa terus berlangsung setiap tahunnya;
- Regulasi yang mengarah kepada kebijakan Upah Murah seperti tahun Permennaker No.15 Tahun 2018 Tentang Upah Minimum dan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Permennaker No. 21 Tahun 2016 tentang KHL.
Terhadap permasalahan Pengupahan diatas ada beberapa cara pemecahannya yang mungkin masih perlu kita diskusikan dan kita bahas bersama dalam rangka cipta kondisi Jawa Timur yang kondusif menjelang penetapan Upah Minimum pada setiap tahun, diantaranya adalah:
- Revisi lampiran I Permennaker No.13 Tahun 2012 tentang 60 (enam puluh) item KHL baik secara kuantitas maupun kualitas menjadi 84 (delapan puluh empat) item KHL berdasarkan kebutuhan faktual;
- Penggunaan “pedoman survei dan pengolahan data KHL” dengan pengguna regresi untuk bulan-bulan yang belum disurvei;
- Besarnya UMP/UMK adalah KHL hasil regresi ditambah proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai ditingkat regional;
- Dengan tingkat inflasi yang berubah-ubah setiap tahun maka KHL harus tetap ditinjau setiap tahun untuk mempertahankan daya beli para pekerja;
- Upah minimum tidak boleh ditangguhkan karena sebagai jaring pengaman bagi pekerja kurang satu tahun dan lajang, sebagai tanggungjawab negara agar tak ada pekerja formal yang miskin secara absolut serta Upah Minimum tidak bisa dikaitkan dengan produktifitas, yang seharusnya dikaitkan dengan produktivitas adalah struktur dan skala upah.
- Harus ada pembekalan khusus kepada perwakilan stake holder dalam Dewan Pengupahan, dan perwakilan Apindo harus memiliki otoritas sebagai pengambil keputusan, serta harus ada pengaturan dari Dinas Tenaga Kerja agar SP/SB yang tidak lolos verifikasi dapat berkoalisi ditingkat bawah untuk meloloskan keterwakilannya.
- Harus ada regulasi yang mewajibkan dan sanksi bagi para pengusaha yang tidak menerapkan struktur skala Upah bagi pekerja diatas satu tahun ditingkat perusahaan.
- Perbaiki dan tinjau ulang PP No.78 Tahun 2015 dan Permennakertrans No.21/2016 serta Permennakertrans No.15 Tahun 2018;
- Bila perlu semua pihak mendorong agar Pemerintah membuat Undang-Undang Khusus Pengupahan yang pembahasannya melibatkan seluruh stake holder terkait dengan pengupahan itu.