Ketua FSP KEP SPSI Abdullah: Awak Kabin Garuda Harus Dapat Upah yang Layak

by -124 Views

JAKARTA — Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI) menggelar rapat kerja (Raker) hari kedua di RA Residence, Jakarta Selatan, Selasa (18/9/2019). Agenda Raker pada hari kedua ini antara lain membahas terkait Skala Upah PP 78/2015. IKAGI mengudang Ketua Umum PP Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan pertambangan serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI), R. Abdullah, dalam pembahasan upah dengan tema ‘Upah Dengan Segala Aspeknya’.

Dalam paparannya, R. Abdullah mengatakan pembahasan upah dikupas dari aspek filosofi, normatif, dan empirik serta sebagian dari akademik. Ketentuan upah sudah diatur lama oleh para pendiri bangsa dengan tersematkan di Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Upah diberikan kepada pekerja dengan agar dapat mencukupi kebutuhan pandang, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan tabungan.

Kemudian, pemerintah mengatur lebih lanjut dalam UU No. 13 Tahun 2003, yakni di Pasal 1 Ayat (30) dan Pasal 88 Ayat (1) yang berbunyi: “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang layak”. Dalam Surat Edaran (SE) Nomor 07 MEN 1990 tentang Pengelompokan Upah, disebutkan bahwa upah terdiri empat kategori, yakni (1) Upah Pokok, (2) Tunjangan Tetap, (3) Tunjangan Tidak Tetap, dan (4) Fasilitas. Sedangkan Kriteria Upah dibagi dalam tiga bagian; yaitu (a) Upah Harian, (b) Upah Bulanan, dan (c) Upah Borongan.

Penetapan upah yang layak, kata R. Abdullah, adalah berdasarkan pada KHL, Suplay Demand, Kemampuan Perusahaan, Inflasi dan PDB, serta terakhir yakni Perusahaan Marginal maupun Political Will Pemerintah. “Penetapan besaran pengupahan di masing-masing perusahaan biasanya dipengaruhi dua faktor, yakni faktor eksternal dan internal,” ujar R. Abdullah di hadapan 18 peserta Raker IKAGI, yang antusias mendengarkan paparan.

Faktor eksternal terdiri dari (1) Kebijakan pemerintah, (2) Jumlah angkatan kerja dengan pencari kerja, (3) Biaya hidup masyarakat sekitar, dan keempat adalah Upah perusahaan sejenis/sekitar. Sedangkan, pengaruh faktor internal bisa dibagi dengan (1) Policy pengusaha, (2) Tingkat pendidikan pekerja, (3) Masa kerja pekerja, (4) Jabatan dan kompetensi pekerja, (5) Kemampuan ekonomi perusahaan, serta terakhir yakni Struktur dan skala upah. “Poin utama dalam penentuan besaran upah ada pada daya runding serikat pekerja. Kalau daya runding bagus, maka besaran upah pekerja bisa didapat sesuai harapan, begitu sebaliknya. Maka dari itu, keberadaan serikat pekerja sangat penting di masing-masing perusahaan, khususnya perusahaan Garuda Indonesia,” terang Abdullah.

Dalam kesempatan penting tersebut, R. Abdullah, memberikan rekomendasi struktur dan skala upah kepada IKAGI yang bisa disampaikan kepada manajemen perusahaan. Poin Rekomendasi terdiri dua poin; yakni (A) Agar perusahaan segara melaksanakan: (1) Pedoman penetapan upah masing-masing pekerja, (2) Mengurangi kesenjangan antara upah terendah dengan upah tertinggi, (3) Memberikan penghargaan terhadap masing-masing pekerja, atas dasar kontribusinya kepada perusahaan. Poin (B) adalah Perusahaan harus menciptakan keadilan bagi pekerja. “Jika kedua poin tersebut dijalankan perusahaan, maka akan terwujud peningkatan produktivitas dan menciptakan kelangsungan usaha perusahaan,” jelas R Abdullah, yang dibenarkan seluruh peserta Raker IKAGI.

R Abdullah juga memberikan dukungan kepada IKAGI agar memperjuangkan Hak Skala Upah yang sudah diperjuangkan sejak tahun 2005. “Kita harus berjuang bersama. Jangan di satu lini. Artinya kita harus wujudkan amanat konstitusi bahwa kita berhak memperoleh upah yang layak bagi kemanusiaan,” kata R. Abdullah. Menurutnya, serikat pekerja memiliki tahapan negoisasi kepada perusahaan agar hak skala upah bisa dipenuhi perusahaan. R. Abdullah menekankan pentingnya Serikat Pekerja IKAGI untuk melakukan pertemuan rutin dengan Serikat Pekerja di bagian lain di lingkungan Garuda Indonesia. “Target akhir upah layak adalah terwujudnya hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan,” tegasnya.

Sekadar informasi, IKAGI sudah berulang kali meminta adanya sistem Skala Upah terkait gaji pokok awak kabin sejak tahun 2000-an. Namun tahun 2005 mengalami deadlock alias mandek, sehinggan hanya diambil sikap pokok kerja. Ketua IKAGI, Zaenal Muttaqin, mengatakan pembahasan skala upah telah disuarakan olah IKAGI pada era 2000-an untuk memastikan adanya sistem skala upah terkait gaji pokok di awak kabin Garuda Indonesia. “Pada tahun 2005 kita deadlock dan sampai sekarang skala upah ini terus dan masih kami perjuangkan,” kata Zaenal di sela-sela Raker di Jakarta, Selasa (18/9/2019).
Sekadar diketahui, jumlah awak kabin PT Garuda Indonesia (Persero) mencapai 3.150 orang per bulan Juli 2018. Gaji yang diterima sebesar Rp 3,68 juta per bulan. Padahal, besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jakarta adalah sebesar Rp 3,9 juta per bulan dan di Bekasi sebesar Rp 4,2 juta per bulan. “Di Garuda Indonesia, besaran gaji awak kabin berbeda-beda, ada yang berdasarkan UMP, ada juga yang maunya perusahaan. Yang maunya perusahaan itu pekerja kontrak denngan gaji sekitar Rp 2,5 juta per bulan selama beberapa bulan. Kemudian ditambah jam terbang 45 ribu jam terbang. Sistem gaji di Garuda Indonesia itu seperti mengikuti valuta asing,” papar Zaenal.

Sementara itu, pada sesi hari terakhir Raker IKAGI di RA Residence, Jakarta membahas tentang propgram kerja IKAGI periode 2018-2021. Berikut program kerja IKAGI periode 2018-2021. Pertama, Memantapkan Keberadaan Organisasi. Kedua, Konsolidasi Organisasi. Ketiga, Peningkatan Kesejahteraan Anggota. Keempat, Sumber Daya Manusia. Kelima, Kepedulian Lingkungan. Keenam, Kemitraan dengan Perusahaan. Ketujuh, Informasi dan Publikasi. Kedelapan, Current Issue. (Tim Media FSPKEP SPSI/Zaky) ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *