JAKARTA– Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) hari ini resmi mengajukan uji formil dan uji materiil secara terbatas terhadap UU 11/2020 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
Gekanas merupakan sebuah organisasi aliansi yang terdiri dari serikat pekerja/serikat buruh, peneliti, praktisi hukum, akademisi dan LSM yang berfokus pada isu kesejahteraan sosial dan ketenagakerjaan.
Presidium Gekanas, Indra Munazwar mengatakan, dasar pengajuan gugatan ini dikarenakan subtansi materi yang dimuat di dalam UU Cipta Kerja sarat kepentingan pihak tertentu dan banyak merugikan bagi sisi pekerja.
“Beberapa permasalahan yang akan menjadi materi gugatan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja akan terpusat dalam persoalan ketenagalistrikan dan ketenagakerjaan yang merupakan sebagian besar masalah di dalam materi undang undang tersebut,” beber Indra dalam siaran pers, Senin (7/12/2020).
Terkait permasalahan ketenagalistrikan karena merupakan salah satu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945. Penegasan ketentuan yang dimaksud pun telah dikukuhkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor: 111/PUU-XIII/2015.
“Artinya secara prinsip, sektor ketenagalistrikan harusnya dikuasai oleh negara secara penuh. Namun pada kenyataannya, melalui UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, negara malah membiarkan pihak swasta dapat menguasainya secara penuh,” jelasnya.
Masuk ke dalam sumber masalah utama yakni permasalahan ketenagakerjaan, Gekanas berpendapat penyederhanaan dan kemudahan berinvestasi yang diatur dalam UU Cipta Kerja menyimpan banyak masalah yang berpotensi menimbulkan pertentangan terhadap UUD 1945. Beberapa permasalahan tersebut antara lain seperti aturan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang tidak diwajibkan memiliki sertifikat kompetensi internasional sesuai yang dibutuhkan oleh pengguna. Hal tersebut diatur di dalam pasal 42 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
“Belum lagi terkait penghapusan batasan waktu untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan menyerahkannya kepada “daulat pasar” sebagaimana diatur dalam Pasal 59 angka UU 11/2020. sehingga hal ini dapat berpotensi menghilangkan atau mengurangi “Kedaulatan Negara” untuk melindungi hak konstitusional rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945,” tutur Indra.
Permasalahan lainnya terkait alih daya tenaga kerja yang nantinya akan disediakan oleh Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PPJTK) yang bertindak sebagai labor supplier (pemasok tenaga kerja) kepada perusahaan pengguna tenaga kerja tersebut.
“Apabila antara tenaga kerja yang akan dipasok tidak mempunyai ikatan hubungan kerja dengan perusahaan pemasok, baik dalam bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (PPP), maka hal ini akan berpotensi menjadi perdagangan orang (human trafficking) secara terselubung dan melanggar UU 21/2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.,” urainya.
Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) juga menjadi sorotan Gekanas. Biasanya KHL dilakukan secara rutin setiap tahunnya sebagai dasar untuk menetapkan besaran upah minimum pada tahun yang akan datang sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 89 UU Existing. Dengan dihilangkannya survei tersebut, maka persoalan yang akan muncul adalah hilangnya rasionalitas upah minimum terhadap KHL sekaligus menghilangkan upah minimum sebagai jaring pengaman atas kemampuan daya beli upah untuk memenuhi KHL pada tahun yang akan datang.
Maka dengan menurunnya kemampuan daya beli atas upah minimum dapat berpotensi meningkatkan angka kemiskin bagi masyarakat pekerja/buruh yang tengah bekerja. Indra menegaskan, hal ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Jo. Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
“Oleh karena itu, dengan diajukannya gugatan formil dan materil UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Gekanas berharap masih ada keadilan yang didapatkan bagi para pekerja terlebih masyarakat Indonesia secara umumnya dan luas,” terang Indra.
Selain itu, kata Indra, membuka mata negara bahwa kepentingan rakyat berada di atas segalanya. Terlebih, mengingat kedudukan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja sangat rendah derajatnya dibandingkan dengan UU 13/2003 yang merupakan karya besar tentang ketenagakerjaan pasca reformasi. (sumber :indosinpo.com)