PANDANGAN DAN SIKAP GEKANAS TERHADAP RUU CIPTA KERJA – KLASTER KETENAGAKERJAAN

by -144 Views

GEKANAS telah melakukan pengkajian mendalam dengan membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta Kerja – Klaster Ketenagakerjaan yang terkait dengan revisi:

  1. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
  2. UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; dan
  3. UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Dari hasil kajian tersebut, ditemukan bukti-bukti bahwa RUU Cipta Kerja ini:

  1. Menyimpang dari Pancasila;
  2. Berindikasi kuat melanggar Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. Bertentangan dengan perundang-undangan terkait, dan Konvesi ILO;
  4. Pemerintah tidak mematuhi kaidah-kaidah Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  5. Dalam pembuatan RUU Cipta Kerja, Pemerintah sama sekali tidak melibatkan masyarakat – termasuk serikat pekerj/serikat buruh sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Gagasan dan semangat yang diusung dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagaimana konsideran menimbang huruf (a), (b) dan (c) RUU Cipta Kerja adalah untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak melalui cipta kerja, menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya, dan meningkatkan perlindungan dan kesehatan pekerja, akan tetapi dalam batang tubuh RUU Cipta Kerja justru menghilangkan dan/atau menghapus hak-hak konstitusional warga negara.

Semangat tersebut didukung dengan maksud dan tujuannya dibentuknya RUU Cipta Kerja dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 RUU CK, sepertinya Pemerintah betul-betul ingin:

  1. mewujudkan terpenuhinya hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak;
  2. terserapnya tenaga kerja Indonesia seluas-luasnya;
  3. meningkatkan perlindungan dan kesehatan pekerja/buruh;
  4. meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
  5. memberikan perlindungan bagi pekerja dengan PKWT, pekerja alih daya, dan perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah minimum, serta perlindungan bagi yang terkena PHK.

Tapi nyatanya, keinginan tersebut sangat bertolak belakang dengan batang tubuh RUU CK itu sendiri. Tidak dijumpai pasal atau ayat yang menunjukkan suatu ketentuan yang benar-benar bertujuan meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja/buruh. Bahkan RUU Cipta Kerja ini diperburuk dengan makin banyaknya regulasi turunan sehingga menambah banyaknya regulasi (hyper Regulation). Khusus Klaster Ketenagakerjaan saja, tercatat ada 2 Peraturan Presiden dan 17 Peraturan Pemerintah yang justru akan semakin mempersulit arus investasi dan berpotensi mengurangi perlindungan kepada pekerja/buruh.

Dengan demikian peningkatan investasi yang diusung dalam RUU Cipta Kerja tidak ada hubungannya dengan penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja. Bahkan yang akan terjadi justru hilangnya hak-hak konstitusional warga negara.

Keberadaan Peraturan Perundang-Undangan di bidang Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk menyeimbangkan ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan kerja (antara tenaga kerja dengan pengusaha). Dengan alasan itu, maka tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan di antara keduanya dalam hubungan kerja. Pekerja/buruh relatif hanya memiliki bekal (kehendak) untuk bekerja, sedangkan pengusaha/majikan dapat menentukan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh tersebut untuk dapat diterima yang menjadikan adanya ketimpangan itu sendiri, sehingga peran hukum ketenagakerjaan menjadi penting guna meniadakan ketimpangan tersebut. Alih-alih memperkuat pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan yang selama ini tidak maksimal dilakukan, pasal-pasal baru yang ada dalam RUU Cipta Kerja justru membuat aturan yang semakin merugikan angkatan kerja dan pekerja/buruh Indonesia.

  1. PERUBAHAN DAN PENGHAPUSAN PASAL-PASAL DALAM UU KETENAGAKERJAAN.
    1. Ketentuan Mengenai Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
      1. Pasal yang diubah: Pasal 42, Pasal 45, Pasal 47, Pasal 49 UUK;
      1. Pasal yang dihapus: Pasal 43, Pasal 44, Pasal 46, Pasal 48 UUK.

Dengan diubah dan dihapusnya pasal-pasal tersebut dalam penggunaan tenaga kerja asing (TKA), secara umum bersifat menghilangkan tanggung jawab Negara dalam memberikan perlindungan kepada angkatan kerja dan pekerja/buruh Indonesia dari masuknya pekerja asing dengan leluasa. Bahkan justru Pemerintah memberikan “karpet merah” serta membuka peluang dan kesempatan sebebas-bebasnya kepada pekerja asing untuk dapat bekerja di Indonesia. Ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan TKA yang ada dalam RUU Cipta Kerja, jelas memberikan kemudahan TKA masuk ke Indonesia dengan menghapus berbagai persyaratan, antara lain menghilangkan kewajiban meminta izin kepada Menteri Tenaga Kerja, tanpa adanya syarat standar konpetensi TKA, tanpa batasan waktu penggunaan TKA maupun batasan jenis pekerjaan yang dapat ditempati oleh TKA, serta tidak ada kewajiban bagi TKA menghormati budaya Indonesia.

  • Ketentuan Mengenai Hubungan Kerja.Pasal yang diubah: Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 66 UUK;Pasal yang dihapus: Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 UUK.Pasal baru: Pasal 61A

Perubahan dan penghapusan pasal-pasal yang mengatur mengenai Hubungan Kerja dalam RUU Cipta Kerja, secara umum bersifat menghilangkan tanggung jawab Negara dalam memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh Indonesia dalam praktek hubungan kerja sehingga akan mengakibatkan kerugian bagi pekerja/buruh Indonesia. Demi dan atas nama investasi Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam memberikan dan menjamin perlindungan pekerja/buruh dalam hubungan kerja, sebagaimana yang diatur dalam RUU Cipta Kerja, yakni:

  1. Melegalkan praktik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi seumur hidup dan untuk semua jenis pekerjaan dengan menentukan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu berdasarkan kesepakatan para pihak. Hal ini akan mengakibatkan tidak akan terwujudnya asas kepastian kerja (job security) bagi pekerja/buruh, karena pada faktanya posisi pekerja/buruh selalu berada di bawah (inferior) pengusaha bahkan dimulai dari sebelum adanya hubungan kerja, sehingga tidak dimungkinkannya pekerja/buruh untuk memiliki status hubungan kerja tetap, karena pengusaha akan sangat mudah melakukan PHK terhadap pekerja/buruh;
  2. Aturan kompensasi kepada pekerja/buruh dengan PKWT yang diputus hubungan kerjanya hanyalah pemanis yang bersifat utopis karena disyaratkannya minimal masa kerja 1 tahun, sedangkan PKWT dibebaskan sebebasnya jangka waktu keberlakuannya berdasarkan kesepakatan para pihak;
  3. Menghilangkan ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lainnya, yang pada faktanya merupakan bentuk perlindungan Negara kepada pekerja/buruh dalam praktik pelaksanaan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lainnya yaitu berupa pembatasan jenis pekerjaan yang dapat diserahkan hanya sebatas pekerjaan penunjang yang sama sekali bukan termasuk dalam pekerjaan atau kegiatan utama, kepastian hak pekerja/buruh yang sama dan kepastian kerja pekerja/buruh. Terlebih penghilangan ketentuan ini sangat jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 yang mewajibkan adanya mekanisme TUPE (Transfer of Undertaking Protection of Employment) sebagai bentuk perlindungan hukum kepada pekerja;
  4. Membuat ketentuan baru yaitu “Alih Daya” yang jelas merupakan bentuk dari “Perbudakan Modern” (Modern Slavery) atau “Exploitat de l’homp var l’homp”. Memperdagangkan manusia untuk dijual kepada orang atau pihak lain. Dengan ketentuan ini akan sangat merugikan pekerja/buruh karena semua jenis pekerjaan dapat dialihdayakan, dan tidak lagi sebatas hanya pekerjaan penunjang malainkan termasuk di dalamnya pekerjaan atau kegiatan utama.
  • Ketentuan Mengenai Waktu Kerja.Pasal yang diubah: Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79 UUK;Pasal baru: Pasal 77A.

Perubahan pasal-pasal yang mengatur waktu kerja dalam RUU Cipta Kerja, secara umum bersifat menghilangkan tanggung jawab Negara dalam memberikan kepastian waktu kerja dan waktu istirahat kepada pekerja/buruh Indonesia yang berakibat:

  1. Hilangnya hari istirahat mingguan pekerja/buruh, sehingga RUU Cipta Kerja tidak melindungi aspek kesehatan kerja pekerja/buruh demi menjaga produktivitas pekerja/buruh;
  2. Menimbulkan ketidakpastian waktu kerja pekerja, karena pekerja/buruh menggantungkan waktu kerja kepada pengusaha yang memberikan perintah kerja kepada pekerja/buruh;
  3. Menambah batas maksimal jam lembur sehingga menimbulkan risiko kesehatan dan kecelakaan kerja karena kelelahan, terlebih sangat terkesan mementingkan kepentingan pengusaha tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan pekerja/buruh untuk istirahat/pemulihan, hidup sehat, bersosialisasi, berkumpul dengan keluarga dan tetangga sebagai mahluk sosial;
  4. Hilangnya hak istirahat panjang pekerja/buruh, dimana hal ini sangat merugikan pekerja/buruh yang selama ini telah mendapatkan hak istirahat panjang.
  • Ketentuan Mengenai Pengupahan.Pasal yang diubah: Pasal 88, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 98 UUK;Pasal yang dihapus: Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 96, Pasal 97 UUK;Pasal Baru: Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, Pasal 88E, Pasal 88F, Pasal 88G, Pasal 90A, Pasal 90B, Pasal 92A.

Perubahan, penghapusan serta penambahan pasal-pasal baru dalam RUU Cipta Kerja atas pasal-pasal yang mengatur mengenai Pengupahan, demi dan atas nama investasi Negara melepaskan tanggung jawabnya dalam memberikan dan menjamin bahwa upah yang diterima pekerja/buruh harus dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi kemanusiaan,

  1. Menghilangkan larangan pengusaha membayar upah di bawah upah minimum;
  2. Menghapus ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Sektoral yang merupakan bentuk perlindungan pengupahan yang sangatlah fundamental bagi pekerja/buruh;
  3. Melagalisasi kewajiban membayar upah berdasarkan kesepakatan serta upah berdasarkan satuan waktu. Upah berdasarkan satuan waktu jelas tidak memberikan kepastian bagi pekerja/buruh untuk mendapatkan penghidupan yang layak, dan mengaburkan prinsip no work no pay tanpa batasan syarat jelas keberlakuannya;
  4. Melahirkan norma baru dalam pengupahan yaitu Upah Minimum Padat Karya dimana nominalnya dapat lebih rendah dari Upah Minimum Provinsi. Jika ini terjadi jelas akan menyebabkan diskriminasi dan tidak terwujudnya penghidupan serta imbalan yang layak bagi pekerja/buruh yang bekerja pada industri padat karya;
  5. Menghilangkan fungsi serikat pekerja/serikat buruh untuk dapat merundingkan upah di atas upah minimum. Hal ini jelas melanggar hak dasar serikat pekerja/serikat buruh;
  6. Melahirkan norma baru dalam pengupahan yaitu upah pada usaha mikro dan kecil dimana nominalnya didasarkan pada kesepakatan para pihak, sehingga jelas pekerja/buruh pada usaha mikro dan kecil tidak dapat mewujudkan penghidupan serta imbalan yang layak.
  • Ketentuan Mengenai Pemumutusan Hubungan Kerja (PHK).Pasal yang diubah: Pasal 150, Pasal 151, Pasal 153, Pasal 156, Pasal 157, Pasal 160 UUK;Pasal yang dihapus: Pasal 152, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 158, Pasal 159, Pasal 161, Pasal 162, Pasal 163, Pasal 164, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 168, Pasal 169, Pasal 170, Pasal 171, Pasal 172 UUK;Pasal baru: Pasal 151A, Pasal 154A, Pasal 157A.

Dengan mengubah dan menghapus pasal-pasal mengenai PHK dalam UUK, menunjukkan bahwa Negara tidak lagi memandang bahwa PHK sebagai hal yang harus dihindari karena sangat berdampak pada penghidupan pekerja dan keluarganya.

Bagi pekerja/buruh, putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya. Sehingga untuk menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaum pekerja/buruh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Prinsip ini jelas tertuang dalam Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/ serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.”. Dengan demikian RUU Cipta Kerja telah:

  1. Menghilangkan prinsip utama PHK. Hal ini jelas berdampak pada hilangnya hak atas pekerjaan, dimana PHK dapat dilakukan dengan mudah. Negara dapat dianggap telah melepaskan tanggung jawabnya dalam melakukan perlindungan kepada pekerja/buruh;
  2. Menghilangkan hak dan kewenangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam melakukan pembelaan terhadap anggotanya yang terkena PHK;
  3. Mengurangi hak atas uang penghargaan masa kerja, dan menghilangkan uang penggantian hak antara lain berupa penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebagai salah satu hak pekerja/buruh yang mengalami PHK. Hal ini jelas merupakan degradasi dari perlindungan kesejahteraan bagi pekerja/buruh, dan merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab Negara dalam melindungi dan mensejahterakan pekerja/buruh.
  • Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif.Pasal yang diubah: Pasal 185, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 188, Pasal 190 UUK;Pasal yang dihapus: Pasal 184 UUK.

Dengan diubah dan dihapusnya ketentuan pidana dalam UU No. Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka Pemerintah tidak lagi memandang dan tidak lagi melihat bahwa ketentuan pidana dan sanksi administratif dalam hukum ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh agar hak-hak yang telah diatur dapat secara pasti terpenuhi. Karena nyatanya di dalam RUU Cipta kerja telah dengan jelas:

  1. Menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha yng membayar upah di bawah upah minimum. Hal ini jelas akan menyebabkan banyaknya praktik pembayaran upah di bawah upah minimum;
  2. Menghilangkan sanksi pidana terhadap kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberikan perlindungan kepada pekerja, hal ini jelas mengakibatkan tidak adanya perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja;
  3. Menghilangkan sanksi pidana kewajiban TKA untuk alih teknologi dan keahlian serta pendidikan dan pelatihan kerja, sehingga selamanya TKWNI tidak akan memiliki kesempatan meningkatkan kemampauannya maupun mendapatkan kesempatan alih teknologi;
  4. Menghilangkan sanksi pidana terhadap pelanggaran mempekerjakan pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, sehingga tidak ada lagi perlindungan dari Negara bagi pekerja/buruh perempuan yang dipekerjakan pada jam-jam tertentu tersebut;
  5. Menghilangkan ketentuan pidana serta mengubahnya menjadi sanksi administratif dalam RUU Cipta Kerja membuktikan Negara hanya berorientasi pada Investasi, dan melepaskan tanggung jawabnya melindungi pekerja/buruh guna dapat mewujudkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
  • PERUBAHAN PASAL-PASAL DALAM UU SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (UU SJSN) DAN UU BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (UU BPJS).
    • UU SJSN.
      • Pasal yang diubah: Pasal 18;
      • Pasal baru: Pasal 46A, Pasal 46B, Pasal 46C, Pasal 46D, Pasal 46E;
    • UU BPJS.
  • Pasal yang diubah: Pasal 6, Pasal 9.

Negara harus memandang Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang diselenggarakan secara nasional berdasar prinsip asuransi sosial bertentangan dengan prinsip jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan, maka menjadi tanggung jawab negara memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Oleh karena itu ketika warga negara kehilangan pekerjaan maka menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan jaminan sosialnya. Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini bukan merupakan bentuk dari tanggung jawab negara terhadap rakyat yang sedang kehilangan pekerjaan, karena terjadi pembebanan dengan diwajibkannya pekerja/buruh mengiur, sehingga sesungguhnya yang terjadi pekerja/buruh yang menanggung diri sendiri. Terlebih gagasan dalam RUU Cipta Kerja tersebut secara faktual tidak konsisten dengan pemaparan Menko Perekonomian di DPR RI tanggal 12 Februari 2020 yang menyatakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan dilaksanakan dengan tidak menambah beban iuran pekerja/buruh dan pengusaha. 

Dari uraian tersebut di atas, maka nampak dengan jelas bahwa, Pemerintah dalam membuat RUU Cipta Kerja tidak tunduk dan tidak melaksanakan amanat Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia.

Cita-cita Bangsa Indonesia adalah membangun Negara yang berdaulat dari Sabang sampai Merauke demi tegaknya masyarakat adil dan makmur tanpa Exploitation de lhome par lhome hingga menjalin persahabatan dengan seluruh bangsa-bangsa untuk membangun tatanan dunia baru yang damai, adil, dan sejahtera tanpa Exploitation nation par nation sebagaimana disampaikan oleh Bung Karno, Proklamator dan Pendiri Bangsa Indonesia.

Jakarta, 10 Juni 2020.

Presidium GEKANAS :

  1. R. Abdullah (FSP KEP SPSI)
  2. Arif Minardi (FSP LEM SPSI)
  3. Indra Munaswar (FSPI)
  4. Bambang Surjono (FSP KEP-KSPI)
  5. Sofyan Abdul Latief (FSP PAR REF)
  6. Abdul Hakim A ( PPMI`98)
  7. Sudarto (FSP RTMM-SPSI)
  8. Roy Jinto F (FSP TSK-SPSI)
  9. Ferri Tunizar (FSP PPMI-KSPI)
  10. Zainal Muttaqin (IKAGI)
  11. Asep Salim Tamim (GOBSI)
  12. Bambang Eka (Gaspermindo)
  13. German E. Anggent (ELKAPE)
  14. Ari Lazuardi (PAKKAR)
  15. M. Fandrian H (AKADEMISI)