KEPTV | Jakarta, 18 November 2025 — Perwakilan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Siti Eni, menyampaikan kritik keras terhadap agenda hilirisasi dan transisi energi dalam sesi panel tematik Diskusi Publik “Hilirisasi, Globalisasi, dan Transisi Berkeadilan”. Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak berjalan sesuai narasi pemerintah dan justru memperburuk kondisi kerja buruh, terutama buruh perempuan yang berada pada posisi paling rentan.
Dalam paparannya, Eni menyoroti jurang besar antara cita-cita transisi energi dan realitas yang dihadapi kelas pekerja.
Buruh Masih Jadi Objek, Bukan Subjek Kebijakan
Menurut Eni, buruh hari ini masih dimarginalkan dalam penyusunan kebijakan transisi energi, khususnya buruh perempuan yang menghadapi diskriminasi berlapis. Meskipun serikat telah berkali-kali menuntut pelibatan pekerja, kenyataannya buruh hanya dijadikan objek program, bukan pengambil keputusan.
“Kita sering bicara buruh harus jadi subjek, bukan objek. Tapi faktanya, buruh terutama perempuan tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam pembuatan regulasi.”
Eni menyebut, lemahnya kesadaran kolektif dan menurunnya konsolidasi gerakan membuat buruh semakin sulit memperjuangkan haknya di tengah perubahan besar sektor industri.
Janji Manis Transisi Energi dan Hilirisasi Tidak Terbukti di Lapangan
Eni mengakui bahwa secara teori, transisi energi dan hilirisasi memiliki tujuan positif, seperti:
- menciptakan lapangan kerja baru,
- meningkatkan produktivitas,
- mendorong peningkatan upah,
- membuka peluang upgrading skill,
- menarik investasi pada manufaktur baterai dan kendaraan listrik.
Namun, menurutnya, semua janji itu bertolak belakang dengan realitas di lapangan.
“Yang dijanjikan adalah pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja berkualitas. Yang terjadi justru PHK massal, upah rendah, kontrak fleksibel, dan eksploitasi buruh perempuan.”
Persaingan Global dan Tenaga Kerja Murah Perburuk Kondisi Buruh Lokal
Eni menjelaskan bahwa hilirisasi yang terintegrasi dengan perdagangan global menciptakan persaingan ketat antarburuh, terutama akibat:
- masuknya tenaga kerja asing murah,
- praktik impor produksi,
- dan tekanan perusahaan untuk menekan biaya tenaga kerja.
Kondisi ini membuat buruh lokal semakin rentan mengalami:
- pemotongan upah,
- penghilangan hak,
- dan pelemahan posisi tawar serikat.
UU Cipta Kerja dan Kekosongan Regulasi Mempercepat Gelombang PHK Murah
Salah satu isu paling disorot Eni adalah dampak kekosongan hukum setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Ia menilai kekosongan ini justru dimanfaatkan oleh pengusaha untuk mempercepat PHK.
“Hari ini PHK massal terjadi di mana-mana pabrik, sawit, manufaktur. Dan PHK dilakukan dengan murah karena pengusaha memanfaatkan kekosongan aturan ketenagakerjaan.”
Eni menambahkan bahwa pembahasan regulasi ketenagakerjaan baru berjalan lambat dan tidak menjadi prioritas politik, sehingga buruh menjadi korban permainan kebijakan.
Buruh Perempuan: Kelompok Paling Terdampak dan Paling Terlupakan
Dalam bagian terpenting paparannya, Eni menegaskan bahwa transisi energi dan hilirisasi membawa dampak yang sangat besar bagi buruh perempuan.
1. Sistem Kontrak dan Outsourcing Menghapus Hak Maternitas
Karena banyak buruh perempuan berstatus:
- kontrak,
- outsourcing,
- harian lepas,
- pemagangan semu,
mereka rentan kehilangan hak dasar seperti:
- cuti haid,
- cuti hamil,
- cuti melahirkan.
“Begitu hamil, perempuan sering langsung diputus kontrak. Ini realita pahit buruh perempuan hari ini.”
2. Tidak Bisa Membentuk Serikat
Karena status kerja tidak tetap, banyak buruh perempuan tidak bisa mendirikan atau bergabung dalam serikat. Ini membuat mereka tidak memiliki perlindungan kolektif.
3. Risiko Kesehatan Reproduksi
Eni menyebut bahwa paparan panas ekstrem, kondisi kerja berat, dan lingkungan industri yang keras meningkatkan risiko:
- keguguran,
- gangguan menstruasi,
- kesehatan reproduksi jangka panjang.
“Kalau kita bicara Indonesia Emas 2045, bagaimana mungkin itu terwujud jika rahim perempuan pekerja tidak dilindungi?”
4. Tidak Ada Ruang Laktasi, Childcare, dan Fasilitas Aman bagi Pekerja Malam
Buruh perempuan sering bekerja malam tanpa transportasi aman, tanpa daycare, tanpa ruang laktasi memperburuk stres dan kualitas hidup mereka.
Gerakan Buruh Melemah, Pengusaha Semakin Agresif
Eni mengkritik turunnya mobilisasi serikat dalam isu strategis seperti regulasi ketenagakerjaan. Ia menilai bahwa lemahnya gerakan massa membuat pengusaha semakin leluasa mengatur permainan.
“Ketika anggota serikat berkurang, kekuatan kita melemah. Pengusaha makin berani mem-PHK dan menghapus hak-hak buruh.”
Ia menegaskan bahwa aksi non-litigasi harus tetap dikedepankan karena terbukti lebih efektif dibanding jalur hukum murni.
Kesimpulan: Hilirisasi Boleh Jalan, Eksploitasi Jangan Diabaikan
Di akhir pemaparan, Eni menyampaikan bahwa hilirisasi memang bisa membuka kesempatan ekonomi, tetapi wajib diiringi dengan perlindungan hak buruh terutama perempuan.
“Hilirisasi bisa membawa manfaat, tapi kalau buruh hanya dijadikan objek, kita hanya akan menerima derita, bukan sejahtera.”
Ia menegaskan bahwa gerakan buruh harus kembali berkonsolidasi agar dapat menentukan regulasi yang benar-benar berpihak pada pekerja dan rakyat.





