KEPTV | Jakarta, 18 November 2025 — Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar Cahyono, menegaskan bahwa transisi energi yang tengah berlangsung di Indonesia berpotensi melahirkan bentuk ketidakadilan baru apabila tidak dibangun atas landasan kedaulatan energi, perlindungan buruh, dan keterlibatan publik yang bermakna.
Dalam Diskusi Publik “Hilirisasi, Globalisasi, dan Transisi Berkeadilan untuk Buruh Indonesia”, Kahar memaparkan bagaimana Indonesia terjebak dalam arus transisi energi global yang lebih dikendalikan oleh kepentingan industri dan negara-negara besar, bukan oleh kepentingan rakyat pekerja.
Indonesia Hanya Jadi Pemasok Bahan Baku dalam Pertarungan Global Mineral Kritis
Kahar menyoroti posisi Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, namun tetap berada di rantai pasok paling bawah dalam industri energi terbarukan global. Menurutnya, hilirisasi mineral kritis yang digadang sebagai kunci transisi energi justru mengulang pola eksploitasi seperti era energi fosil.
“Eksploitasi yang dulu terjadi pada batu bara kini terulang di pertambangan nikel. Masyarakat lokal kembali menjadi korban, sementara nilai tambah tetap dinikmati pemain global,” ujar Kahar.
Ia menegaskan bahwa Indonesia hanya menjadi “median pertarungan”, bukan penentu arah transisi energi dunia.
Paris Agreement: Negara Didorong Mengurangi Emisi, Buruh Menanggung Beban
Menjelaskan dampak Paris Agreement, Kahar menyebut ada tiga poin krusial:
- Pembatasan kenaikan suhu global yang memaksa negara melakukan pengurangan emisi.
- Adaptasi teknologi dan energi baru yang membutuhkan investasi besar.
- Pendanaan transisi energi, yang menempatkan negara berkembang seperti Indonesia pada posisi bergantung pada teknologi dan utang.
“Kita tidak punya teknologi. Kita punya utang. Dan dalam berbagai mekanisme transisi energi, posisi buruh dan masyarakat lokal nyaris tidak diperhitungkan,” tegasnya.
Kedaulatan Energi Harus Dikembalikan ke Negara, Bukan Korporasi
Menekankan makna transisi energi bagi kelas pekerja, Kahar menggarisbawahi dua aspek utama:
- Aspek energi: energi adalah hak publik dan harus dikuasai negara sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
- Aspek ketenagakerjaan: buruh adalah pihak yang akan paling terdampak dan karena itu harus terlibat dalam perumusan kebijakan transisi.
“Energi bukan komoditas. Tidak boleh diperdagangkan demi keuntungan investor,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa harga listrik harus terjangkau dalam skema transisi energi, bukan justru semakin mahal akibat privatisasi dan liberalisasi sektor energi.
Dua Sisi Transisi: Pekerjaan yang Hilang dan Pekerjaan Baru yang Tidak Pasti
Kahar menilai narasi “jutaan pekerjaan hijau” yang sering dikampanyekan pemerintah dan lembaga internasional penuh ilusi. Pada kenyataannya, buruh menghadapi dua ancaman sekaligus:
1. Pekerjaan yang Hilang
- PHK akibat penutupan industri fosil.
- Hilangnya pendapatan dan munculnya pengangguran baru.
- Keterampilan lama menjadi tidak relevan.
- Proteksi jaminan sosial tidak memadai—JKP tidak mencakup buruh PKWT dan pekerja informal.
2. Pekerjaan Baru yang Tidak Menjamin Kesejahteraan
- Banyak pekerjaan baru bersifat outsourcing, kemitraan semu, atau fleksibel tanpa kepastian kerja.
- Upah rendah dan minim perlindungan.
- Pemagangan eksploitatif dijadikan dalih “upskilling”.
“Pekerjaan baru ternyata bukan pekerjaan layak. Sebaliknya, buruh dihadapkan pada bentuk-bentuk eksploitasi yang lebih fleksibel dan tidak aman,” jelasnya.
ILO: Transisi Harus Berbasis Dialog Sosial, Tetapi Di Indonesia Tidak Terjadi
Kahar menegaskan bahwa menurut standar ILO, transisi energi harus melibatkan buruh secara penuh mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Namun, dalam praktiknya, buruh hanya diposisikan sebagai objek sosialisasi.
“Tidak ada partisipasi yang bermakna. Buruh tidak diajak merumuskan kebijakan, padahal mereka yang paling terdampak,” tegasnya.
Rekomendasi: Partisipasi Bermakna, Perlindungan Sosial Seumur Hidup, dan Alih Teknologi
Kahar menawarkan tiga pilar untuk mewujudkan transisi energi yang adil bagi buruh:
1. Partisipasi Bermakna
Buruh, masyarakat lokal, dan konsumen harus dilibatkan secara substantif dalam perumusan kebijakan energi.
2. Pekerjaan Layak dan Dekat Lokasi
Pekerjaan baru harus muncul di wilayah yang kehilangan pekerjaan akibat penutupan tambang atau PLTU, bukan dipusatkan di Jawa atau kota besar.
3. Perlindungan Sosial Seumur Hidup
Bagi pekerja yang dipaksa berhenti demi kepentingan transisi energi global.
“Kalau buruh kehilangan pekerjaan karena negara menutup tambang demi menyelamatkan bumi, maka negara wajib menjamin kehidupannya,” tegasnya.
Kahar juga menekankan pentingnya alih teknologi agar Indonesia tidak sekadar menjadi pasar dan pemasok bahan mentah, tetapi dapat menguasai industri energi baru.
KSPI: Transisi Energi Harus Menempatkan Buruh sebagai Subjek, Bukan Korban
Menutup paparannya, Kahar mengingatkan bahwa tanpa strategi tenaga kerja yang jelas, peta keterampilan, roadmap pekerjaan hijau, dan mekanisme perlindungan sosial yang kuat, transisi energi di Indonesia hanya akan menambah lapisan ketidakadilan.
“Sampai hari ini, semuanya masih abu-abu. Transisi energi tidak boleh hanya bicara teknologi dan pasar. Transisi harus bicara manusia bicara buruh,” pungkasnya.





