Sidang pleno MK mengabulkan sebagian pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja. Namun implementasi putusan itu tampak ruwet bahkan sempat membingungkan masyarakat.
Masyarakat perlu monitoring ketat pelaksanaan putusan MK untuk menegakkan konstitusi dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Sekaligus perlunya sarana bagi pemohon seperti sistem pelaporan implementasi putusan yang tidak dijalankan oleh adressat putusan.
KEPTV NEWS – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja meskipun ada 4 hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan beberapa implikasi atas berlakunya UU tersebut. Sebab, proses penyusunan UU Cipta tidak memenuhi asas, metode, baku/standar, sistematika pembentukan peraturan.
Putusan MK tersebut menunjukkan betapa buruknya proses perumusan UU Cipta Kerja. Bila tidak ada putusan MK ini, maka praktik buruk ini bisa mendapat legitimasi dan terus berulang.
Ada beberapa hal yang termuat dalam amar putusan MK bernomor 91/PUU-XVIII/2020 ini. Pertama, menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Kedua, menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Kelima, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
DPR dan Pemerintah wajib mempelajari baik-baik pertimbangan putusan MK tersebut untuk memperbaiki proses legislasi dalam upaya memperbaiki UU Cipta kerja seperti yang diperintahkan MK.
Model Putusan MK
Putusan Perkara UU Cipta Kerja menbuka cakrawala publik terhahadap model putusan MK. Khususnya definisi tentang konstitusional bersyarat.
Menurut Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ada dua aspek yang perlu dipahami yakni :
1. Model putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di antaranya adalah: (1) model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku (Legally Null and Void); (2) model putusan konstitusional bersyarat (conditionally constititional); (3) model putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstititional); (4) model putusan yang menunda pemberlakuan putusannya (limited constitutional dan (5) model putusan yang merumuskan norma baru; 2. Implementasi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya. Implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku dan model putusan yang merumuskan norma bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing/self implementing), sedangkan baik model putusan konstitusional bersyarat maupun model putusan inkonstitusional bersyarat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non-self executing/implementing);
Melihat model-model amar putusan MK kecenderungan kedepan Mahkamah akan melahirkan model-model putusannya lain tergantung pada konteks perkara yang diajukan. Model putusan kedepan yang dapat dikembangkan dan lebih menitikberatkan pada penguatan aspek-aspek implementasi putusan MK.
Kebingungan masyarakat perlu diatasi dengan pembentukanlembaga monitoring pelaksanaan putusan Mahkamah untuk menegakkan konstitusi dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. sekaligus perlunya sarana bagi Pemohon seperti sistem pelaporan implementasi putusan yang tidak dijalankan oleh adressat putusan.
Kemenangan Babak Pertama
Jika dianalogikan dalam permainan sepak bola, maka keputusan MK yang bertepatan dengan Hari Guru Nasional itu baru kemenangan pada babak pertama, masih banyak hal yang mungkin terjadi pada babak kedua.
Pengujian formil UU Cipta Kerja yang dikabulkan ini adalah pertama dalam sejarah. Tidak mungkin MK bisa menolak lagi permohonan uji formil ini karena memang segala cacat formil yang didalilkan para pemohon cukup sederhana untuk dibuktikan di persidangan. Bahkan cukup kasat mata bagi publik, seperti tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan.
Meski dikabulkan, sebenarnya ini belum sebuah “kemenangan” akhir bagi pemohon karena UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai 2 tahun lagi.
Yang menjadi sedikit melegakan adalah karena tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana (PP dan Perpres yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat, red) dalam 2 tahun ini.
Tetapi inipun berarti, peraturan pelaksana yang sudah ada dan juga penuh kritik, pemerintah sudah barang tentu ngotot dan dengan berbagai cara tetap memberlakukan.
Oleh sebab itu para buruh terus melakukann tekanan dan memonitor ketat implementasi keputusan MK tersebut. Menurut keterangan serikat pekerja yang dihimpun oleh KEPTV NEWS, segenap burup tidak akan kendor dan terus melakukan aksi dan konsolidasi dalam menyikapi keputusan MK.
Terutama terkait langkah SP yang tegas dan lugas meminta kepala daerah untuk mengikuti perhitungan kenaikan upah berdasarkan aturan lama.Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menganggap UU Cipta Kerja inkonstitusional.
Serikat Pekerja menilai PP 36 2021 tentang Pengupahan sebagai dasar perhitungan kenaikan upah otomatis gugur kemudian diterapkannya regulasi lama dalam menghitung kenaikan upah minimum.
Menyikapi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, 25 November 2021 pihak Gekanas membuat pertimbangan seperti yang dituturkan Presidium Gekanas Indra Munaswar kepada KEPTV NEWS,
Menurutnya untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkannya membentuk *peraturan pelaksana baru* serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut.
Yang menjadi tidak jelas dari Putusan MK adalah dalam pertimbangan hukum angka [3.20.5] adalah frasa “tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru”.
Frasa ini dapat mengandung 2 (dua) makna atau arti :
Pertama; Frasa tersebut dapat dimaknai, karena UU ini terbukti telah inskonstitusional (bersyarat), maka tidak boleh ada peraturan pelaksana baru yg dibuat berdasarkan perintah dari UU MCK. Dengan demikian peraturan pelaksanaan yang baru terbentuk atas perintah UU MCK otomatis tidak berlaku.
Kedua ; Frasa tersebut dapat dimaknai bahwa terhitung sejak putusan MK tersebut diucapkan maka tidak boleh ada pembentukan peraturan pelaksanaan yang baru. Sedangkan yg terlanjur sdh ada, tetap aja berlaku.
Makna kedua inilah yg dipakai oleh Pemerintah. Seperti yg dinyatakan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers Kamis sore ( 25/11/2021)
Oleh karena itu, kita, GEKANAS, dan Kaum Buruh Indonesia belum bisa diam. “Kita sesegera mungkin mengambil langkah-langkah strategis, sistematis dan terukur,” tutur Indra. (*)