JAKARTA (BERITA PP) — Ketua Umum PP FSP KEP SPSI, R. Abdullah mendapat kehormatan diundang menghadiri acara ‘Indonesian Council Meeting With Valter Sanches, General Secretary of IndustriALL Global Union’ yang diikuti seluruh Serikat Pekerja yang sudah berafiliasi dengan IndustriALL Indonesia di Hotel Santika, Slipi, Jakarta, Rabu 9 Januari 2019.
Dalam kesempatan penting tersebut, R. Abdullah menyampaikan sejumlah informasi perkembangan serikat pekerja/serikat buruh secara langsung kepada Sekretaris Jenderal (Sekjend) IndustriALL Global Union, Valter Sanches. Poin pertama yang disampaikan R. Abdullah adalah kondisi serikat pekerja di Indonesia. Intinya, bahwa tren serikat pekerja di Indonesia merupakan kebalikan dari tren serikat pekerja di internasional. Jika sejumlah serikat pekerja di dunia melakukan konsolidasi dengan meleburkan diri (bergabung) menjadi satu yakni menjadi IndustriALL Global Union.
Sebaliknya kondisi di Indonesia, ujar R. Abdullah, justru serikat pekerja dari satu serikat pekerja menjadi 117 serikat pekerja tingkat nasional berbentuk federasi dengan jumlah konfederasi tidak kurang dari 13 konfederasi serikat pekerja yang bersifat National Center. Disamping itu, jumlah anggota di tingkat perusahaan (plant level) tidak bertambah. Bahkan jumlah anggotanya berkurang dari sekitar 7 juta tenaga kerja saat ini hanya tinggal 2,7 juta pekerja yang tergabung di serikat pekerja di seluruh Indonesia. Dengan demikian, maka bentuk serikat pekerja Indonesia bagaikan Piramida Terbalik. Sehingga serikat pekerja Indonesia sangat tidak ideal sebagaimana standar-standar serikat pekerja Internasional, yaitu National Center yang sedikit, namun jumlah anggotanya banyak. “Dengan kata lain, pertumbuhan serikat pekerja begitu banyak namun jumlah anggotanya terus menyusut (total dari gabungan anggota semua serikat pekerja di Indonesia, red),” katanya.
Persoalan kedua, kata R. Abdullah, adalah kebebasan berserikat yang diatur di dalam UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dalam peraturan ini, memungkinkan kemudahan mendirikan serikat pekerja meski hanya beranggotakan 10 orang. Bahkan, regulasi ini membolehkan di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja. “Kondisi ini akan menjadi bumerang bagi organisasi, karena mengakibatkan munculnya hiperkompetisi sesama serikat pekerja di tingkat pabrik/lingkungan perusahaan. Pada akhirnya, antar serikat pekerja tidak solid,” bebernya. Lemahnya bargining position (posisi tawar) tersebut terkait pembuatan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) maupun perjuangan serikat pekerja membela kepentingan dan hak pekerja.
Munculnya hiperkompetisi ini, menurut R. Abdullah, mengakibatkan bargaining position (posisi tawar) dari serikat pekerja menjadi lemah di hadapan Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKST) yang terdiri dari perwakilan pemerintah, perwakilan pengusaha dan serikat pekerja yang mewakili para pekerja. “Dari tiga unsur ini, posisi serikat pekerja selalu lemah,” ujarnya. Contohnya, ketika serikat pekerja melakukan aksi perundingan, cenderung tidak didengar pihak pengusaha maupun pemerintah. Dengan lemahnya posisi serikat pekerja, maka produk-produk hukum ketenagakerjaan tidak berpihak kepada kepentingan kaum pekerja/buruh.
LKST adalah forum komunikasi dan konsultasi antara pemangku kepentingan tripartit (serikat pekerja, pengusaha dan Pemerintah) untuk komunikasi, konsultasi dan pertimbangan. Ditujukan untuk memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi kepada Pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan dan pemecahan masalah. LKST dapat didirikan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kotamadya, serta tingkat sektoral. Anggota LKST dipilih untuk masa jabatan tiga tahun. LKST nasional terdiri dari 15 wakil pemerintah, 15 wakil pengusaha dan 15 wakil serikat pekerja. Di tingkat provinsi, masing-masing unsur mempunyai 9 orang wakil dan di tingkat kabupaten/kota, masing-masing unsur mempunyai 7 wakil.
Kode Etik Serikat Pekerja
Untuk menyelesaikan permasalahan hiperkomptisi di antara para serikat pekerja di satu perusahaan, R. Abdullah memberikan solusi. Yakni perlunya disusun Code of Conduct atau Kode Etik Serikat Pekerja di dalam Afiliasi IndustriALL (berjumlah 11 Federasi Serikat Pekerja). Isi Code of Conduct antara lain: (1) Membangun Soliditas dan Solidaritas Sesama Afiliasi IndsustriALL. (2) Tidak saling rebutan anggota di sebuah perusahaan (tidak membentuk serikat pekerja baru di perusahaan yang sudah ada serikat pekerja lebih dahulu). (3) Membuat agenda bersama untuk memperjuangkan norma-norma kerja dan perlindungan pekerja yang lebih berpihak kepada kepentingan kaum pekerja/buruh.
Selanjutnya, R. Abdullah menyampaikan persoalan ketiga. Yakni, permasalahan upah minimum yang dinilai masih belum fair di sejumlah daerah. Pasalnya, upah minimum sudah tidak jadi jaring pengaman. Permasalahan keempat, lanjutnya, adalah perubahan pola hubungan kerja. Jika dahulu, pola hubungan kerja adalah long life (jangka panjang, pekerja tetap). “Sekarang tidak ada jaminan, karena beralih menjadi sistem kerja kontrak (PKWT), harian lepas dan outsourcing, yang termasuk kategori Precarious Work (pekerja tanpa kepastian dan rentan bahaya),” ujarnya. R. Abdullah merupakan satu dari empat serikat pekerja afiliasi IndustriALL Indonesia yang mendapat kesempatan berbicara kepada Valter Sanches. Panitia mengundang 10 serikat pekerja yang sudah terafiliasi dengan IndustriALL Indonesia. Turut diundang adalah FSP ISI, FSP FARKES-R, FSPMI, Federasi GARTEKS SBSI, SBSI Metal, DPP SPN.
Rencana Kongres IndustriALL Global Union pada Tahun 2020
Valter Sanches menyampaikan sejumlah informasi. Seperti hasil Rapat Ekskeutif Komite di Meksiko, yang digelar belum lama ini. Kemudian dilaporkan Program IndustriALL dan rencana Kongkres IndustriALL di Afrika Selatan pada Oktober 2020. Menurut Valter Sanches ada lima strategi IndustriALL, diantaranya, pertama, Prinsip IndustriALL adalah memperjuangkan hak dasar pekerja. Strategi Kedua yaitu upaya IndustriALL menghadapi kapitalisasi secara global.
Strategi Ketiga adalah Mengurangi kondisi Precarious Work (pekerjaan tanpa perlindungan atau renatn bahaya) di berbagai belahan dunia. Yakni pekerja mendapati dirinya dalam kondisi kerja yang tidak tentu, tidak aman, dan tidak pasti. Kategori precarious work adalah sistem kerja kontrak (PKWT), harian lepas dan outsourcing. Strategi keempat adalah memastikan kebijakan industri yang berkelanjutan.
Menurut Valter Sanches, semua pelaku industri maupun pekerja harus memahami adanya pengaruh dari goncangan perdagangan internasional antara AS dengan China. Kondisi tersebut dipastikan memiliki pengaruh terhadap serikat pekerja, jangka menengah atau panjang. Kemudian, poin lain yang disampaikan Valter Sanches adalah pengaruh terhadap energi. Pengehtnian bahan bakar dari fosil ke energi terbarukan lainnya seperti listrik, dipastikan akan mempengaruhi nasib serikat pekerja maupun pekerja. “Hal penting lain yang harus diwaspadai adalah saat ini kita memasuki Era Revolusi Industri 4.0.” katanya. (Tim Media PP FSP KEP SPSI)
Berita Terkait:
SPKEP SPSI Ikuti ‘Industri ALL Global Union’s Rubber Industry Meeting’ di India
— https://spkep-spsi.org/spkep-spsi-ikuti-industri-all-global-unions-rubber-industry-meeting-di-india/
Afiliasi Serikat Pekerja Ikuti “Joint Training Organizing” agar Organisasi Mandiri
— https://spkep-spsi.org/afilisasi-serikat-pekerja-ikuti-joint-training-organizing-agar-organisasi-mandiri/